Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kala Renjana Menemukan Jalannya

28 Februari 2021   11:50 Diperbarui: 28 Februari 2021   11:54 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dingin membelit kala gerimis mengundang curah hujan yang segera datang seolah ditumpahkan dari langit. Kedua anakku tengah belajar. Sejak keduanya masih kanak-kanak sampai mahasiswa seperti saat ini, aku seringkali menemaninya, duduk di sebelah mereka. Adakalanya malah menyediakan makanan kecil sebagai selingan kejenuhannya jika mereka tampak gelisah, seperti yang juga kulakukan saat menemani ayahnya kerja lembur di rumah. Entah lelah entah harus saatnya mengangkat muka dari laptop yang sejak sore ditatapnya, begitu gerakan itu terlihat olehku, aku pun membuatkan makanan selingan.

"Permisi, Bu. Jika saya ingin curhat, ada waktukah?" seorang anak buahku, mahasis wa praktik di sekolahku, mendekat. Aku pun mengiyakan, memintanya duduk di kursi depanku.

Ia seorang mahasiswa dari luar kota yang tengah kos dikotaku. Bukan itu yang diceritakannya. Semula ia memang sekadar berkonsultasi Rencana Kegiatan Pembelajaran beserta program-program lainnya, apakah sudah lengkap? Oleh karena itu, kuperiksa semuanya satu per satu.

"Ini, mengapa ada nama lain untuk tanda tangan? Nama orang lain. Satu lembar terlampaui tidak diganti. Hasil nyontekkah?"

Ia pun buru-buru melihat hasil kerjanya dan dengan tersipu ia mengakui jika itu memang hasil menyontek tugas temannya. Akan tetapi ia paham cara kerjanya, hanya satu lembar itu terlewatkan belum diganti, mungkin saat itu sedang terlanda masalah berat.

Ia memandangku sekilas seolah ingin menceritakan beban berat di hatinya. Aku mengangguk. dari ekspresinya yang ingin bercerita banyak hal, aku pun memintanya untuk bercerita. Ada jam kosong dua jam, kukira cukup untuk mendengarkan curhatnya, kendati untuk itu aku harus melewatkan makan siang.

Bel masuk setelah istirahat berbunyi, kisahnya kisah klasik tentang remaja yang ditinggal pacarnya berselingkuh, belum terselesaikan. Guru berikutnya harus memasuki kelas, perutku keroncongan pula karena pagi tadi hanya sarapan roti. Maka, ia pun kuajak ke kantin untuk makan siang sambil meneruskan ceritanya.

Entah merasa menemukan teman curhat yang membuatnya merasa nyaman, ia seolah bergantung kepadaku. Apa pun beban yang dirasakannya selalu diceritakan kepadaku, padahal ia sebenarnya introvert.

Praktik lapangan pun usai. Ia bahkan siap diwisuda. Sesuatu yang di luar dugaan, ia datang ke rumah dan memintaku menemaninya. Aku terkejut. Ia lelaki tampan dengan postur tubuh atletis. Saat pacarnya meninggalkannya, belum tentu karena selingkuh, bisa jadi karena merasa kesulitan menahan cemburu karena ia selalu dikerumuni teman-teman perempuannya, kendati ia tidak ingin menjadi playboy.

"Kamu nggak malu?"tanyaku sejujurnya.

"Tapi Tante kan cantik,"katanya menatapku.

Hm...urusan cantik, semua orang juga mengatakan serupa. Kecantikan klasik ala putri keraton karena kebetulan aku pun berdarah biru. Caraku bersikap dan memperlakukannya, okelah boleh membuatnya terkesan dan terkenang-kenang. Kecantikanku pun memancarkan keanggunan wanita Jawa ningrat. Rambut disanggul setelah disisir semua ke belakang, di samping mata belo dan pipi bak pauh dilayang.

Akan tetapi, bagaimana dengan umurku yang lebih tua darinya? Ia bahkan dengan seenaknya mengubah panggilan dari "bu" menjadi "tante". Memang sih, usiaku setara dengan tantenya kendati saat foto berdua dengannya, masih pantas jika dipamerkannya sebagai pengganti kekasihnya yang hilang terbawa duda mapan, katanya.

"Cara berjalanku? Kamu nggak malu?" tanyaku sambil mengguncang bahunya.

Suaraku memendam tangis keharuan. Setelah menutup diri dari lelaki pascakecelakaan yang membuat cara berjalanku setengah pincang, aku memang tak lagi membuka hati untuk lelaki. Aku bertekat tak akan membiarkan hatiku terusik oleh lelaki daripada terluka parah karena kebaperan. Lebih baik kulindungi agar tak kasmaran.

"Memang kenapa kalau pincang?"jawabnya,"Aku nggak akan pulang sebelum mengiyakan."

"Kamu tampan, mempunyai masa depan cerah, banyak perempuan antre menjadi pasanganmu. Apa yang Kamu cari dariku? Aku lebih tua hampir dua puluh tahunan, belum tentu rahimku tak bermasalah seperti kakiku...

Ia tak pernah membiarkanku berbicara panjang lebar mengisahkan kemalanganku. Ia pun segera mengalihkan obrolan yang membuatku merasa dibutuhkannya sebagai teman curhat yang menyenangkan.

Begitu ia memperoleh pekerjaan kendati belum diangkat sebagai pegawai negeri, ia pun mengajakku menikah. Entahlah, kecemasan kelak dikecewakan, disakiti, dibuat cemburu berkepanjangan, mendadak menepi manakala ia secara bersungguh-sungguh mengajak menikah. Yang menyesaki dadaku hanyalah terharu dan terharu saja. Airmataku berlinangan ketika hari pernikahan itu tiba. Bahkan aku nyaris pingsan manakala surat nikah itu nyata ada di depanku.

Di luar dugaanku, aku pun segera hamil anak pertama usai pernikahan itu, bahkan Tuhan masih memberiku kebahagiaan dengan membuatnya lolos tes PNS setelah anakku berumur setahun. Ia melarangku mengikuti tes tersebut sehingga aku harus puas menjadi guru swasta selamanya.

"Kalian kelak jika sudah lulus dan kuliah, janganlah kerja jauh dari ibu ya' Nak."kataku sambil membelai kepala kedua anakku yang tengah belajar. Keduanya diam tidak menjawab sepatah pun, hanya saling pandang.

"Tapi, Bu. Bagaimana jika lamaran kerjaku yang lolos malah di luar kota, luar provinsi, luar negeri?" protes si bungsu.

"Betul. Jalani saja kendati jauh, apalagi kalian berdua lelaki,"sahut suamiku sambil menuju meja makan.

Aku pun bergegas menemaninya seperti biasanya. Tidak seperti kebiasaannya, ia langsung makan begitu nasi, lauk, dan sayur sudah kutuangkan ke piringnya. Kali ini ia menatapku tajam.

"Kamu tadi bicara apa kepada anak-anak, Te?" tegurnya. Panggilan tante yang disingkat menjadi "te" tidak pernah berubah.

Aku tak kuasa menentang tatapannya. Aku terlalu mencintainya, sehingga aku tak pernah menghalangi keinginannya untuk berbahagia. Ia masih tampak muda dengan prestasi kerja yang menanjak jauh melampauiku yang masih sebagai guru swasta. Selain itu, aku merasa semakin tua terlebih usiaku memang lebih tua daripadanya.

"Anak-anak sudah besar. Mereka akan segera memperoleh pekerjaan, kemudian menikah. Tugasmu sebagai ayah dan suami, apakah tidak ikut usai? Aku...

Airmataku mendadak berlinang. Tapi aku harus mengatakan yang sejujurnya, bahwa ketulusan cintakulah yang membuatku bersiap mengikhlaskannya jika ia ingin meninggalkan aku demi perempuan lain. Perempuan lebih muda yang tidak pincang jalannya. Aku akan ikut anak-anakku saja.

"Apa maksudmu?" ia menahan suapan nasi terakhir dari sendoknya.

"Kamu ingin lari dariku? Demi siapa?" godanya sambil meraih bahuku.

Aku pun tak tahan untuk tidak merebahkan kepala di bahunya sambil masih meneruskan tangisku,

"Nggak demi siapa-siapa,"jawabku. Aku sudah menutup mata hati dari lelaki lain sehingga ulah sok cemburunya itu kuanggap sekadar membesarkan hatiku. Kendati, teman-teman memang ada satu dua yang suka mengobrol denganku yang kutu buku.

"Kesempurnaan hanya milik Tuhan. Bukankah yang kita cari kebahagiaan? Biarkan anak-anak menyongsong masa depannya ke arah mana saja di penjuru dunia ini."

"Aku ikut siapa? Bukankah banyak perempuan yang nekat saja seolah memandang sebelah mata kepadaku? Kamu memang tak pernah menutupi sudah punya isteri, tapi mereka merangsek maju tanpa mau tahu keberadaanku. Betapa sakit hatiku. Tahu nggak, aku sering menangis dan terbangun malam-malam karena ulah mereka,"tangisku semakin tercurah tanpa sisa agar hatiku merasa lega setelah memendam siksa dan prasangka sekian lama.

"Padahal aku selalu pulang. Mengapa Kamu memendam curiga dan meragukan ketulusanku sekian lamanya? Tidak terasakankah kasih sayangku? Cintaku?" katanya sambil memeluk bahuku.

"Semakin terasakan semakin membuatku iba, aku merasa sangat egois jika mempertahankanmu demi perempuan lain yang lebih sempurna. Aku pun mempersiapkan mental merelakan dan meninggalkanmu. Aku akan menyertai anak-anak...

"Kamu isteriku. Selamanya harus bersamaku. Harus ikut aku,"tandas kata-katanya, yang dibuktikan dengan semakin melarangku mengerjakan kesibukan di rumah jika hal itu membuat kakiku yang setengah pincang ini kesulitan melangkah. Tuhan, terimakasih. Mimpi atau nyatakah yang kualami? Tangisku malam-malam saat aku terbangun untuk melakukan salat malam dengan syukur yang menjalari seluruh tubuh. Tubuh yang membuat suamiku tetap mencintaiku apa adanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun