Mohon tunggu...
Dewi Anggar
Dewi Anggar Mohon Tunggu... -

Aku terhenyak, Senyuman membias makna, melambung harapan, mengikis mimpi lalu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Romantika Rosa

24 Mei 2016   10:14 Diperbarui: 24 Mei 2016   10:24 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Part 1. Pasar Malam

Akhir Juli 1997

Udara dingin berhembus pelan diikuti debu yang terbawa angin. Perlahan. Mengelus tengkuk dan menelusuri bulu-bulu halus. Dingin menjalari tubuh, mulai dari kaki, naik ke paha, lalu perut, berputar dibagian dada, lalu wajah hingga telinga. Dinginnya memeluk. Tapi tetap saja, rutinitas tidak lantas beku karena temperature. Gerombolan orang lalu lalang, lampu-lampu neon yang bergelantungan, dendang musik dangdut di beberapa sudut lapangan, juga tawa sumringah dan ringkik anak gadis, yang tampak gaul, nongkrong di bilah bambu pembatas jalan. Semua tingkah pola itu memancarkan panas. Memancar dari wajah yang berbagi cerita, berpijar dari gelak yang lupa pada matahari yang sudah ditelan malam. Malam yang dibakar hangat, dari ibu-ibu yang menjajakan gogos dan telur, juga dari mas-mas yang sibuk mengaduk gulali.

Ini malam ketiga pesta pasar malam berlangsung di desa Kemanggisan. Orang tua bilang,  ini malam jodoh berseliweran. Anak gadis hendaknya bersolek, mematut diri,  memakai bedak dan gincu, lalu berjalan berkeliling mengunjungi lapak demi lapak. Siapa tahu ada pedagang yang berkenan, tertarik, lalu memberondongnya dengan macam-macam seserahan, untuk kemudian meminang dan beralih profesi dari gadis penunggu dapur menjadi pedagang yang bekerja dengan modal suami.  Atau bisa jadi keadaan menjadi lebih baik, bos arena sirkus kekurangan pegawai, dan saat salah satu dari gadis bergincu itu lewat, sang bos tertarik lalu merekrutnya menjadi tukang jual karcis. Elegan sekali. Gadis- gadis Kemanggisan bukanlah gadis yang rumit. Cita-cita mereka sesederhana kain yang mereka pakai. Polos, kurang corak. Bisa menikah dan punya suami yang kuat bekerja, itu sudah lebih dari cukup. Sederhana bukan? Pernikahan bukan urusan hati, itu soal soal perut dan di bawah perut.

Malam keramaian seperti ini hanya terjadi sekali dalam setahun dan berlangsung selama satu bulan. Maka tidak heran, jika antusiasme warga meluap-luap menyambut festival pasar malam desa. Kampung yang biasanya sunyi senyap dan hanya diiringi bunyi jangkrik dan nyanyian malam burung hantu, tiba-tiba semarak dengan hujaman lampu warna-warni, musik dangdut, juga bunyi berisik genset yang akan redup saat tengah malam nanti. 

Aku ingat, aku berumur delapan tahun waktu itu. Memakai baju panjang berenda di bagian ujungnya. Warnanya kuning dengan motif bunga matahari. Leherku di balut kain. Kata ibu, biar tidak terlalu dingin. Aku ke pasar malam dengan ibuku. Aku senang sekali waktu itu. Setiap hari teman-temanku di sekolah selalu bercerita soal ramainya pasar malam dan betapa bagusnya mainan kuda-kudaan dan kincir yang berputar. Aku membujuk ibuku setiap hari mulai saat itu, agar ibu berkenan mengajakku sekali saja ke pasar malam. Aku juga ingin punya cerita. Setidaknya aku bisa mengangkat wajahku dan bilang pada teman-teman kelasku: aku juga sudah pergi ke pasar malam. Dan ibuku membelikanku gulali yang banyak.

Aku senang memikirkan itu. Teman-temanku akan mengerumuniku besok. Terpesona oleh ceritaku.

ð…ð

Aku menatap perempuan paruh baya dari balik jendela. Kulihat dia berbicara dengan kepala sekolahku. Teman-temanku berbisik-bisik dibelakangku. Kuabaikan. Mata dan pikiranku fokus pada dua manusia di depanku.

Aku berlari ke kelas, sesaat setelah aku melihat mereka berdiri dan berjalan keluar. Aku berlari sekencang mungkin dan duduk menyudut di belakang kelas, memeluk lutut dan menangkupkan wajahku. Sama seperti bayanganku sebelumnya, teman-teman mengerumuniku. Mereka berkerumun dengan pandangan yang sulit kuartikan. Mungkin mereka takjub. Tapi bukan pada ceritaku tentang gulali, bukan. Mereka takjub, pada sesuatu, yang kusebut itu takdir.

ð…ð

                                                                                                                                                                                          .....bersambung...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun