Salah satu fenomena yang menarik bagi saya untuk di tulis terjadi ketika saya mengikuti salat tarawih di sebuah masjid dekat rumah. Imamnya adalah seorang laki-laki lanjut usia (lansia) dengan suaranya yang agak gemetar, bacaan tajwid dan makhroj huruf yang tidak lagi terdengar dengan jelas sebagaimana seharusnya. Saat itu saya merasa ada yang janggal, tapi semua orang tetap mengikuti salat jamaah dengan tenang, seolah tidak ada yang salah. Beberapa malam kemudian, saya Kembali mendapati kakek tua itu menjadi imam salat tarawih. Saat saya melihat jadwal imam di tembok masjid, nama beliau ditulis hingga 7 kali di jadwal imam salat tarawih. Dan menariknya lagi, pemuda-pemuda yang menurut saya cukup fasih, setidaknya lebih fasih dari kakek tua tersebut hanya di tugaskan menjadi bilal. Tak hanya di masjid tersebut, saya juga kerap kali menemukan suara kakek tua yang sudah tidak terdengar jelas pengucapannya mengumandangkan adzan di masjid-masjid lain.
Hal ini membuat saya bertanya-tanya: Kenapa kebanyakan laki-laki lanjut usia di jadikan Imam sholat, apakah ada kriteria khusus dalam memilih atau menentukan imam sholat?
Hal tersebut sempat terjawab dalam salah satu kajian yang saya ikuti. Penceramahnya menjelaskan bahwa dalam memilih imam salat, ada beberapa urutan kriteria yang harus dipertimbangkan: pertama, kefasihan dalam membaca Al-Qur’an, kedua, ilmu keagamaannya, ketiga, kesalehannya, dan keempat, tidak memiliki uzur yang dapat mengganggu bacaan salat, seperti cadel, gagap, atau suara yang tidak jelas.
Beliau menyampaikan analogi yang menarik: jika ada dua kandidat imam yang sama-sama baik, maka lihatlah dari fasih tidaknya bacaan Qur’an mereka. Jika dia fasih, maka bisa diasumsikan bahwa ia juga berilmu. Dan jika ia berilmu, kemungkinan besar ia juga saleh. Baru kemudian dilihat apakah ia memiliki uzur atau tidak.
Namun dalam praktik di masyarakat, kriteria-kriteria tersebut seringkali digeser dan mengutamakan siapa yang lebih tua, atau siapa yang “sudah biasa” menjadi imam salat, meskipun bacaan Qur’annya kurang jelas. Di beberapa masjid bahkan seperti ada semacam penghormatan bahwa orang tua atau sesepuh harus selalu diutamakan. Mungkin karena inilah, di banyak masjid, suara imam dan muazin yang terdengar justru lebih banyak berasal dari mereka yang sudah sepuh, bukan dari para pemuda yang sebenarnya lebih fasih dan kuat suaranya.
Menurut analisis saya, hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat Indonesia memiliki kesadaran dan rasa hormat yang tinggi kepada orang yang lebih tua. Tapi di sisi lain, nilai ini juga bisa menjadi penghalang ketika kita ingin menjaga kualitas ibadah secara syariat. Sehingga, meskipun terjadi kesalahan dalam bacaan atau gerakan salat, makmum cenderung memilih diam. Bukan karena tidak peduli, tapi karena khawatir dianggap lancang. Padahal, dalam Islam, prinsip amar ma’ruf nahi munkar tetap berlaku, meskipun tentu harus dilakukan dengan sikap dan cara yang bijak.
Maka, menurut saya, perlu ada ruang diskusi: bagaimana caranya kita bisa tetap saling menghormati, tanpa mengorbankan kualitas salat yang seharusnya dijaga dengan baik?
Padahal jika kita jujur, kondisi ini bisa bertentangan dengan nilai ibadah dalam Islam, yang menekankan ketepatan dalam bacaan dan tata cara salat. Dan padahal jika kita jujur, hal ini tidak akan menjadi sebuah kebiasaan yang sulit di perbaiki. Ada sebuah pepatah mengatakan: “Lihat apa yang di bicarakan, jangan lihat siapa yang berbicara”, Artinya meskipun kita tidak memiliki kewenangan atau hal semacamnya di suatu lingkupan masyarakat, jika apa yang kita sampaikan adalah benar, maka kita tidak perlu takut.
Apa akibat tidak memilih imam salat yang baik?