Mohon tunggu...
Natalia Kristiani
Natalia Kristiani Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta

Prodi Pendidikan Sosiologi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkada: Layaknya Adegan Drama untuk Memenuhi Nilai Bahasa Indonesia

15 November 2020   14:17 Diperbarui: 15 November 2020   14:40 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Aristoteles memandang dunia ini sebagai tempat perubahan, entitas yang terus menerus dalam perubahan. "Alam adalah sebuah prinsip perubahan"


Mengutip pernyataan di atas membuat kita berpikir, apakah kualitas pemangku jabatan di setiap daerah sudah melakukan perubahan? Atau hanya diam di tempat? Mereka melakukan perubahan, tetapi di balik perubahan tersebut terdapat hal yang masyarakat tidak tahu, yaitu mereka suka drama.

Layaknya drama korea, para pemerintah pun melakukan hal yang sama. Dari mulai mimik wajahnya yang sangat meyakinkan ketika memaparkan visi dan misinya, gelagatnya yang terlihat sedih atau berimpatik ketika ada masyarakat yang berkeluh kesah tentang kehidupannya, ataupun memberikan sedikit cenderamata seperti gelas, kaos partai yang panas dan juga kalender yang tidak seberapa besar pengorbanan masyarakat yang mengais rezeki ketika pandemi seperti ini.

Saya pun mendapati pengalaman serupa. Belum lama ini, ada salah satu kandidat di sekitar rumah saya melakukan kunjungan. Wajahnya begitu ramah kepada masyarakat sekitar, selalu tersenyum, antusias ketika ditanyakan oleh masyarakat, hingga meneriakan jargon mereka bersama dengan masyarakat. Tetapi, kita tidak tahu apakah kandidat tersebut memang ramah kepada masyarakat? apakah kandidat tersebut menunjukan aslinya? Kita tidak tahu. Mungkin, ketika masuk mobil, kandidat tersebut akan melepaskan topengnya yang ternyata dibalik topeng tersebut akan ia pakai ketika terpilih dan menjabat. Sungguh miris!

Sepertinya, para kandidat yang ingin memangku jabatan tertinggi di daerah tidak lagi mempunyai tujuan untuk melakukan tujuan di atas kepentingan masyarakat. mereka hanya ingin bermain drama di depan masyarakat untuk tujuan memenuhi kepentingan mereka sendiri. Layaknya bermain drama pada mata pelajaran bahasa Indonesia,mungkin sebagian murid sebenarnya tidak ingin bermain drama tetapi ada kepentingan yang hadir yaitu nilai.

Seharusnya dari awal kita sadar, pilkada kali ini tidak sama sekali merubah nasib kita, kalaupun berubah yang seperti kutipan di atas, berarti hal tersebut berasal dari dalam diri kita sendiri, bukan dari para pemerintah yang selalu bermain drama.

Para kandidat, mereka melakukan drama untuk mencapai tujuannya. Tetapi, masyarakat juga sebagai aktor pendukung dari aktor utamanya, atau bisa jadi masyarakat juga menikmati drama tersebut? Mungkin iya, mungkin tidak. Bisa kita lihat drama sinetron yang alurnya makin ngejelimet saja disukai oleh masyarakat kita, apalagi drama para kandidat pemilu.

Lagi pula, masyarakat terlalu berekspetasi tinggi kepada kandidat. Begitu pula para kandidat, mereka ingin memperlihatkan berbagai macam topeng kebaikan untuk menarik simpatik para masyarakat.

Seperti yang bisa kita lihat dari pemikirannya Erving Goffman yaitu dramaturgi dalam salah satu bukunya "The Presentation of Self in Everyday Life" (1959) . Salah satu tokoh yang saya sukai ketika saya belajar teori sosiologi modern karena tokoh ini bisa menggambarkan bahwa proses sosial kehidupan manusia dalam berinteraksi mirip dengan melakukan pementasan atau drama.

Erving Goffman sendiri lahir di Alberta Canda, pada 11 Juni 1922. Goffman sendiri dianggap sebagai pemikir utama dalam mazhab Chicago. Goffman memiliki kajian sebagai tokoh antropologi dan etnometodologi. Meninggal pada tahun 1982.

Konsep dramaturgi yang diperlihatkan oleh Goffman merupakan interaksi sosial yang terjadi antara individu di dalam situasi dramatik, individu seakan-akan mempunyai perannya masing-masing seperti aktor yang ada di dalam panggung pementasan.

Goffman, mengikuti konsep dramaturgi dari salah satu filsuf yaitu Kenneth Duva Burker yang mengenalkan konsep bahwa kehidupan sosial setiap individu merupakan tindakan yang tidak lepas dari drama.

Kenneth Duva Burker meyakini….

Hidup bukan seperti drama tetapi hidup sendiri adalah drama.

Begitu pula dengan kandidat dan masyarakat sendiri. Masing-masing dari kita mempunyai peran. Kandidat dengan segala topengnya, mereka berinteraksi dengan masyarakat untuk menarik perhatian, mengambil tindakan seakan-akan paling simpatik dengan rakyat kecil, menggaungkan visi dan misi mereka yaitu generasi milenial seakan-akan mereka mengerti permasalah milenial, sayangnya, yang mereka gaungkan tidak sesuai dengan yang mereka sampaikan. Mereka menyampaikan kepada generasi yang baby boomer dan bukan pada milenial seperti visi dan misinya.

Jika, masyarakat dianalogikan sebagai aktor, maka hal yang paling cocok adalah sebagai aktor pendukung. Masyarakat mengambil tindakan untuk mengikuti alur si tokoh utama (re: kandidat) seakan-akan masyarakat senang dan mendukung apa yang dilakukan oleh tokoh utama. Di lain sisi, para masyarakat pun bisa menjadi penonton dari situasi pilkada pada tahun ini, melihat bagiamana hingar bingar pilkada yang terus berjalan tanpa memikirkan perkembangan kesehatan yang semakin terus menerus menurun akibat adanya covid 19.

Dari konsep dramaturgi tersebut, Goffman membagi bahwa dalam interaksi terdapat bagian depan atau Front Stage bagian pertunjukan yang memperlihatkan bagaimana para aktor bermain dengan baik, memperlihatkan ekspresi muka dengan sangat emosional,  banyaknya properti yang dipakai untuk mendukung aktor utama tersebut tampil, gesture tubuh yang sangat lihai dan masih banyak lagi yang diperlihatkan oleh aktor utama untuk memberikan kesan yang luar biasa kepada penonton.

Layaknya front stage, para kandidat melakukan hal yang sama. Mereka memperlihatkan kepada masyarakat perilaku mereka adalah yang  terbaik, ekspresi yang ramah ketika berbicara, memperlihatkan gesture tubuh yang mengatupkan tangan seperti Namaste untuk memperlihatkan bahwa dirinya sangat sopan kepada para masyarakat. serta, seperti yang saya sudah singgung, mereka memberikan gelas, kaos, kalender dan bisa jadi uang, hal tersebut seperti properti untuk mendukung para kandidat untuk bisa menempati posisi pertama dalam pemerintahan daerah.

Lalu ada bagian belakang atau Back Stage, bagian dimana penonton tidak tahu akan proses terjadinya bagaimana si aktor dapat berperan dengan baik. Di bagian ini, aktor mempunyai naskah atau skenario yang mereka ciptakan. Back stage, bisa memperlihatkan keaslian dari karakteristik aktor tersebut.

Begitu pula dengan para kandidat. Di bagian belakang panggung atau back stage merupakan karakter asli mereka, mereka hanya membuat topeng untuk menarik simpati para masyarakat supaya mereka terpilih, mereka tidak serius memedulikan rakyat kecil, mereka tidak serius dalam menangani permasalahan generasi milenial, mereka tidak serius dalam menangani  permasalahan lingkungan dan mereka hanya memedulikan kepentingan diri mereka sendiri.

Bagian belakang panggung para kandidat pilkada, bisa saja terungkap ketika mereka sudah terpilih di daerahnya masing-masing. Sehingga, Pilkada kali ini bisa saja saya katakan sebagai adegan drama untuk memenuhi nilai bahasa Indonesia.

Pada dasarnya, menurut Aristoteles

Dunia ini bukan sesuatu yang absurd, chaos, tak bertujuan atau tak terpahami. Dunia ini dapat dipahami dengan akal pikiran dan penginderaan. 

Sehingga, kita sebagai masyarakat yang menginginkan perubahan yang lebih baik, seharusnya sudah tahu bagaimana tindakan, interaksi yang terjadi ketika menjelang pilkada terjadi, kita perlu mengetahui seluk beluk dari para kandidat yang akan memimpin kita kelak.

Bahwasannya jika pemerintahan ada di tangan satu orang dan bertujuan bagi kepentingan umum maka akan disebut “monarki” ; jika untuk keuntungan pribadi maka disebut “tirani”. Jika pemerintahan berada di tangan sekelompok orang dan bertujuan untuk kepentingan umum maka disebut “aristokrasi”. Namun jika bertujuan untuk kelompok mereka sendiri disebut “oligarki”

Tinggal kita, sebagai masyarakat memilih, mau bagaimana sistem pemerintahan kita berjalan?

Referensi :

Mauludi, Sahrul. 2016. Aristoteles Inspirari dan Pencerahan untuk Hidup Lebih Bermakna. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Ritzer, George. 2018. Teori Sosiologi Modern Edisi Ketujuh. Depok: Prenadamedia Group.

Podcast Sosiologi Kopi. Erving Goffman : Dramaturgi. Diakses pada 11 Oktober 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun