Salah satu akibat dari tidak memilih imam salat yang tepat adalah terganggunya kekhusyu’an dalam ibadah. Sebagai contoh: Ketika ada seorang imam yang terlalu cepat dalam rukuk atau sujud, atau sebaliknya terlalu lama dalam diam tanpa bacaan. Kondisi tersebut dapat membuat makmum ragu dan akhirnya sulit untuk khusyuk. Hal tersebut juga bisa mengecoh makmum dalam salat. Misalnya, ketika imam tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang tata cara menjadi imam, maka panjang-pendek takbir, jeda antara gerakan, dan tempo bacaan pun bisa menjadi tidak beraturan. Hal ini tentu dapat membingungkan makmum.
Selain itu, jika imam melakukan kesalahan dalam bacaan surat atau tajwid, makmum yang sadar pun bisa merasa gelisah, karena tidak bisa mengoreksi secara langsung. Maka dari itu, pengetahuan tentang kriteria imam salat seharusnya menjadi bagian dari kesadaran umum umat Muslim, terutama para pengurus masjid yang memiliki wewenang dalam menentukan imam salat.
Lalu, bagaimana jika suara anak-anak muda—khususnya para laki-laki yang fasih dan semangat—lebih banyak di beri ruang di masjid-masjid kita?
Mereka bisa mengambil peran seperti menjadi muadzin, qori, bilal, bahkan imam salat. Bukan hanya sebagai pengganti darurat. Suara mereka yang masih jelas dan lantang bisa meningkatkan kekhyusyu’an dalam salat berjamaah. Selain itu, suara adzan itu dapat dijadikan media dakwah yang membuat orang lain yang mendengar—bahkan orang non-muslim atau turis melihat agama islam sebagai agama yang dipenuhi keindahan dan membuat tenteram.
@shushushort Ningning reacts to adzan #aespa #ningning #synk_hyperlinejakarta ♬ original sound - bosshu baby ⭐️
Maka, bisakah anak muda lebih diberi kesempatan dalam hal ini?
Pada akhirnya, memilih imam atau memberi ruang kepada suara-suara di masjid bukan hanya soal usia, tapi soal kemampuan dan niat untuk menjaga kualitas ibadah. Masyarakat kita tentu tidak kekurangan orang yang fasih dan berilmu—yang sering kali justru datang dari kalangan muda. Yang dibutuhkan hanyalah ruang dan keberanian untuk membuka dialog.
Tradisi menghormati yang lebih tua tetaplah penting, tapi jangan sampai itu membuat kita menutup kesempatan bagi yang lebih muda untuk belajar memimpin. Sebab, kualitas ibadah tidak hanya dinilai dari siapa yang berdiri di depan, tapi dari bagaimana kita semua menjalankannya bersama-sama, dengan baik dan benar.
Memberi ruang kepada yang muda bukan berarti menggeser atau menggantikan yang tua, melainkan memperluas makna kebersamaan dalam ibadah. Di situlah letak keindahan Islam yang seimbang—antara sikap hormat dan kualitas ibadah. Tentu perubahan semacam ini tidak bisa terjadi dalam semalam. Tapi jika dimulai dari kesadaran kecil di tingkat lokal, saya yakin pelan-pelan pola pikir masyarakat akan ikut berubah.
Semoga ke depan, masjid-masjid kita tidak hanya menjadi tempat yang penuh keberkahan, tapi juga tempat tumbuhnya regenerasi, keadilan peran, dan keterbukaan dalam menjaga kualitas ibadah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI