Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kala Renjana Menemukan Jalannya

28 Februari 2021   11:50 Diperbarui: 28 Februari 2021   11:54 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hm...urusan cantik, semua orang juga mengatakan serupa. Kecantikan klasik ala putri keraton karena kebetulan aku pun berdarah biru. Caraku bersikap dan memperlakukannya, okelah boleh membuatnya terkesan dan terkenang-kenang. Kecantikanku pun memancarkan keanggunan wanita Jawa ningrat. Rambut disanggul setelah disisir semua ke belakang, di samping mata belo dan pipi bak pauh dilayang.

Akan tetapi, bagaimana dengan umurku yang lebih tua darinya? Ia bahkan dengan seenaknya mengubah panggilan dari "bu" menjadi "tante". Memang sih, usiaku setara dengan tantenya kendati saat foto berdua dengannya, masih pantas jika dipamerkannya sebagai pengganti kekasihnya yang hilang terbawa duda mapan, katanya.

"Cara berjalanku? Kamu nggak malu?" tanyaku sambil mengguncang bahunya.

Suaraku memendam tangis keharuan. Setelah menutup diri dari lelaki pascakecelakaan yang membuat cara berjalanku setengah pincang, aku memang tak lagi membuka hati untuk lelaki. Aku bertekat tak akan membiarkan hatiku terusik oleh lelaki daripada terluka parah karena kebaperan. Lebih baik kulindungi agar tak kasmaran.

"Memang kenapa kalau pincang?"jawabnya,"Aku nggak akan pulang sebelum mengiyakan."

"Kamu tampan, mempunyai masa depan cerah, banyak perempuan antre menjadi pasanganmu. Apa yang Kamu cari dariku? Aku lebih tua hampir dua puluh tahunan, belum tentu rahimku tak bermasalah seperti kakiku...

Ia tak pernah membiarkanku berbicara panjang lebar mengisahkan kemalanganku. Ia pun segera mengalihkan obrolan yang membuatku merasa dibutuhkannya sebagai teman curhat yang menyenangkan.

Begitu ia memperoleh pekerjaan kendati belum diangkat sebagai pegawai negeri, ia pun mengajakku menikah. Entahlah, kecemasan kelak dikecewakan, disakiti, dibuat cemburu berkepanjangan, mendadak menepi manakala ia secara bersungguh-sungguh mengajak menikah. Yang menyesaki dadaku hanyalah terharu dan terharu saja. Airmataku berlinangan ketika hari pernikahan itu tiba. Bahkan aku nyaris pingsan manakala surat nikah itu nyata ada di depanku.

Di luar dugaanku, aku pun segera hamil anak pertama usai pernikahan itu, bahkan Tuhan masih memberiku kebahagiaan dengan membuatnya lolos tes PNS setelah anakku berumur setahun. Ia melarangku mengikuti tes tersebut sehingga aku harus puas menjadi guru swasta selamanya.

"Kalian kelak jika sudah lulus dan kuliah, janganlah kerja jauh dari ibu ya' Nak."kataku sambil membelai kepala kedua anakku yang tengah belajar. Keduanya diam tidak menjawab sepatah pun, hanya saling pandang.

"Tapi, Bu. Bagaimana jika lamaran kerjaku yang lolos malah di luar kota, luar provinsi, luar negeri?" protes si bungsu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun