"Bohong. Kamu memang  nggak berniat nikah denganku, buktinya keduluan Broer?" kilahku menggodanya. Tiba- tiba ia menyambar jemariku dan menciumnya sekilas, lalu dilepasnya cepat-cepat begitu satu dua mahasiswa yang duduk di sekitar kami, melirik.
      "Aku tidak punya nyali...."jawabnya.
      "Tidak punya nyali atau tidak tega meninggalkan Lala?"
      Tapi  dasar Roni, sejak pertemuan itu, ia jadi sering menghubungiku dan aman saja karena suamiku agak gaptek.
      "Suamimu tahu nggak? Hati-hati ketahuan," itu saja saran Vieta. Syukurlah, ia tak bersikap menyalahkanku seperti sikapku kepadanya dulu,bahkan akhinya menjadi teman curhatku,tatkala kerinduan padanya  mulai agak sering terasakan.
      "Sudah pulang El?" tegur suamiku begitu menyelesaikan kesibukannya dan melihatku sudah termangu di depan pintu.
      "Sudah Mas. Sudah makan?"tanyaku dalam nada tanya hambar.
Mengapa tegurannya terasa aneh setelah 26 tahun pernikahan, padahal dulu aku merasa terbiasa karena ia memang selalu menegurku dengan kata,"El". Di manakah keanehan itu?
       Tuhan. Ampuni aku. Hanya karena teringat teguran Roni via media sosial menggunakan kata "sweety", mengapa aku jadi menganggap aneh teguran suamiku? Duh,gejala apa ini? Betulkah ini yang disebut puber kedua? Apakah bukan gejala semacam perubahan mood? Samakah dengan "ngidam" bagi wanita- wanita hamil yang ternyata tidak semua mengalami demikian?
     Kalaupun ulah Vieta dulu dapat dimaklumi karena tengah ada konflik dalam rumah tangganya? Mengapa perasaan aneh ini justru menyergapku tanpa sebab? Bukankah sebelum bertemu Roni, perasaanku biasa saja? Tidak merasakan getar kerinduan dan kegembiraan seperti masa remaja?
      "Bukan aku tak bertanggung jawab, tapi kemandirianmu membuatku kagum,karena aku tidak tahu seberapa lama aku hidup di dunia. Sungguh sangat tersiksa dan berdosa andaikan aku dipanggil Tuhan padahal isteriku hidup tanpa masa depan...."