Mohon tunggu...
Nasywa Putri Azkiya
Nasywa Putri Azkiya Mohon Tunggu... Mahasiswi Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mahasiswi semester 4 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tidak selalu tahu banyak, tapi selalu ingin memahami. Menulis untuk merawat pikiran, mengabadikan hal-hal kecil yang sering terlewat, dan sesekali mengobrol dengan diri sendiri lewat kata-kata. Kadang nulis karena pengen cerita, kadang karena nggak tahu harus ngomong ke siapa. Masih belajar menulis pelan-pelan, semoga bisa jadi ruang yang jujur, tenang, dan bikin mikir—meski sedikit.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Antara Fasih dan Senior: Dilema Memilih Imam Salat dalam Tradisi Masyarakat Muslim

26 Juli 2025   16:29 Diperbarui: 26 Juli 2025   16:29 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pinterest: Amel Ibrahimovic - Namaz - Molitva. Diakses pada 26 Juli 2025 pukul 16.03 WIB. https://pin.it/56BsHmvGE

Salah satu fenomena yang menarik bagi saya untuk di tulis terjadi ketika saya mengikuti salat tarawih di sebuah masjid dekat rumah. Imamnya adalah seorang laki-laki lanjut usia (lansia) dengan suaranya yang agak gemetar, bacaan tajwid dan makhroj huruf yang tidak lagi terdengar dengan jelas sebagaimana seharusnya. Saat itu saya merasa ada yang janggal, tapi semua orang tetap mengikuti salat jamaah dengan tenang, seolah tidak ada yang salah. Beberapa malam kemudian, saya Kembali mendapati kakek tua itu menjadi imam salat tarawih. Saat saya melihat jadwal imam di tembok masjid, nama beliau ditulis hingga 7 kali di jadwal imam salat tarawih. Dan menariknya lagi, pemuda-pemuda yang menurut saya cukup fasih, setidaknya lebih fasih dari kakek tua tersebut hanya di tugaskan menjadi bilal. Tak hanya di masjid tersebut, saya juga kerap kali menemukan suara kakek tua yang sudah tidak terdengar jelas pengucapannya mengumandangkan adzan di masjid-masjid lain.

Hal ini membuat saya bertanya-tanya: Kenapa kebanyakan laki-laki lanjut usia di jadikan Imam sholat, apakah ada kriteria khusus dalam memilih atau menentukan imam sholat?

Hal tersebut sempat terjawab dalam salah satu kajian yang saya ikuti. Penceramahnya menjelaskan bahwa dalam memilih imam salat, ada beberapa urutan kriteria yang harus dipertimbangkan: pertama, kefasihan dalam membaca Al-Qur’an, kedua, ilmu keagamaannya, ketiga, kesalehannya, dan keempat, tidak memiliki uzur yang dapat mengganggu bacaan salat, seperti cadel, gagap, atau suara yang tidak jelas.

Beliau menyampaikan analogi yang menarik: jika ada dua kandidat imam yang sama-sama baik, maka lihatlah dari fasih tidaknya bacaan Qur’an mereka. Jika dia fasih, maka bisa diasumsikan bahwa ia juga berilmu. Dan jika ia berilmu, kemungkinan besar ia juga saleh. Baru kemudian dilihat apakah ia memiliki uzur atau tidak.

Namun dalam praktik di masyarakat, kriteria-kriteria tersebut seringkali digeser dan mengutamakan siapa yang lebih tua, atau siapa yang “sudah biasa” menjadi imam salat, meskipun bacaan Qur’annya kurang jelas. Di beberapa masjid bahkan seperti ada semacam penghormatan bahwa orang tua atau sesepuh harus selalu diutamakan. Mungkin karena inilah, di banyak masjid, suara imam dan muazin yang terdengar justru lebih banyak berasal dari mereka yang sudah sepuh, bukan dari para pemuda yang sebenarnya lebih fasih dan kuat suaranya.

Foto Imam Salat (Sumber: Pinterest)
Foto Imam Salat (Sumber: Pinterest)

Menurut analisis saya, hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat Indonesia memiliki kesadaran dan rasa hormat yang tinggi kepada orang yang lebih tua. Tapi di sisi lain, nilai ini juga bisa menjadi penghalang ketika kita ingin menjaga kualitas ibadah secara syariat. Sehingga, meskipun terjadi kesalahan dalam bacaan atau gerakan salat, makmum cenderung memilih diam. Bukan karena tidak peduli, tapi karena khawatir dianggap lancang. Padahal, dalam Islam, prinsip amar ma’ruf nahi munkar tetap berlaku, meskipun tentu harus dilakukan dengan sikap dan cara yang bijak.

Maka, menurut saya, perlu ada ruang diskusi: bagaimana caranya kita bisa tetap saling menghormati, tanpa mengorbankan kualitas salat yang seharusnya dijaga dengan baik?

Padahal jika kita jujur, kondisi ini bisa bertentangan dengan nilai ibadah dalam Islam, yang menekankan ketepatan dalam bacaan dan tata cara salat. Dan padahal jika kita jujur, hal ini tidak akan menjadi sebuah kebiasaan yang sulit di perbaiki. Ada sebuah pepatah mengatakan: “Lihat apa yang di bicarakan, jangan lihat siapa yang berbicara”, Artinya meskipun kita tidak memiliki kewenangan atau hal semacamnya di suatu lingkupan masyarakat, jika apa yang kita sampaikan adalah benar, maka kita tidak perlu takut.

Apa akibat tidak memilih imam salat yang baik?

Salah satu akibat dari tidak memilih imam salat yang tepat adalah terganggunya kekhusyu’an dalam ibadah. Sebagai contoh: Ketika ada seorang imam yang terlalu cepat dalam rukuk atau sujud, atau sebaliknya terlalu lama dalam diam tanpa bacaan. Kondisi tersebut dapat membuat makmum ragu dan akhirnya sulit untuk khusyuk. Hal tersebut juga bisa mengecoh makmum dalam salat. Misalnya, ketika imam tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang tata cara menjadi imam, maka panjang-pendek takbir, jeda antara gerakan, dan tempo bacaan pun bisa menjadi tidak beraturan. Hal ini tentu dapat membingungkan makmum.

Selain itu, jika imam melakukan kesalahan dalam bacaan surat atau tajwid, makmum yang sadar pun bisa merasa gelisah, karena tidak bisa mengoreksi secara langsung. Maka dari itu, pengetahuan tentang kriteria imam salat seharusnya menjadi bagian dari kesadaran umum umat Muslim, terutama para pengurus masjid yang memiliki wewenang dalam menentukan imam salat.

Lalu, bagaimana jika suara anak-anak muda—khususnya para laki-laki yang fasih dan semangat—lebih banyak di beri ruang di masjid-masjid kita?

Mereka bisa mengambil peran seperti menjadi muadzin, qori, bilal, bahkan imam salat. Bukan hanya sebagai pengganti darurat. Suara mereka yang masih jelas dan lantang bisa meningkatkan kekhyusyu’an dalam salat berjamaah. Selain itu, suara adzan itu dapat dijadikan media dakwah yang membuat orang lain yang mendengar—bahkan orang non-muslim atau turis melihat agama islam sebagai agama yang dipenuhi keindahan dan membuat tenteram.

Foto Anak laki-laki mengaji. (Sumber: Pinterest)
Foto Anak laki-laki mengaji. (Sumber: Pinterest)
Saya pernah menonton sebuah siaran langsung dari seorang artis Girl Group K-pop—Ningning Aespa. Dalam siaran langsungnya di Indonesia saat itu, ia mendengar suara adzan yang sedang di kumandangkan sekaligus takjub dengan keindahan suara muadzin dan memberikan reaksi yang positif sekalipun ia tidak mengerti suara apa itu. Bagi turis non-muslim, suara adzan adalah salah satu hal yang asing dan jarang di dengar. Karena mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim. Maka masyarakat lain sudah terbiasa dengan suara-suara dari masjid.
@shushushort Ningning reacts to adzan #aespa #ningning #synk_hyperlinejakarta ♬ original sound - bosshu baby ⭐️

Maka, bisakah anak muda lebih diberi kesempatan dalam hal ini?

Pada akhirnya, memilih imam atau memberi ruang kepada suara-suara di masjid bukan hanya soal usia, tapi soal kemampuan dan niat untuk menjaga kualitas ibadah. Masyarakat kita tentu tidak kekurangan orang yang fasih dan berilmu—yang sering kali justru datang dari kalangan muda. Yang dibutuhkan hanyalah ruang dan keberanian untuk membuka dialog.

Tradisi menghormati yang lebih tua tetaplah penting, tapi jangan sampai itu membuat kita menutup kesempatan bagi yang lebih muda untuk belajar memimpin. Sebab, kualitas ibadah tidak hanya dinilai dari siapa yang berdiri di depan, tapi dari bagaimana kita semua menjalankannya bersama-sama, dengan baik dan benar.

Memberi ruang kepada yang muda bukan berarti menggeser atau menggantikan yang tua, melainkan memperluas makna kebersamaan dalam ibadah. Di situlah letak keindahan Islam yang seimbang—antara sikap hormat dan kualitas ibadah. Tentu perubahan semacam ini tidak bisa terjadi dalam semalam. Tapi jika dimulai dari kesadaran kecil di tingkat lokal, saya yakin pelan-pelan pola pikir masyarakat akan ikut berubah.

Semoga ke depan, masjid-masjid kita tidak hanya menjadi tempat yang penuh keberkahan, tapi juga tempat tumbuhnya regenerasi, keadilan peran, dan keterbukaan dalam menjaga kualitas ibadah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun