Mohon tunggu...
Narendra Ning Ampeldenta
Narendra Ning Ampeldenta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis tentang isu Politik, Sosial, dan hal-hal menarik lainnya.

Penulis Paruh Waktu, Pembelajar Sepanjang Waktu. Bangga Menjadi Anak Indonesia. Teknik Interdisiplin Hochschule RheinMain, Jerman.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memaknai dan Merenungi Kembali Pancasila

11 Juni 2018   20:11 Diperbarui: 13 Juni 2018   01:25 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://sosiologis.com/demokrasi-pancasila


"Satu alasan saya cinta sama Indonesia adalah ideologi Indonesia yaitu #Pancasila. ", begitulah kalimat yang tertulis pada Instagram pemain Tim Nasional Sepakbola Indonesia hasil dari proses Naturalisasi kelahiran Montenegro, 30 tahun yang lalu, Ilija Spasojevic.

Begitu hebat makna dari kelima Sila ini sampai seorang yang bukan terlahir dari tanah ini dibuat kagum oleh indahnya kelima butir tersebut, yang bukan hanya sebuah tulisan belaka, tapi sangat bermakna bagi kehidupan berbangsa.   Jika kita coba terbang jauh ke masa lalu, masa dimana Pancasila sedang digodok oleh para pemikir bangsa, kita akan menemui bagaimana semangat kebangsaan ini muncul.  Hampir 73 tahun yang lalu, tepatnya 22 Juni 1945, Panitia Sembilan, yang berasal dari Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), bertemu dan menghasilkan sebuah rumusan dasar negara yang bernama Piagam Jakarta, yang berisikan: 

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. 

2.Kemanusiaan yang adil dan beradab.

3.Persatuan Indonesia.

4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

5.Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Sehari setelah kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melaksanakan Sidang yang bertujuan untuk mengesahkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sekaligus mengganti bunyi Sila pertama menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Kemudian kita bertanya, mengapa bunyi Sila pertama diubah?  Mari kita renungi bersama. 

Perubahan tersebut dilakukan atas dasar usulan dari masyarakat Indonesia Timur terutama dari para wakil pemuka agama Protestan dan Katolik, yang keberatan dengan bunyi Sila pertama "Ketuhanan dengan kewajiban menjalakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".  Mereka beranggapan bahwa bunyi Sila tersebut tidak mengikat dan merangkul mereka yang bukan beragama Muslim.  Demi menjaga kerukunan dan kenyamanan Umat beragama di Indonesia, akhirnya PPKI pun merubah bunyi Sila pertama tersebut.  

Perubahan dilakukan hanya dengan waktu singkat, 15 menit, hal yang menjadi satu tanda bahwa para pemikir dan tokoh-tokoh perjuangan Bangsa ini begitu memikirkan persatuan dan kesatuan Indonesia, dan menyadari betapa luas nya bangsa ini terbentang dari Sabang hingga Merauke dengan segala kemajemukan didalamnya. 

Dari hal tersebut bisa kita renungkan bersama, bahwa Nasionalisme bukan hanya sekedar satu hal yang diteriakkan dimulut, Nasionalisme bukan hanya milik satu golongan, karena Nasionalisme menjadi alasan mengapa dasar Negara harus mengayomi dan mencerminkan kehidupan berbangsa dan bernegara, karena Nasionalisme menjadi alasan mengapa Ideologi ini harus mencerminkan Indonesia sesuai budaya Negeri ini yang santun dan mengayomi sesama, karena semangat Nasionalisme lah yang menjadikan bagaimana Pancasila harus didesain se-dinamis mungkin, sehingga Idelogi ini tetap lestari terhadap perubahan zaman. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun