Mohon tunggu...
Natasha Adhys
Natasha Adhys Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia

Senang menulis, jika ada waktu senggang.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dampak Orientalisme terhadap Citra Islam dan Peran Feminisme Muslim dalam Membenahinya

19 Oktober 2021   00:41 Diperbarui: 26 Juni 2023   03:28 2731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wanita muslim | Gambar: Freepik

Orientalisme merujuk pada istilah yang digunakan untuk menggambarkan pengaruh kolonialisme Barat atau The Occident terhadap Timur yang disebut The Orient (Said, 1977). 

Edward Said, dalam orientalismenya menyatakan bahwa semua yang kita pahami sekarang bukanlah sebuah pemahamam yang objektif, melainkan sebuah hasil dari proses refleksi atas beberapa kepentingan. 

Dalam hal ini, adanya kepentingan kolonialisme telah memberikan kekuasaan kepada Barat untuk mendefinisikan Timur. Akibatnya, terjadi distorsi atas definisi Timur itu sendiri yang kemudian menimbulkan pemahaman yang keliru atas budaya Timur.

Timur selalu dianggap sebagai bangsa yang misterius, irasional, dan kaum perempuannya selalu menerima objektifikasi. Pandangan ini terus hadir hingga masa kini dan menjadi stigma. Adanya pemahaman bahwa masyarakat Timur adalah masyarakat terbelakang mirisnya tidak hanya diakui oleh masyarakat Barat, tetapi juga diterima oleh masyarakat Timur sendiri. Lebih dari itu, mengingat banyaknya jumlah masyarakat Timur yang menganut agama Islam, maka orientalisme ini kemudian juga berdampak buruk pada citra Islam dan munculnya gerakan anti-Islam dalam masyarakat global.

 Anti-Islam sendiri muncul sebagai dampak dari media framing yang dilakukan oleh Barat terhadap Timur atas peperangan, konflik, dan aksi terorisme. Terjadi "demonisasi" atas Islam dan umat Muslim di mana mereka selalu dipandang hanya dari satu sisi saja dengan perspektif paranoid, sehingga anggapan Islam sebagai agama yang konservatif, fanatik, ekstrem, serta penuh kekerasan terus berkembang (Palestine Diary, 2013). 

Di Indonesia, pemahaman keliru atas Islam juga terjadi. Pemikiran anti-Islam dan Islamofobia di Indonesia dirasakan mulai marak sejak periode aksi terorisme Bom Bali 1 dan 2, serta pengeboman hotel Ritz-Carlton Jakarta. Pada konteks masa kini, ranah anti-Islam dan Islamofobia sedikit bergeser pada peningkatan sentimen terhadap Islam dan kecurigaan atas munculnya paham-paham radikalisme.

Berkembangnya gerakan anti-Islam dan Islamofobia kemudian menimbulkan reaksi dari umat Muslim sendiri, termasuk di kalangan perempuan. Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan menumbuhkan kesadaran baru atas isu-isu identitas yang mana dalam konteks ini turut berpengaruh pada gerakan feminisme Muslim yang dibentuk oleh para aktivis serta perempuan Muslim. 

Feminisme Muslim hadir sebagai sebuah gerakan yang tidak hanya responsif terhadap isu kesetaraan gender, tetapi juga identitas mereka sebagai seorang Muslim (Seedat, 2013). Sebagai turunan dari feminisme Timur, mereka melihat isu kesetaraan gender dalam kacamata budaya Timur dan ajaran Islam yang mana agak sedikit berbeda dengan pendekatan feminisme Barat yang sering kali dianggap lebih radikal, individualis, dan kurang relevan untuk diterapkan dalam budaya Timur.

Peran feminisme Muslim di Indonesia dalam konteks tulisan ini kemudian menjadi ganda. Mereka tidak hanya menyalurkan keresahan terhadap isu kesetaraan gender dalam perspektif Islam, tetapi juga memperlihatkan kepada publik mengenai Islam yang sebenarnya, terutama dalam pemikiran dan implementasinya di masa modern ini. 

Dilansir dari Magdalene.co, Alimatul Qibtiyah, Guru Besar Ilmu Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menyatakan bahwa keadilan gender di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perjuangan aktivis-aktivis perempuan, termasuk para feminis Muslim. Secara lebih lanjut, ia juga menjelaskan bahwa feminisme Muslim di Indonesia menggunakan tiga pendekatan, yaitu Bayani yang mengacu pada landasan normatif Al-Qur'an dan Hadist, Burhati yang mengacu pada pengetahuan dan fenomena empiris, serta Irfani yang berarti hati nurani atau nilai-nilai kemanusiaan.

Secara lebih lanjut, kehadiran feminisme Muslim dipicu pula oleh modernisasi dan globalisasi, serta wacana liberalisme Islam yang diprakarsai oleh tokoh seperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid (Daud, 2020). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun