Mohon tunggu...
Nasrullah Mappatang
Nasrullah Mappatang Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

Alumni Fakultas Sastra UNHAS dan Pascasarjana UGM - Pegiat Sekolah Sastra (SKOLASTRA) - Mahasiswa Doktoral/ PhD di University of Malaya, Malaysia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kesadaran Kritis dan Kesabaran Progresif Kaum Milenial

21 Oktober 2019   12:01 Diperbarui: 21 Oktober 2019   12:33 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kaum muda adalah masa depan sebuah bangsa. Peran kaum muda telah dibuktikan dan dicatat indah dalam sejarah. Apa kabar kaum (muda) milenial Indonesia?"

Sampai hari ini, wacana memukau tentang 'bonus demografi' dan potensi kaum Milenial Indonesia masih terus diagungkan. Pewacanaan tersebut dengan mudah kita jumpai di media sosial maupun di media massa hari ini. Optimisme terus disampaikan perihal tersebut. Tidak ada yang salah tentunya dengan optimisme yang dipupuk menjadi harapan. Asalkan, optimisme dan harapan yang dibangun disertai syarat - syarat dan indikator pendukung.

Optimisme dan harapan yang terbangun hanya saja diinterupsi oleh pandangan para ahli yang tentunya kompeten dalam menilai perkembangan Indonesia hari ini. Melihat ke lapangan juga, masyarakat dijumpai banyak mengeluh. Tak terkecuali, anak muda, atau yang lazim disebut sebagai kaum Milenial.

Pekerjaan yang sulit, upah rendah, biaya hidup kian naik, subsidi dicabut, pendidikan tinggi makin sulit dijangkau, UKT mahal, daya beli rendah, usaha lesu dan sebagainya dan seterusnya. Di lapangan, yang hadir malah kelesuan, pesimisme, dan kekecewaan terhadap keadaan hari ini. Dan, keadaan di arus bawah ini tidak dapat diobati oleh ceramah dan khotbah, wacana massif para 'buzzer' pendukung pemerintah, ataupun kenyinyiran kelompok pendukung penguasa. Keadaan membutuhkan perubahan kualitas hidup. Itu yang masyarakat bawah, khususnya kaum Milenial menengah di arus bawah butuhkan. Perbaikan kualitas hidup. Bukan interprestasi dan tafsir hegemonik yang jelas jelas pro kekuasaan dan tidak merubah nasib kaum papa.

Dalam kondisi demikian, kesadaran kritis dan kesabaran progresif kaum Milenial Indonesia menjadi kebutuhan mendesak dan sudah saatnya dibudayakan. Melihat kondisi Bangsa yang semakin stagnan, kaum Milenial Indonesia bisa terjebak ke dalam "demographic disaster' (bencana demografi) ketimbang 'demographic dividend' (bonus/keuntungan demografi) di tahun tahun mendatang jika tidak ada tindakan dan kebijakan afirmatif untuk keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi ini. Kita wajib cemas akan hal itu. Indonesia tidak bergerak positif dalam hal tingkat kesejahteraan. Khususnya kesejahteraan kaum milenialnya.

Indikator kesejahteraan secara kuantitatif dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi. Tahun 2019, apa yang diharapkan dari pertumbuhan ekonomi 5% untuk mensejahterakan kaum Milenial yang sedang tumbuh produktif? Bagaimana kesempatan kerjanya? Pertanyaan - pertanyaan tersebut mendesak untuk dijawab.

Secara kualitatif, apa yang bisa diharap dari subsidi yang terus dicabut? Bukannya semakin mengeruk kantong rakyat? Pencabutan subsidi BBM, kenaikan tarif listrik, biaya kuliah yang semakin mahal, harga barang yang semakin naik sementara upah dan daya beli semakin rendah. Apa yang bisa diharapkan dari itu? Bersabar? Yah, bisa jadi, tetapi mesti kesabaran progresif yang dilandasi oleh kesadaran kritis.

***

Mengapa kesadaran kritis?

Kesadaran kritis kaum Milenial penting untuk dibudayakan. Sebabnya adalah agar kaum Milenial Indonesia sadar dan paham bahwa nasib yang dialami hari ini disebabkan oleh struktur dan sistem yang tidak berpihak kepadanya. Bukan semata salah penguasa. Salah penguasanya adalah membiarkan sistem dan struktur tersebut terus terjadi, tidak berupaya mengubahnya segera, dan tidak berpihak kepada rakyat banyak, apalagi kepada kaum Milenial. Bahasa awamnya, struktur orang kaya yang sedikit, memiliki kekayaan banyak. Yang miskin makin miskin, dan jumlahnya makin banyak. Sistem yang dibangun bukannya berpihak kepada orang miskin, tapi menguntungkan orang - orang kaya. Apatahlagi, kebijakannya. Bikin yang kaya makin kaya, yang miskin makin papa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun