Sehingga keputusan MK ini menjadi peluang tercapainya kesetaraan dalam kehidupan berbangsa, kebebasan dalam memeluk dan menjalankan agama masing-masing warga negara. keputusan MK ini yang sudah disetujui oleh Mendagri dan Menkum HAM bersifat final dan mengikat. Namun keputusan ini menuai tanggapan yang bervariasi.
Seperti dilansir dari jawapos.com Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi Undang-Undang (UU) Administrasi Kependudukan terkait pengakuan aliran kepercayaan. PGI menilai putusan itu merupakan langkah maju negara dalam keadaban bangsa dan negara.
Namun, ada juga pihak yang tidak setuju soal putusan ini, salah satunya datang pihak Ormas Muhammadiyah. Seperti dilansir dari tiro.id bahwa Ketua Bidang Tarjih, Tajdid, dan Tabligh PP Muhammadiyah Yunahar Ilyas menyatakan pihaknya mempertanyakan alasan MK mengabulkan gugatan pemohon terkait diperbolehkannya penghayat kepercayaan untuk mencantumkan alirannya dalam kolom agama di KTP. Menurut Ormas ini para penghayat kepercayaan tidak harus mencantumkan kepercayaannya dalam KTP dan KK karena aliran kepercayaan ini bukanlah agama melainkan 'penghayatan kepercayaan' saja.
Pada tulisan ini saya mencoba mengungkap tantangan bersama permasalahan di balik peluangnya mengenai keputusan MK ini, khususnya aliran kepercayaan Marapu di pulau sumba - NTT. Adapun beberapa masalah utama yang dihadapi oleh penganut agama marapu :
1. Kepercayaan marapu tidak terorganisir
Kepercayaan marapu dipulai sumba tidak terorganisir. Masyarakat sumba sebagai penganut marapu menjalankan ritual keagamaannya terjadi begitu saja tanpa ada organisasi yang mewadahi kepercayaan ini. Namun secara umum seluruh ritual dan urusan menyangkut marapu di pandu oleh tua adat atau yang disebut Rato. Tetapi secara keseluruhan didaratan Sumba setiap wilayah (kampung adat) memiliki rato masing-masing. Ini menjadi tantangan utama bagi penganut ini untuk mendirikan organisasi yang bisa mewadahi dan mengakomodir semua Rato beserta para penganutnya.
2. Tidak teradministratif
Marapu juga mengalami tantangan soal urusan administrasi, Khususnya aturan-aturan keagamaan. Selama ini aturan dan hukum agama ini hanya diwariskan secara lisan tanpa tertulis. Jadi, untuk aturan hidup, hukum dan sanksi agama ini tidak tertulis. Selain itu, urusan administrasi lainnya seperti surat menyurat tidak ada. Semua urusan keagamaan hanya terjadi begitu saja menurut kebiasaan yang diturunkan oleh moyangnnya. Misalnya ketika nikah menurut adat marapu, tidak ada surat nikah. Karena memang kepercayaan ini tidak terorganisir.
3. Implikasinya terhadap pendidikan
Dalam kurikulum yang diterapkan dalam pendidikan, ada mata pelajaran agama yang harus diajarkan pada siswa, sebagai bentuk pengamalan sila pertama. Nah, tantangan yang di hadapi agama marapu adalah materi ajar yang akan diajarkan pada siswa yang beragama marapu. Sedangkan konsep keilmuan agama marapu, tidak tersistematis sesuai sistematika kebenaran keilmuan. Hal ini sekali lagi akar masalahnya adalah seluruh konsepsi keagamaan tidak tertulis dan hanya diwariskan secara lisan.
4. Kalenderium yang berbeda