"Aku lebih cenderung menganggap ia butuh pengakuan. Tidak mudah baginya menghadapi kenyataan, betapa dulu sebelum ayah meninggal, kami berkecukupan. Kami adalah bos yang memiliki beberapa karyawan. Kini setelah ayah meninggal dan kami terpuruk akibat kesalahan langkah ibu dalam mencoba mengais rezeki, kekecewaan dan kekesalan seolah ditumpahkan kepada ibu. Karena ibu wanita, maka kekesalan pun tertuju kepada wanita terdekat, yaitu Kamu, yang mau-maunya menjadi istrinya."
"Mengapa kaukatakan mau-maunya?" ia bertanya tak paham.
"Ia menganggap, Kamu juga tidak tulus ...
"Bukannya tidak tulus, toh aku juga setia...
"Kesetiaan itu demi jaga imej diri Kamu sendiri. Sebuah komitmen pegawai negeri yang telah dicontohkan oleh orangtuamu, bahwa Kalian  harus menunjukkan keteladanan untuk setia dalam pernikahan. Bukan demi dia...
"Aku hanya tidak ingin terikat pada komitmen...
"Makanya, Kamu memilihnya?"
"Begitulah. Karena terkesan ia sosok yang juga tidak mau terikat dengan komitmen. Awalnya, tentu aku ada usaha untuk mencintai. Tapi jika hati tak bisa saling bertaut, cinta pun tak kunjung datang malah menghilang, bercerai kukira bukan hal yang sulit. Toh ia pun bukan orang yang suka terikat komitmen. Lagipula ia bukan pegawai negeri seperti aku. Apa sulitny ia menceraikanku. Tapi...
"Tapi apa?"
"Tapi, dulu aku beranggapan, begitu menikah, selesailah sudah. Aku tidak akan lagi mendengar ledakan pertanyaan kapan menikah? Pertanyaan serupa tekanan yang lebih parah dari tuntutan membaca sehari satu buku seperti yang dipaksakan nenekku, produk siswi zaman penjajah Belanda, ...
"Pertanyaan tidak ada lagi kan?" goda  Tuan Putri.