Jika hidup adalah sebuah buku, maka kita hanyalah karakter yang menjalankan skenario yang sudah ditetapkan oleh pena semesta (Laplace, 1814).
Sebaliknya, dalam filsafat eksistensialisme, manusia diyakini memiliki kebebasan penuh untuk menentukan jalan hidupnya. Jean-Paul Sartre (1943) menyatakan bahwa "eksistensi mendahului esensi," yang berarti manusia tidak memiliki takdir yang ditentukan sejak lahir, melainkan membentuk dirinya sendiri melalui pilihan-pilihannya.
Sartre menolak gagasan bahwa hidup adalah naskah yang sudah ditetapkan dan menekankan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas jalan hidupnya.
Ada juga pandangan yang mencoba menjembatani keduanya. Henry Manampiring dalam Filosofi Teras (2018) mengutip ajaran Stoikisme yang menekankan bahwa meskipun ada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan, kita tetap memiliki kebebasan untuk menentukan cara kita menghadapinya.
Ia menulis, "Jangan biarkan peristiwa di luar kendali menggoyahkan dirimu. Periksa, lalu tentukan responsmu"Â (Manampiring, 2018). Dengan kata lain, meskipun ada aspek dalam kehidupan yang tampaknya sudah ditentukan, cara kita meresponsnya tetap berada dalam kendali kita.
Menulis Cerita Hidup Sendiri
Jika hidup memang sebuah manuskrip, apakah kita hanya membacanya, ataukah kita juga memiliki pena untuk menulis ulang? Seperti dalam dunia teater, ada naskah yang ketat tanpa ruang improvisasi, tetapi ada pula yang memberikan kebebasan bagi aktornya untuk mengembangkan peran.
Dalam konteks ini, kita bisa melihat kehidupan sebagai kombinasi keduanya. Ada hal-hal yang sudah ditetapkan, yakni keluarga tempat kita lahir, kondisi awal kehidupan, tetapi ada pula ruang bagi kita untuk menentukan bagaimana kita menjalani peran tersebut.
Weinstein (2017), seorang penulis skenario, menyatakan bahwa "naskah hanyalah kerangka, yang membuatnya hidup adalah cara kita memainkannya" . Dengan kata lain, meskipun ada batasan dalam kehidupan, interpretasi dan sikap kita terhadapnya tetap berada dalam kendali kita.
Bagaimana Kita Mengubah Alur?
Di titik ini, pertanyaannya berubah, sejauh mana kita bisa menulis ulang hidup kita? Ada beberapa pendekatan yang bisa kita ambil untuk memahami ini.
1. Psikologi Perubahan Diri
Dalam dunia psikologi, konsep growth mindset dari Carol Dweck (2006) menunjukkan bahwa manusia tidak dikunci oleh keadaan awalnya. Mereka yang percaya bahwa kemampuan dan kecerdasan dapat berkembang melalui usaha cenderung lebih mampu menghadapi tantangan dan menciptakan perubahan dalam hidup mereka.