Saat Kebebasan Beragama Dihambat oleh Intoleransi yang Terorganisir
Oleh: Natasia Sitompul dan Helena Sihotang
Bayangkan, hanya untuk membangun rumah ibadah, sekelompok orang harus menghadapi penolakan, ancaman, bahkan intimidasi. Di negeri yang katanya menjunjung tinggi toleransi dan Pancasila, mengapa hal seperti ini terus berulang? Penolakan pembangunan gereja yang kembali mencuat ke publik bukan sekadar soal izin atau prosedur administrative. Ini adalah luka dalam wajah demokrasi kita. Ketika segelintir orang berhak menentukan siapa yang boleh beribadah dan siapa yang tidak, maka kita sedang menyaksikan kemunduran moral dan krisis etika publik.Â
Negara ini berdiri di atas perjuangan semua elemen bangsa bukan milik satu agama atau kelompok saja. Maka saat gereja ditolak hanya karena umatnya berbeda keyakinan, itu bukan hanya tidak adil, tapi juga menampar semangat kebhinekaan yang kita banggakan. Masalahnya bukan siapa yang mayoritas dan siapa yang minoritas. Ini tentang keberanian untuk menjunjung nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Jika pembangunan masjid diterima dengan tangan terbuka di banyak tempat, mengapa gereja harus berhadapan dengan ancaman dan birokrasi yang melelahkan?Â
Sudah terlalu banyak contoh. Rumah ibadah disegel, jemaat terpaksa ibadah di rumah, bahkan ada yang diintimidasi saat berdoa. Ini bukan cerita baru, tapi pertanyaannya: sampai kapan kita diam? Diamnya masyarakat, apalagi diamnya aparat, hanya akan membiarkan ketidakadilan ini tumbuh lebih kuat. Padahal, tugas negara adalah menjamin kebebasan beragama dan melindungi warganya siapapun mereka dan apa pun keyakinannya. Toleransi itu bukan slogan yang dipajang saat hari besar agama. Toleransi harus hidup dalam tindakan nyata. Harus hadir dalam kebijakan publik. Harus terlihat dalam perlakuan yang setara terhadap setiap rumah ibadah baik gereja, masjid, atau vihara.
Saya pribadi sangat prihatin melihat kejadian ini kembali terjadi. Saya percaya bahwa setiap orang punya hak untuk menjalankan keyakinannya tanpa takut. Gereja bukan ancaman. Sama halnya dengan masjid, pura, atau vihara, gereja adalah tempat dimana orang datang untuk mencari kedamaian, bukan konflik.Â
Saya juga percaya, jika negara membiarkan ketidakadilan ini terus berlangsung, maka yang hancur bukan hanya gereja yang ditolak itu melainkan fondasi kebangsaan kita sendiri. Karena hari ini yang ditolak adalah gereja, besok bisa saja tempat ibadah lain yang jadi sasaran. Kita tidak bisa lagi tinggal diam. Jika kita ingin Indonesia tetap utuh, maka keadilan harus berlaku untuk semua. Kebebasan beragama bukan hadiah dari mayoritas, tapi hak yang dijamin oleh konstitusi.Â
Saatnya kita bersuara, berdiri di sisi  yang benar, dan menolak segala bentuk diskriminasi. Karena ketika satu hak dasar dirampas, maka kita semua sedang dalam bahaya.
Tentang penulis:
Penulis merupakan Mahasiswi dan Dosen di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI