Mohon tunggu...
Ninuk Setya Utami
Ninuk Setya Utami Mohon Tunggu... lainnya -

Beberapa bulan ini nyari uang segede koran di salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat. Pengennya, bisa segera kembali ke Kepulauan Riau, atau bersua bersama saudara-saudaraku suku-suku termajinalkan di Indonesia. Berbagi kasih, berbagi keceriaan....

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Oleh-oleh dari Suku Laut : Siapa Mau Kutu Rambut?

7 Juni 2012   08:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:18 1237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kaca rias yang sudah tidak bertangkai kupas-paskan di kepalaku. Tanpa malu kubuka-buka deretan rambutku di beranda rumah. Di luar ruangan cahaya lebih terang. Meski sudah dua orang, mbak Puji dan Jony adikku, kumintai mengecek rambutku, rasa penasaran masih mendera. Seingatku, gatal akibat ketombe biasanya tidak disertai rasa sesuatu yang berjalan. Makin penasaran setelah kemarin Dhanik yang pergi bersamaku berkegiatan di Suku Laut mengatakan, telah menemukan kutu dalam kondisi mati dari rambutnya.

[caption id="attachment_186427" align="alignleft" width="300" caption="Jaman boleh berganti, kutu rambut tetap berjaya sepanjang jaman (Foto milik The Humanity Forum/THF. Diambil oleh Ninuk)"][/caption] Lalu, informasi lanjutan darinya, “Mbakku nemu lingso mentes-mentes neng rambut mburi (kakakku menemukan telur kutu yang –haduh, mentes itu apa ya bahasa Indonesianya?- di rambut bagian belakang).”

Kalau Dhanik kena sebaran kutu rambut, aku yang tiap malam tidur di sampingnya pasti juga kena! Mustahil rambutku ‘steril’ dari kutu kalau Dhanik juga kena. Sekalipun rambutku lebih tipis dari rambut Dhanik, pasti ada satu dua ekor atau bahkan lebih yang menyempatkan ‘berpetualang’ di kepalaku. Apalagi anak-anak laut seperti Lina dan Arin, juga tidak segan menempelkan kepalanya ke kepalaku, baik saat belajar atau melihat sesuatu yang sedang kupegang.

Rasa seperti ada satwa merambat di kepalaku sudah kurasai sejak aku masih tinggal di kelompok Akob, Suku Laut yang masuk Dusun Tajur Biru, Desa Temiang, Kecamatan Senayang, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau. Bersama Dhanik, aku hanya menyakinkan diri, “Mugo-mugo ora ketularan.” Nyatanya hari ini aku menemukan lingso atau telur kutu rambut dan kutu yang masih berukuran mini di kepalaku!

Bagi Kutu untuk Nenek

Kukira, seiring menjamurnya produk shampoo, pernak-pernik perawatan rambut, sampai iklannya yang indah-indah, kutu rambut sudah masuk daftar satwa punah. Rupanya kutu rambut yang di tempatku Solo disebut tumo, tidak lekang oleh jaman. Di rambut kepala semua orang laut di kelompok Akob tanpa kecuali memiliki kutu rambut, baik laki –laki, perempuan, dewasa, hingga anak-anak. Soal jumlah, tergantung tingkat kekebalan rambut, bersih tidaknya, serta pendek panjangnya rambut.

Kata Mei yang punya nama lengkap Kamisah (8), kutu rambut membuat gatal di kepalanya. “Miyang (gatal), Nuk. Kalau lagi belajar sering terasa miyang,” tutur siswi kelas 1 SDN 004 Senayang, Tajur Biru itu.

Meskipun miyang di kepala, ada juga orang yang suka minta kutu pada anak-anak. Orang itu tak lain tak bukan adalah Rusnah, istri Akob. Bukan seminggu sekali atau sepuluh hari sekali ibu enam anak itu minta kutu, tapi setiap hari!

[caption id="attachment_186428" align="alignright" width="300" caption="Mamak Rusnah senang ada kutu, bisa bikin tidur saat kutu diambil"]

1339057034725079476
1339057034725079476
[/caption]

“Gila ya Mamak ni, suka minta kutu sama anak-anak. Senang Mamak. Jadi kalau tak ada kerja, Mamak suka ada –orang- yang ambil kutu. Senang, bisa bikin tidur kita,” kata Rusnah yang lebih senang dipanggil Bungsu ini.

Anak-anak sering tiba-tiba mencarinya. Di tangan mungil anak-anak, kutu diletakkan tepat di tengah-tengah telapak tangan untuk diberikan pada Rusnah. Bukan hanya satu ekor tentu saja. Dengan cekatan, kutu diambil dari telapak anak-anak, kemudian diletakkan di kepalanya. Secepatnya jari-jarinya mengelus-elus rambut, persis seperti memijit rambut tanpa tenaga, agar kutu rambut bisa masuk ke sela-sela rambut.

Kadangkala, anak dengan senang hati mengantar kutu rambut saat malam, ketika orang laut tengah asyik menyaksinkan lagu-lagu atau film lewat DVD. Hal sama akan dilakukan, mengelus rambutnya sendiri. Terkadang juga tanpa dijumput, tetapi kutu langsung diletakkan oleh anak-anak ke kepala nenek delapan cucu itu.

Suatu sore, saat aku dan Dhanik sengaja membelikan sisir khusus kutu rambut -kami menyebutnya suri, Rusnah mengajak Rinto (9) keponakannya dari suami untuk dimintai kutu. Dalam lirikku, rambut Rinto disisir pakai sisir rambut biasa. Kutu yang berjatuhan di baju Rinto diambil, kemudian diletakkan di kepalanya. Tepat saat Dhanik tengah membantu Mei, Iyus (13), Jutai (13), dan beberapa anak lain antri surenan.

Namun, tampaknya Mamak sempat malu saat aku membidikkan kamera ke arahnya. Jemari Rinto yang telah memegang kutu dikipaskannya. Kutu diambil Mamak Rusnah, diletakkan di papan kayu, lalu dipencet sampai mati.

Dapat kutu seperti sariawan

Saat berburu kutu rambut, orang laut menggunakan alat dari bambu yang dibuat sendiri. Bentuknya panjang sekitar 15 cm, agak pipih, semakin ke ujung semakin pipih dan agak lancip. Di waktu senggang atau istirahat di sela kerja, orang laut sering saling mencari kutu rambut. Selalu terdengar,  “Ssrrggggg....,” persis seperti orang menahan sakit akibat sariawan.

Awalnya kulontarkan pertanyaan lugu –yang kemudian kusadar menjadi pertanyaan bodoh hehe- pada Kak Na yang tengah memanen kutu Minduk, “Sakit sariawan, Kak? Minum air limau (jeruk) saja, Kak, pasti cepat sembuh.”

Pertanyaanku –juga Dhanik- hanya dijawab, “Nggak ada, Nuk. Oh, rupanya setiap menemukan kutu di kepala, kemudian menggeseknya sampai mati menggunakan batang khusus kutu, selalu disertai bunyi mulut, “Ssrrrgggghhhh....” seperti orang sakit sariawan. Apa hubungan menyauarakan “Ssrrgggghhh“ dengan perolehan kutu tidak kami pahami benar. Pertanyaanku yang berulang selalu dijawab dengan jawaban yang sama, “Enak, Nuk, kalau dapat kutu.”

Walau tertunda

Orang laut kelompok Akob memiliki kebiasaan yang unik saat mandi, bukan saja pada anak-anak tetapi juga pada orang dewasa. Sabun mandi bisa sekaligus sebagai shampoo untuk rambut mereka. Hal yang sama juga pada pemakaian shampoo untuk sabun tubuh. Anak-anak sekolah yang malas mandi karena alasan sejuk (dingin) hanya membasahi rambut mereka agar tampak seperti mandi. Terlebih jika pelajaran sekolah hanya pelajaran olahraga. “Nanti juga kotor lagi kalau mandi,” kilah Kincil (12) anak pasangan Ta-Rani.

Rambut yang basah, lembab, tapi tidak bersih tentu saja menjadi rumah yang nyaman bagi kutu rambut. Apalagi jika didukung tipe rambut ikal sampai keriting. Kutu semakin senang tinggal di kepala anak laut yang suka mandi air masin (laut) tanpa dibilas air tawar.

[caption id="attachment_186431" align="alignright" width="300" caption="Terima kasih Rein dan Heri"]

1339057143769693464
1339057143769693464
[/caption]

Di minggu terakhir aku dan Dhanik tinggal bersama Suku Laut kelompok Akob, kami membagikan obat kutu rambut. Etis nggak ya kusebutkan merknya? Kuhubungi kawan yang kukenal lewat kawan di Tanjung Pinang untuk membelikan obat kutu rambut, sekaligus memaketkannya lewat speed boat yang melawati Tajur Biru. Uang untuk membelikan obat kutu dan biaya paket, sementara berhutang pada seseorang. Maklum saja, untuk pergi ke ATM di kota harus menginap satu malam. Sangat tidak seimbang dengan harga obat kutu yang sebotol hanya Rp 5 ribu. Di toko-toko milik para tauke di Tajur Biru, obat kutu rambut tidak tersedia.

“Bila pakai obat kutu?” begitu pertanyaan yang dilontarkan silih berganti, baik Mei, Jutai, Runi (7), maupun Ganyah (10). Pemberian obat kutu sempat tertunda beberapa kali. Pertama, Sabtu malam kami semua termasuk orang laut mendapat undangan perpisahan siswa kelas 6. Lalu tertunda lagi karena tiba-tiba ada agenda nonton joget.

Karena tidak sabar menggunakan sikat gigi hotel yang tidak terpakai, lambat laun tanganku langsung turun tangan. Sempat ada kutu yang nempel di tangan ketika telapak tangan meratakan obat kutu. Esoknya, saat anak-anak yang semalam mengenakan obat kutu sudah berpakaian seragam sekolah rapi, kutanyai, “Masih miyang?” Satu per satu menjawab, “Tak lagi.”

Semoga sepulang kami, Mamak Rusnah tidak berinisiatif memberikan kutu pada anak-anak. Meskipun hilang sampai habis masih mustahil, mengingat tidak semua orang menggunakan obat kutu, setidaknya sudah lusinan kutu di kepala anak-anak mati. Kuharap sampai telur-telurnya.

Pulau Air Bingkai, 31 Mei 2012

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun