Beberapa tahun lalu, saya masih bisa melihat hamparan sawah dan rumah- rumah sederhana milik warga lokal di desa Canggu di Bali. Namun kini, sebagian besar pemandangannya telah berubah menjadi vila mewah, kafe ala Eropa, dan papan nama bertuliskan bahasa asing. Yang memilik, bangunan-bangunan itu bukan milik warga setempat, melainkan milik warga negara asing yang datang bukan hanya sebagai wisatawan, namun sebagai pemilik.
 Fenomena kepemilikan properti oleh orang asing di Bali kian terasa nyata dan menimbulkan kegelisahan. Bukan hanya karena banyaknya tanah adat atau tanah warisan yang berpindah tangan, namun karena perubahan ini seolah-olah membuat masyarakat lokal menjadi "penonton" di tanah itu sendiri.
 Data terbaru dari Kelompok Kerja Krisis Nominee Indonesia (K3NI) menunjukkan bahwa lebih dari 50 ribu WNA telah memiliki tanah dan properti di Bali, dengan nilai mencapai Rp 109,2 triliun dan luas lahan lebih dari 10 ribu hektare pada tahun 2020.Angka ini diperkirakan terus bertambah hingga 2024. Ini bukan soal investasi asing, tapi juga soal bagaimana tanah warisan Bali kepada tangan asing, seringkali melalui praktik ilegal seperti pinjam nama (perjanjian yang ditunjuk) yang tidak diakui secara hukum oleh Mahkamah Agung RI.
Namun, dibalik angka tersebut, tersimpan kegelisahan yang mendalam. Banyak masyarakat Bali merasa tanah yang selama ini diwariskan turun temurun mulai lepas dari genggaman mereka. Bukan hanya karena faktor ekonomi, tetapi juga karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Celah hukum dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk memperkaya diri, sementara masyarakat adat Bali harus menanggung risiko kehilangan identitas dan ruang hidup.
Contoh kasus viral di belakangan ini seperti yang menimpa influencer Australia Julian Petroulas yang pamer pembelian tanah dan investasi manor di Canggu membayangkan betapa rentannya regulasi kita terhadap praktikkepemilikan tanah oleh WNA. Meskipun pemerintah telah mengambil tindakan tegas dengan mendeportasi Julian, kasus tersebut membuka mata kita bahwa banyak WNA lainnya yang menguasai tanah secara ilegal, bahkan membangun properti tanpa izin lengkap. Kini di beberapa daerah seperti Canggu, Ubud, dan Seminyak, muncul istilah tidak resmi seperti "kampung Rusia" atau "kampung Australia" karena banyaknya WNA yang tinggal dan beraktivitas di sana. Bahasa Bali mulai jarang terdengar. Upacara adat tak lagi mendapat ruang. Warga lokal pun perlahan "terpinggirkan", bukan hanya secara ekonomi, tapi juga secara kultural.
 Apakah ini termasuk kemajuan atau penjajahan dalam bentuk baru?
 Anggota Komisi II DPR RI, Cornelis dan Guspardi Gaus, menyoroti bahwa fenomena "kampung asing" seperti Kampung Rusia di Bali berpotensi menggerus keaslian budaya Bali dan mengancam hak-hak penduduk lokal. Mereka menekankan perlunya pengawasan ketat agar tanah tidak dialihfungsikan menjadi gedung-gedung asrama dan fasilitas yang menggusur masyarakat adat serta kawasan pesisir yang rentan terhadap perubahan iklim.
Pemerintah daerah sebenarnya telah mengeluarkan kebijakan seperti Peraturan Bupati Badung dan Karangasem tahun 2025 yang memberikan izin perolehan hak atas tanah bagi masyarakat yang berada di dataran rendah, sebagai upaya menjaga akses tanah bagi penduduk setempat. Namun, langkah ini perlu diikuti dengan pengawasan dan penegakan hukum yang lebih kuat agar tidak dimanfaatkan oleh oknum asing maupun lokal yang berkolaborasi secara ilegal. Masalah ini menuntut perhatian serius dari semua pihak. Tanah Bali bukan sekadar aset ekonomi, melainkan warisan budaya dan identitas yang harus dilindungi. Jika tidak, Bali akan kehilangan jati dirinya dan masyarakat lokal akan terus terpinggirkan dari tanah kelahirannya sendiri.
 Penegakan hukum di Bali harus lebih diperkuat sebagaimana Pemerintah perlu secara tegas menindak praktik yang ditunjuk dan memastikan setiap transaksi tanah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dan juga edukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga tanah warisan harus digalakkan, agar masyarakat tidak mudah berbohong dan menjual tanah kepada asing. Pemerintah daerah harus berani membuat regulasi yang berpihak pada masyarakat adat dan lingkungan, bukan hanya pada kepentingan investor. Lebih dari itu, perlu adanya kolaborasi antara pemerintah, tokoh adat, sejarawan, dan masyarakat sipil untuk merumuskan kebijakan yang adil dan berkelanjutan. Bali bukan sekedar aset ekonomi, melainkan warisan budaya dunia yang harus dijaga bersama.