Memberi amnesti dan abolisi terhadap koruptor merupakan preseden terburuk sepanjang sejarah negara modern. Keputusan ini akan tercatat sebagai noda besar bagi pemerintahan saat ini mengingat kepentingan politik praktis secara kasat mata telah mementahkan keputusan hukum yang dibangun berdasarkan proses panjang sidang pengadilan.
Selain merendahkan fungsi hukum di bawah kuasa politik, ini sama halnya dengan merendahkan fungsi amnesti dan abolisi. Amnesti dan abolisi yang seharusnya menjadi instrumen menjaga kehormatan, menjadi alat pembersih kotoran, menghapus borok korupsi yang patologis.
Korupsi merupakan “penyakit akut” negara yang membutuhkan komitmen kuat para pemegang kuasa untuk memberantasnya melalui penegakan hukum yang tegas dan adil. Pemerintah seharusnya tegas bersikap terhadap koruptor, dalam bentuk apapun dan siapapun pelakunya, bukan malah “berdamai” dengan koruptor.
Siapapun tahu, amnesti dan abolisi kali ini diberikan demi meredam tekanan politik kelompok politik yang memilih oposisi. Ini sama artinya dengan menjadikan amnesti dan abolisi sebagai alat politik praktis dan kepentingan sesaat yang merendahkan nilai amnesti dan abolisi.
Pemerintah tidak seharusnya gentar menghadapi tuduhan kriminalisasi yang ditebarkan oleh kelompok oposisi, yang sejauh inj tidak lebih dari framing tak berdasar, sebab para koruptor yang diadili bukanlah tokoh biasa. Mereka adalah pentolan partai, para pemegang kuasa politik paling menentukan yang dapat mengangkat dan mencopot anggota DPR kapanpun mereka mau. Mustahil mereka dikriminalisasi karena faktanya justeru merekalah pihak-pihak yang paling mampu melakukannya.
Mereka tidak termasuk kelompok yang layak mendapatkan pengampunan. Bahkan karena statusnya sebagai salah satu pilar demokrasi dan pemerintahan, bila perlu hukuman mereka diperberat, bukan dibebaskan.
Membebaskan koruptor demi dukungan politik sama artinya dengan mengubah negara hukum menjadi negara politik. Hukum bukan lagi menjadi panglima tetapi alat politik dalam mengokohkan kursi kekuasaan.
Bila demikian yang berlaku, maka tidak ada gunanya lagi berharap keadilan pada institusi hukum. Berlindung di bawah partai politik lebih menjamin keselamatan dibanding mengais keadilan melalui jalur hukum.
Penutup
Pengampunan koruptor melalui amnesti dan abolisi telah merobek kepercayaan masyarakat terhadap komitmen pemerintah dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Pemerintah telah mempertontonkan bahwa hukum hanya tajam ke bawah karena bagi pemegang kuasa politik hukum hanya “mainan” yang dapat diselesaikan secara politik. Cepat atau lambat pemerintah harus bersiap menanggung konsekwensi merebaknya ketidakpuasan dan ketidakpercayaan dari rakyat yang masih mampu menggunakan akal sehatnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI