Mohon tunggu...
Nasrul
Nasrul Mohon Tunggu... Guru - nasrul2025@gmail.com

Pengajar sains namun senang menulis tentang dunia pendidikan, bola dan politik, hobi jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Hidayatullahku"

5 Agustus 2018   21:20 Diperbarui: 5 Agustus 2018   21:52 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Pertama Aku kenal dengan pesantren adalah setelah salah satu peristiwa besar di Abad 21 yaitu Gempa dan Gelombang Tsunami yang melanda Aceh dan sebagian Negara Asia lainnya tepat pada tahun 2004. Aku kenal melalui seorang  teman yang mengajakku bermain bola di tempat Relawan di Pesantren Hidayatullah.

Orang yang pertama yang aku kenal adalah seorang yang sangat aku kagumi yaitu Pak safaruddin. Beliau adalah seorang relawan yang dikirim langsung dari Jawa dan beliau adalah seorang santri tulen. Sebab beliau dari Sekolah Dasar sudah bergabung dengan Hidayatullah.

Aku mengagumi pak Safar karena beliau mau merelakan waktunya untuk mengajarkan Aku dan Teman-temanku Bahasa Inggris. Padahal, pada waktu yang sama banyak pemuda seperti beliau yang menghabiskan waktu mereka hanya untuk mengejar uang dan bersantai-santai dengan dunai mereka masing-masing.

Hari pertama aku kenal dengan Hidayatullah. Aku sudah mulai merasakan  seru juga bergabung dengan pesantren ini"gumam ku. Sebab selama ini aku hanya mengenal pesantren di kampung-kampung, bukan aku tidak suka akan tetapi pesantren kampung atau yang lebih dikenal dengan pesantren Tradisonal ini rata-rata santrinya merokok, sedangkan pada saat yang sama ayahku sangat melarang aku merokok. Oleh karena itu, aku merasa tidak mungkin aku bergabung dengan pesantren Tradisonal.

Baru satu bulan aku bergabung dengan pesantren Hidayatullah. Aku sudah di ajak oleh pak safar dan teman-temannya untuk menginap dengan mereka. Sebenarnya waktu pertama kali diajak aku masih was-was, maklum aku masih trauma dengan dan Tsunami yang melanda Aceh. Aku masih takut jika aku tidur di pesantren Hidayatullah bagaimana kalau Gempa nanti. Akan tetapi. Dengan mengucapkan bismilah. Aku beranikan tidur di pesantren Hidayatullah dan minta izin sama Ayah.

Keadaan pesantren Hidayatullah pertama kali saat itu sangat memprihatinan, sebab tempat yang aku tidur dan pengasuh pesantren Hidayatullah merupakan bekas gedung Kantor desa yang rusak sebagian akibat terjangan Tsunami. Tapi kerennya aku dengan pengasuh santai aja dengan kondisi  gedung begitu karena kami yakin Allah swt itu maha melihat dan menjaga siapa yang menjaga agama-Nya.

Ayah mengizinkan aku untuk tidur dengan orang-orang Hidayatullah. Sedangkan ibu Aku sangat gelisah mengingat aku hanya tidur di gedung yang tidak layak katanya. Tapi aku yakinkan bahwa aku ke pesantren Hidayatullah bukan hanya tidur tapi juga belajar mengaji, Bahasa inggris dan Matematika.

Hari -- hari terus berganti sampai satu tahun kemudian aku masuk ke sekolah SMP. Dan saat SMP aku putuskan Aku tinggal di Pesantren Hidayatullah. Saat pertama aku minta Izin sama Ayah dan Ibu. Ayah mengiyakan sebab anaknya sudah bisa mengaji dan tidak suka keluyuran seperti anak-anak lainnya. Dan anak Ayah ini sudah rajin shalat lima waktu. Sedangkan ibu tidak mengizinkan. Tapi Ayah saat itu meyakinkan ibu bahwa aku akan baik-baik saja di Pesantren Hidayatullah.

Aku pertama berangkat untuk mondok di pesantren Hiidayatullah di berikan uang oleh Ayah hanya Rp 10.000. uang itu aku beli sabun mandi dan deterjen. Maklum aku kalau di rumah kami pakai satu sabun untuk semuanya. Jadi, saat itu aku pertama kali beli sabun mandi untuk pribadi. Bagiku pengalaman pertama kali ke pesantren adalah hal paling indah  dan aneh. 

Sebab aku pergi mondok tidak di antar oleh Ayah atau pergi sendiri. Tidak ada drama nangis-nangis seperti anak sekarang. Aku masih heran sampai sekarang mengapa aku begitu berani dan nekat membuat keputusan sendiri. Mungkin ini akibat didikan keras  dan disiplin dari ayah dan ibuku. Sebab memang  dari kecil aku jika menangis di biarin saja sama ayah dan ibu. Kata mereka kompak berdua. Aku akan diam dengan sendirinya jika di tinggalkan begitu saja.

Dalam mendidik anak-anaknya memang ayah dan ibuku saling mendukung. Jadi tidak ada anak emas dan semua anak sama. Dan jika kena marah sama Ayah jangan coba-coba mengadu dengan ibu sebab sama saja tidak akan di peduli. Oleh karena itu, aku dengan sendirinya kuat secara mental jika menghadapi sesuatu dan punya mental pantang menyerah sebelum menang begitulah Bahasa kerennya. Hehehe

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun