Mohon tunggu...
Nasrullah Mappatang
Nasrullah Mappatang Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

Alumni Fakultas Sastra UNHAS dan Pascasarjana UGM - Pegiat Sekolah Sastra (SKOLASTRA) - Mahasiswa Doktoral/ PhD di University of Malaya, Malaysia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mediatisasi Politik: Media, Budaya Politik dan Politik Kebudayaan

5 Agustus 2017   12:24 Diperbarui: 5 Agustus 2017   13:31 3464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh Nasrullah Mappatang

  Stig Hjarvard (2013) dan Andreas Hepp (2015) bisa dikatakan sebagai penganjur teori mengenai mediatisasi. Mediatisasi budaya, mediatisasi agama, mediatisasi ritual, mediatisasi politik, dan berbagai bahasan lainnya mengenai mediatisasi ini. Hjarvard (2013) dan Hepp (2015) menuliskan bahwa konsep mediatisasi membedakan diri dan berbeda dengan konsep komunikasi satu arah ala ilmu komunilasi dan studi audiens ala cultural studies.

Mediatisasi tidak hanya melihat bagaimana pengaruh media terhadap audiens atau bagaimana efektifitas pesan sampai pada audiens. Mediatisasi jauh melampaui itu dengan melihat bahwa sejauh mana media 'mengubah' struktur sosial dan relasi antar audiens. Pengamatan penulis dengan keaktifan menonton acara di Televisi, mengamati media sosial di facebook dan twitter, dan mendengarkan obrolan di warung -- warung kopi dan  ruang -- ruang obrolan offline di waktu luang memberi gambaran bahwa media massa dan media sosial memberikan peranan penting dalam pilkada serentak 2017 ini. Terutama mengenai Pilkada Gubernur DKI Jakarta yang mendominasi pemberitaan di media -- media nasional beberapa waktu lalu, pilkada serentak di beberapa daerah, dan Pemilu 2019 mendatang.    

Perubahan Struktur sosial

Dalam pembahasan mengenai perubahan struktur sosial, kita bisa melacak sejauh mana media mengkelaskan pihak yang ada dalam sebuah tayangan. Dalam pilkada Jakarta misalnya, diposisikan dimanakah masyarakat di hadapan para politisi dan kandidat? Kita bisa melihat bagaimana masyarakat luas, pemilih di DKI seolah diposisikan pasif untuk diatur oleh para kandidat. Artinya apa, secara pengkelasan masyarakat diposisikan subordinat dari dominasi objektifikasi para kandidat. Segala program memposisikan masyarakat pemilih DKI sebagai pihak yang siap diatur. Siapapun pemenangnya. Pengkelasan bisa dianggap cenderung terjadi disini.

Perubahan Relasi antar-audiens

Relasi antar audiens dipengaruhi oleh pemberitaan dan desain pemberitaan di media. Di televisi, Koran, media online, dan status -- status di media sosial. Kita bisa melihat bagaimana cercaan, umpatan, dan ejekan tak jarang terjadi. Bahkan mungkin sudah bisa dianggap berlangsung secara terstruktur, sistematis, dan massif. Belum lagi, audiens dan netizen yang tidak berhubungan dengan Jakarta juga tak mau ketinggalan. Agentic behavior (perilaku menjadi agen) dihinggapi para netizen. Tiba -- tiba ada pendukung kandidat DKI dari Provinsi di ujung negeri ini. Tiba -- tiba ada dukungan kepada kandidat tertentu dari orang Indonesia di luar negeri. Para pendukung ini, secara administratif bukanlah pemilih DKI Jakarta. Mereka pula terlibat dengan perdebatan dengan netizen yang lain. Yang juga bukan pemilih di DKI.

Pertanyaannya kemudian adalah mengapa hanya Pilkada DKI yang massif dibincangkan oleh netizen dan masyarakat luas? Bukan Banten, Gorontalo, Papua Barat dan 100 Pilkada Gubernur, Bupati, dan Walikota lain di luar Jakarta?

Oleh Stig Hjarvard dan Andreas Hepp di atas, tegas dituliskan bahwa media telah mengubah pola hubungan perilaku masyarakat. Terutama dalam bersikap terhadap kondisi politik hari ini. Audiens dan netizen digiring dan dipandu untuk hanya membicarakan Pilkada DKI. Disini pun dalam amatan penulis, jika tak mendukung paslon no.1, no.2, seolah diharuskan mendukung paslon no.3. begitu pula sebaliknya.

Gejala Mediatisasi Politik

Dalam perilaku netizen, jika memasang status soal Pilkada DKI, para netizen yang lain akan dengan mudah men-cap bahwa kita adalah pendukung paslon no. urut 2, karena begini, pendukung no. 3 karena statusnya seperti itu, atau no. 1 karena cenderung begitu. Kita seolah tidak diberi pilihan untuk menghirup udara bebas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun