Mohon tunggu...
Nasywa Ibtisamah
Nasywa Ibtisamah Mohon Tunggu... Penulis - manusia berjuta asa

medium.com/@opininasywa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Renjana untuk Kembali

23 November 2018   23:30 Diperbarui: 23 November 2018   23:51 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Camping di Hutan. (Sumber: Freepik)

"Prit. Prit. Prit. Priit. Priit. Priit. Prit. Prit. Prit."

Kami menoleh ke semak belukar di belakang minibus.

"FRED!" Teriakku.

Kakiku hampir saja berlari untuk menghampiri sumber suara. Namun, aku berbalik dan membungkukkan badan pada keluarga kecil yang ikut dalam rombongan.

"Lukman, bolehkah aku memintamu untuk menengok Fred? Dia meniup peluit sebanyak 9 kali, tanda bahaya."
"Oke, aku butuh satu orang lagi untuk menemaniku."
Aku menyisir wajah-wajah yang mulai frustasi.

"Aku bisa menemanimu, sayang." Prita bersuara lirih.

"Mama, mau kemana? Please, jangan tinggalin Kevin."

"Kevin, Mama mau menemani Papa sebentar."
"No! Kevin takut Ma disini."
Dengan menyeret kaki, Anggi menghampiri Kevin. Ia duduk di sebelah Kevin sambil menyodorkan benda berbentuk persegi panjang.

"Hey bro, mau coklat? Kau boleh melihat foto pada kameraku, kalau kau mengizinkan Mama dan Papamu pergi sebentar. Gimana?"

Kevin terdiam. Ia melihat kedua orang tuanya bergantian.

"Nggak! Kevin pilih Mama."

"Bagaimana kalau aku memfotomu? Mumpung background-nya sedang bagus. Kamu bisa memamerkan foto-fotomu ke teman sekolah."
"Foto dan coklat?"

Anggi mengangguk.

"Baiklah. Mama, jangan lama-lama ya!"

Kevin melepas genggaman tangannya.

"Ini, bawalah ponselku istriku. Hubungi secepatnya jika terjadi apa-apa. Berikan obat asma ini pada Kevin jika ia mulai sesak. Dia sudah tahu cara pakainya" Ucap Lukman sembari memberikan ponsel dan inhaler padaku.

"Hati-hati. Berteriaklah agar Fred mengetahui posisi kalian."

Lukman dan Prita mengangguk, dan tak lama kemudian hilang di gelapnya hutan. Aku menyalakan hp, masih ada 20 menit sebelum matahari benar-benar terbenam. Tiba-tiba sebuah cahaya berbentuk lingkaran menghampiri kami. Tak salah lagi, dia adalah Kenny, si penjaga hutan konservasi.

"Siapa yang akan kubawa?"

Aku menatap Anggi, Kanaya, dan Kevin bergantian. Terlalu riskan meninggalkan salah satu diantara mereka di pondok.

"Bagaimana jika kau membantu mengecek radiator?"

Kenny mengangguk, "Baiklah. Kemungkinan besar air radiator sudah habis. Kita harus mencari air lagi."

"Kanaya, bukannya kau memiliki botol minum?"

"Ya, terus?"

"Nah, botol itu bisa kita isi dengan air dari akar pohon."

"Hah, gila ya? Bagaimana bisa?"
"Oke, ayo ikut aku. Akan kutunjukkan bagaimana caranya."

Dengan wajah ragu-ragu, Kanaya membuntutiku.

"Herr, tolong buka kap mobil dan cari tahu dibagian mana bocornya. Kenny akan membantumu."

"Kau yakin?"

"Percayalah padaku, Herr."

Aku masuk ke hutan berbekal senter hp. Kami berdua mencari akar gantung yang berasal dari pohon-pohon besar untuk ditebas dan diambil airnya.

----------------------------------------------------------------------------------

"Fred! Fred.." Suara Lukman menggema.

Prita melingkarkan tangan di lengan Lukman. Tiba-tiba semak belukar di depan mereka bergerak. Prita berhenti, menahan tangan Lukman. Ia menoleh kearah suaminya, sembari menggelengkan kepala. Lukman mengusap pipi Prita, lalu melepaskan tangan Prita. Ia bergerak maju dan menghampiri semak-semak tersebut. Belum sampai kesana, seekor babi hutan muncul dan berhadapan dengan Lukman.

"Tetap mematung. Dan jangan melakukan gerakan sedikitpun." Sebuah suara bisik-bisik yang berasal dari kanan mereka.

Lukman mengamini suara tersebut. Meskipun kaki gemetar dan juga keringat terus mengucur, ia tetap pada posisinya -- 70 meter dari babi hutan didepannya -- dan tak menggerakkan badan. Babi hutan itu bergerak maju. Selangkah. Dua langkah. Lukman yang mulai ragu akan saran tersebut, menggeser kakinya sedikit.

"Tahan, atau kau akan mati." Kembali suara samar-samar bersuara.

Lukman hanya bisa menarik dan menghembuskan napas pasrah. Babi hutan itu bergerak maju, melewati Lukman yang sudah diambang batas kesadaran.

Srek... Srek... Srek...

Perlahan suara gesekan kaki babi dengan daun-daun menghilang. Lukman terjatuh lemas. Kakinya sudah tidak mampu menopang berat tubuhnya. Prita yang berdiri tidak jauh, berlari menghampiri. Ia memeluk Lukman dari belakang, memberi sebuah kecupan pada kepala Lukman. Isakan tangis semakin mengeras.

"Beruntunglah, kau tidak kenapa-napa anak muda. Babi tersebut masih remaja. Hasrat menyerangnya bisa dikatakan labil. Kalau kau bergerak tiba-tiba, itu akan ditangkap sebagai ancaman, dan mungkin kau bisa diserang membabi buta."

Lukman menoleh ke sumber suara. Senyumnya merekah.

"Fred!"

"Di balik semak itu, ada bangkai tikus. Aku sudah menduga bahwa babi hutan akan menghampirinya. Sialnya, tongkatku tertancap ke tanah, saat aku menjadikannya tumpuan badan ketika buang air."

"Lebih baik kita segera keluar dari hutan ini, sebelum hari semakin gelap." Prita berdiri, dan menarik Lukman. Mereka menghampiri Fred dan membantunya menarik tongkat dari tanah.

----------------------------------------------------------------------------------

"Lukman dan Prita belum kembali?"

Anggi menggeleng.

"Sial! Aku tidak ingin mendengar kabar buruk lagi." Celotehku pelan.

Aku teringat Herr. Dia terduduk lesu di sisi ban minibus.

"Sudah ketemu bagian mananya yang bocor?"
"Upper Tank radiator sedikit retak, kemungkinan itu penyebabnya. Kamu mengerti bagaimana cara memperbaikinya?"

Aku teringat smartphone Prita. Segera kubuka browser untuk menemukan solusinya. Beruntung, aku segera menemukan artikel kompasiana yang membahas solusi kerusakan radiator.

"Bagaimana kondisi anakku kalau aku terjebak disini." Ucap Herr sembari mengacak rambutnya.

"Kita bisa keluar dari sini. Pasti bisa."

"Bagaimana caranya?" Suara Herr mulai meninggi.

"Tenanglah! Tidak hanya kau, kita semua yang ada disini juga ingin kembali. Aku takut dengan gelap, hutan, dan semua isinya. Tapi, yang hanya bisa kita lakukan saat ini adalah menenangkan diri." Kanaya bersuara.

"Kamu tidak tahu apapun tentang hidupku gadis kecil. Kau tidak mengemban tanggung jawab atas hidup seseorang. Yang kau pikirkan hanya dirimu, dirimu, dirimu!"

Anggi mengangkat kameranya, "Bicaralah pelan-pelan pada temanku, atau kamera ini akan melayang pada wajahmu! Dan juga kami ini bukan gadis kecil!"

Aku berdiri, "Cukup. Aku tahu saat ini sedang kacau. Tapi, bisakah aku minta tolong pada kalian untuk tidak bertengkar? Lebih baik kita memikirkan bagaimana cara menemukan Lukman, Prita dan Fred."

 "Mama!" Teriak Kevin yang langsung berlari memeluk Prita. Mataku berbinar melihat ketiga sosok tersebut muncul tanpa kekurangan apapun.  

"Syukurlah, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan jika kalian tidak keluar segera."

"Kami kesusahan melihat karena hari sudah gelap. Beruntung, ada kompas milik Fred. "

 "Baiklah, semua anggota sudah berkumpul, langkah selanjutnya adalah memperbaiki radiator. Jika kerusakan berada pada upper tank radiator yang lubang bisa diperbaiki sementara dengan menggunakan lem besi. Enam kilo dari sini ada kampung yang bisa kita minta tolong untuk..."

"Butuh ini?" Fred yang memotong pembicaraan, berhasil mendapatkan perhatian kami.

Napasku berhenti sebentar, tidak percaya  dengan apa yang sedang terjadi. Aku berlari girang menghampiri Fred, "Lem besi! Kau ahli hutan pembawa segala!"

"Tongkatku terbuat dari stainless steel. Sewaktu-waktu pasti aku membutuhkan benda itu. Kau membutuhkan paling tidak tiga jam agar lem itu benar-benar kering."

"Baiklah, langsung saja kita perbaiki."
"Sebaiknya kita membuat api unggun terlebih dahulu, sebelum hewan buas mendekat. Aku membawa korek api."

"Setuju. Kita bagi dua kelompok. Prita dan Kanaya akan memegang senter HP untuk membantu Herr dan Ken memperbaiki radiator. Aku dan Lukman akan mencari ranting kayu, dan kau Anggi, tolong jaga Kevin dan Fred. Teriaklah jika ada apa-apa."
Kurang dari dua jam, kami berhasil menyelesaikan dua masalah.

Bersamaan dengan itu, sebuah mobil mendekat kearah kami. Jono --pemilik mobil -- keluar.

"Kau datang di waktu yang tepat, Jon. Bolehkah, kau antar Lukman, Prita, Kevin dan Fred kembali ke penginapan?'
"Bagaimana denganku? Kakiku terkilir dan aku masih harus menahan sakitnya?" Anggi protes.

"Oke, kau masuk dalam rombongan. Lukman, tak masalah kan jika kau dibonceng Kenny?"

"Aku perempuan disini sendirian?" Gantian Kanaya tidak setuju.

Lukman menatapku, "Tak masalah jika aku masih disini."
"Pesawatmu?"

"Masih sempat."

Aku menyetujui sarannya. Lukman menggendong Kevin masuk ke dalam mobil. Tak lupa ia mengecup kening Prita, sebelum akhirnya rombongan tersebut hilang tertutup kabut. Malam itu, kami bergantian untuk mengangin-anginkan lem, tidur, dan menjaga rombongan kecil. Hingga akhirnya, tiga jam berlalu. Kami memastikan bahwa lem tersebut bekerja dengan baik. Radiator kembali dipasang, dan tidak lupa mengisi airnya. Kami meninggalkan tempat tersebut dengan ribuan cerita yang menyertai. Sungguh, sebuah pengalaman yang tidak mungkin kami lupakan. Seumur Hidup.

Selesai

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun