Mohon tunggu...
Ninuk Setya Utami
Ninuk Setya Utami Mohon Tunggu... lainnya -

Beberapa bulan ini nyari uang segede koran di salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat. Pengennya, bisa segera kembali ke Kepulauan Riau, atau bersua bersama saudara-saudaraku suku-suku termajinalkan di Indonesia. Berbagi kasih, berbagi keceriaan....

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Listrikku Turun Harga

5 Maret 2018   12:30 Diperbarui: 5 Maret 2018   12:42 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku dan Dani tidak paham ketika ditanyai pedagang panel surya yang menghubungi melalui whatsapp dan lalu menelpon. Oh, kuakui.....

Harga yang ditawarkan belum pas di tabungan kami. Aku dan Dani mesti lebih sabar untuk mengisi aki ke dusun, yang 45 menit jalan kaki di jalan terjal melewati dua tanjakan bukit itu.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Didik, rekan kerja saat di Aceh Selatan dulu memberitahuku bahwa teman kami, R, sekarang bekerja di lembaga yang menjual produk ramah lingkungan. Panel surya salah satunya. Dari gambar-gambar yang dikirim rekan kerja R, kami tertarik membeli. Deal, dikirim lewat Kantor Pos tapi dialamatkan di TIKI Bangko. (terkait paket, nanti kutulis cerita tersendiri)

Behhh...paket yang dikirim 'terlempar-lempar'. Alamat di Bangko, namun mesti diambil ke daerah Kerinci. Menurut informasi dari beberapa sopir travel yang kukenal, butuh sekira 6 jam lagi dari Bangko. Aku menolak. Pos mesti mengirim ke Bangko. E...bukannya dikirim ke Bangko. Alasan isi paket terdapat aki kering, disebutkan sebagai barang berbahaya saat berada di pesawat, kok aneh malah dikirim balik ke Aceh! Dari Aceh, dikirim lagi ke Jambi. Kali ini nyasar ke Muara Bungo. Duh Gusti paringonosabarrr...

Beberapa Minggu kemudian Tiki Bangko mengirim sms, ada paket atas nama Dani Marhaen, mohon segera ambil. Aku terkejut saat menerima dus paket. "Kecil, Dan," kataku saat menelpon Dani.

Oh baru kami paham, panel 5,4 AH itu kecil sekali. Sekalipun kami patuhi keterangan di brosur, bahkan lampu hanya satu (1) saja tidak sampai dua (2) jam kuat menyala. Sekalipun lampu di aki menyala hijau sebagai tanda bahwa daya aki telah penuh, di malam hari tetap saja lampu tidak sampai dua jam menyala. Bahkan siang hari tidak kami gunakan untuk charge hp sekalipun.

"Ya sudah cari panel yang lebih gede ketimbang senewen tiap malam," kataku.

Setiap kali ke dusun STB, saya searching di google. Meskipun saat itu di dusun dan bahkan di pondok ada saja yang menawari panel surya, harga yang ditawarkan 'terlalu' tinggi. Akhirnya kami dapat juga alamat penjual panel surya di Glodog, Jakarta. Kami pesan, beberapa hari kemudian paket bisa diambil di Bangko.

Horeeeiii...kami punya listrik sendiri! Sejak rumah kami terang, rombongan Enci, Pawan, dan Uci datang ke pondok kami malam-malam. Sekedar ngobrol atau meminjam koran. Jangan tanya soal keterkinian berita, yang penting lembar koran, kami bacai sampai ke iklan-iklannya.

"Dan, aku iri sama kamu. Rumah kamu terang sekarang. Aku mau lah beli kalau kamu jualan payung," ujar Uci tetanggaku yang berasal dari Pagaralam, Sumatera Selatan, malam itu. Enci, Bobi, dan beberapa orang kemudian memesan payung, demikian orang sini menyebut panel surya.

Lambat laun, listrik tidak lagi jadi kendala utama. Harga panel surya makin harga murah saja. Hanya akinya yang butuh perawatan ekstra. Aki tidak awet lama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun