Salah satu naskah epik terpanjang di dunia berasal dari Bugis-Indonesia, yaitu La Galigo, dengan lebih dari 6.000 halaman melampaui Mahabharata.
Naskah ini bukan sekadar mitos penciptaan, tetapi juga menggambarkan bagaimana kehidupan manusia seolah mengikuti jalur yang sudah ditetapkan. Sebagai contoh, dalam La Galigo, terdapat kutipan yang mencerminkan konsep takdir:
"Rebba sipatokkong, mali siparappek, sirui menrek tesiruino, malilu sipakaingak."
Terjemahan:Â "Rebah saling menegakkan, hanyut saling mendamparkan, tarik-menarik ke atas bukan saling menarik ke bawah, khilaf ingin memperingati sampai sadar"Â (Sikki et al., 1991).
Menariknya, dalam banyak kebudayaan lain, gagasan serupa juga ditemukan mulai dari konsep takdir dalam filsafat Yunani hingga kepercayaan di berbagai tradisi Timur bahwa setiap individu memiliki jalan hidup yang sudah tertulis.
Jika hidup memang sebuah manuskrip yang sudah ditulis sebelum kita lahir, sejauh mana kita bisa mengubah jalan ceritanya? Ataukah kita hanya menjalankan peran yang sudah ditetapkan tanpa pernah benar-benar menulisnya sendiri?Â
Inilah pertanyaan yang telah diperdebatkan dalam berbagai cabang filsafat, dari determinisme hingga eksistensialisme.
Tentang Takdir dan Pilihan
Ada dua cara memahami kehidupan, yakni sebagai skenario yang sudah tersusun atau sebagai rangkaian peristiwa yang bisa kita pengaruhi. Dalam perspektif determinisme, hidup dianggap sebagai rantai sebab-akibat yang tak terhindarkan.
Tokoh seperti Pierre-Simon Laplace (1814) pernah berargumen bahwa jika seseorang mengetahui posisi dan momentum semua partikel di alam semesta, maka ia dapat memprediksi seluruh masa depan.
Ini yang kemudian dikenal sebagai determinisme Laplacean, yang pada dasarnya menyatakan bahwa kehidupan bekerja seperti sebuah mesin yang seluruh bagiannya sudah bergerak sesuai hukum alam.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!