Mohon tunggu...
nanik kartika
nanik kartika Mohon Tunggu... Jurnalis - menulislah, maka engkau ada!

wanita biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

C e m b u r u

14 Maret 2020   11:29 Diperbarui: 14 Maret 2020   11:40 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cemburu

Cerpen : Nanik Kartika Rana Dewi

Inu bergegas menuruni anak-anak tangga. Tangan kanannya memegang hape yang ditempel di telinganya. Tas kulit kecil warna natural, menyelempang di tubuhnya. Di seberang sana, Amanda tengah bicara lewat seluler, yang membuatnya jalan tergopoh.

''Iya saya keluar Mbak, tunggu sebentar ya?''.

''Cepet, saya bisa tancap gas sewaktu-waktu''.

''Sabar dikit-lah, ini saya berlari lhoo...''.

Di ujung tangga, Inu berpapasan dengan Pak Waka, seniornya. Dalam herarki di Kepolisian, yunior harus memberi hormat kepada seniornya. Harus bermuka manis, mengajak ngobrol sebentar, dan...

''Sore Bang,'' Inu memberi hormat, yang dibalas dengan anggukan.

''Acara besok pagi gimana?'', tanya Kompol Hendry, Pak Waka.

''Ohhh, 75 persen sudah siap, Bang''.

''Kamu besok ikut kan?''.

''Ikut dong Bang''.

Tidak ada tanda-tanda Bang Hendry-nya itu mempersilakan dia berlalu. Bahkan nada-nadanya, beliau ingin mengajak ngobrol banyak.

''Besok habis nembak, kita makan sop iga bakar di Pak Kumis ya dik? Mau nggak?''.

''Siap Bang''.

''Sudah pernah ke sana, kan?''.

Duh Bang, kita ngomongin tentang sop besok saja ya? Ini ada gadis di belakang gedung yang siap meledak sewaktu-waktu bila dirinya tidak segera ke sana. Gadis itu sangat menakutkan untuk saat ini. Seperti bom waktu, Bang. Kalau meledak, bisa hancur dunia. Setidaknya, duniaku, Bang. Inu mengeluh dalam hati tapi tetap tidak bisa berkutik. Hmm, salah waktu tadi dia turun.

''Pernah sekali aja Bang, saya nggak begitu suka sop iga'', Inu memamerkan deretan giginya, dengan gelisah.

Waka Hendry duduk di kursi panjang, yang berada tidak jauh dari depan anak tangga. Itu pertanda mengajak ngobrol lebih lama lagi. Inu semakin gelisah. Waktu terus berlalu, obrolan basa basi yang sama sekali tidak penting, meluncur. Itu artinya, bom waktu siap meledak di kepala Inu. Sebentar lagi, ya, sebentar lagi.

Inu memberanikan diri menarik obrolan. Ia minta maaf berkali-kali. Waka Hendry mempersilakan. Kaki jenjangnya segera melangkah tergesa, melewati pintu samping. Setengah berlari, ia menuju gazebo yang berada di ujung jalan dekat lapangan baru. Jaraknya lumayan jauh. Kalau memakai mobil, ia harus ke parkir dulu, yang letaknya juga memakan waktu. Berlari-lari kecil di sore hari, tak apa, demi menahan sang bom waktu tidak meledak.

Perasaannya langsung galau mendadak. Amanda terlihat dengan angkuhnya duduk di atas trail hijau, lengkap dengan tas ranselnya, dengan helmed-nya. Pandangannya lurus ke depan. Tak bergerak-gerak. Itu pertanda marah akut.

''Ketemu Pak Waka tadi di ujung tangga, maaf'', Inu menepuk jok trail.

Amanda tak bereaksi. Tangannya bersedekap di dada. Tak juga menoleh ke arah Inu.

''Turun dulu dong bentar, kita ngobrol di gazebo'', Inu merayu.

Amanda tak bereaksi. Kaki kanannya bergerak-gerak, menginjak pedal.

''Maaaaafff, sekali lagi maaaaffff. Turun dulu dong''.

Amanda tetap tak bereaksi. Kaki kanannya bergerak ke atas. Bukan untuk turun, tapi  untuk menyetater motornya.

''Kita belum ngobrol, mosok mau pergi? Lima menit sajalah. Kamu turun, duduk di gazebo, kita ngobrol lima menit saja. Jangan berdiri seperti sekarang ini'', volume suara Inu lembuuuut banget.

Mesin motor berbunyi. Tangan kanan Amanda yang terbungkus kaos tangan memutar-mutar gas. Pandangannya menunduk. Inu berdiri di depan motor, tangan kanannya menahan.

''Okey? Matikan mesinnya, piss, kita damai'', Inu menunjukkan dua jarinya, persis di depan hidung Amanda.

Sore semakin merambat turun. Suasana kompleks kantor sudah benar-benar sepi. Hanya ada satu dua orang yang lewat, membunyikan klakson mau pulang. Inu membalas dengan anggukan. Personil yang harus piket, masing-masing tetap di pos-nya, di dalam kantor.

Matahari semburat jingga di ufuk barat, semakin menambah kegelisahan hati Inu. Amanda belum menunjukkan tanda-tanda ''jinak''nya. Inu harus bekerja ekstra merayunya, apapun akan ia lakukan.

Tangan kanan Amanda menarik gas, motor melesat maju beberapa meter. Inu masih punya harapan. Motor akan berbalik arah, karena pintu belakang mako ditutup rapat-rapat kalau sore begini. Yang dipergunakan keluar masuk, pintu utama, pintu depan.

Atau bisa jadi, motor akan terus melaju, belok ke arah kanan dan melesat ke pintu utama. Pulang! Inu tak berkedip, menatap punggung Amanda yang tertutup ransel warna merah kombinasi hitam, sambil berharap, motor akan berbalik arah.

Benar saja, di depan pintu gerbang, gadis yang tidak tahu sopan santun itu membelokkan motor trailnya. Meluncur menuju ke arah Inu. Reflek tangan kanan Inu membuat gerakan agar laju motor diperlambat.

Zzzreeettt! Kaki kiri dan tangan kiri Amanda gesit memainkan rem. Motor berhenti tepat di depan hidung Inu. Mesinnya masih hidup. Mengganggu sekali. Setidaknya, mengganggu Inu yang selalu merasa was-was motor itu akan melesat sewaktu-waktu. Ia harus mencuri kunci motor, kalau ingin suasana kondusif.

Pencurian kontak motor tidak harus ia lakukan. Amanda mematikan mesinnya. Ia dengan gerakan anggun, turun dari motor. Helmed warna merah yang menutupi sebagian wajahnya, dicopot pelan-pelan lalu ditaruhnya di jok. Rambut berpotongan pendek di bawah telinga itu berkibar-kibar saat pemiliknya melangkah. Masih dengan bibir manyun tanpa senyum. Tapi hal itu sudah sangat melegakan Inu.

Kaki jenjang berbalut kets warna coklat pudar itu melangkah mantap menuju gazebo yang jaraknya hanya beberapa meter saja. Ia turunkan ranselnya, lalu melepas jaket blue jins-nya. Kaos lengan pendek warna merah marun kombinasi hitam pudar di bagian lengan, membungkus tubuh si nona. Ia duduk di pinggir gazebo dengan kaki terangkat setengah. Menginjak bambu bagian bawah.

Inu melangkah takut-takut, lalu duduk di sisinya. Keduanya diam. Tak ada yang mulai mengajak bicara. Amanda membuang muka jauh-jauh. Tak pernah mau menatap Inu.

''Kalau saya punya salah, saya minta maaf'', Inu akhirnya membuka bibir, bicara pelan-pelan.

Amanda menggerak-gerakkan kaki kanannya.

''Tapi sampai sekarang, saya tidak tahu apa salah saya''.

Amanda mengernyitkan kening, tetap tak bereaksi.

''It's okay, seandainya saya dituduh salahpun, saya akan tetap menerimanya dengan lapang dada. Tapi jangan hukum saya seperti ini'', Inu menghiba.

Bayangin saja, Inu itu seorang polisi anggota Reskrim berpangkat Inspektur Satu (Iptu). Jabatannya Kepala Unit atau Kanit. Dia punya beberapa anak buah. Ia cukup disegani anak buahnya. Ia juga type cowok yang sombong. Itu terlihat dari raut wajahnya yang kalem dan jarang tersenyum.

Tapi di hadapan Amanda? Semuanya hilang. Ia menjadi pribadi yang culun, menjadi pribadi yang menghiba-hiba. Menjadi pribadi yang rapuh.

''Kita seperti kemarin-kemarin ya?'', rayu Inu.

Kaki kanan Amanda menginjak tanah. Ia menggambar bulatan-bulatan dengan ujung sepatunya.

''Saya kesepian lhoh, tak ada wasap dari kamu, tak ada telepon dari kamu, tak ada komen-komen kamu di facebookku. Tak ada...''.

Amanda semakin membuang muka. Ia sangat sedih mendengar pengakuan dari Inu. Ia ingin menangis saat ini juga. Tapi ia tahan sekuat tenaga.

Sebetulnya, apa yang diutarakan Inu barusan, sama persis dengan apa yang terjadi di dalam hatinya. Gaduh riuh dengan rindu yang membuncah. Sebagian dunianya telah hilang. Tapi gadis modis dengan rambut kruwel-kruwel kemarin itu, telah mengganggunya. Telah membuat hatinya terluka.

Ia harus menjauhi Inu yang bukan siapa-siapanya. Baginya, Inu hanyalah seorang sahabat yang baik. Seorang narasumber yang penuh perhatian. Tak lebih.

Jauh di lubuk hatinya, ia ingin menjadikan Inu miliknya, kekasihnya. Tapi itu tidak mungkin, sangat tidak mungkin. Inu tidak pernah menyatakan perasaannya.

Senyum Inu yang pelit, wajah Inu yang jarang tertawa, telah membuat hati Amanda meleleh. Ia hanyut dalam sapaan Inu kala itu.

Senja ini, semuanya harus berakhir. Ia harus menjauhi Inu, kalau tidak ingin hatinya berkeping-keping. Tapi pengakuan Inu barusan? Merasa kesepian tanpa ada telepon dari dirinya? Olalaaa...

Amanda meraih ransel. Ia pakai jaketnya dan ransel segera dinaikkan ke punggung. Ia melangkah menuju motor trailnya. Inu membuntutinya.

''Bicaralah apa saja tentang kesalahanku, plisss...'', Inu menahan motor.

Amanda menyibakkan rambut ke belakang. Ia bersiap memakai helmed.

''Pertemuan kita senja ini percuma, tak menghasilkan apa-apa. Sejak tadi kau diam saja. Saya yang bicara A sampai Z penuh dengan kesabaran. Ya Tuhaaaaaaannn, mengapa semua ini bisa terjadi seperti ini? Apa salah saya?''.

Amanda mendekap helmed-nya. Menatap wajah Inu.

''Tunjukkan apa salah saya. Setelah itu, bebas. Kau bebas. Kamu boleh tak bicara apapun dengan saya''.

''Saya tidak suka dengan mbak-mbak yang rambutnya kruwel-kruwel itu. Saya tidak sukaaa...!'' Amanda akhirnya buka mulut. Ia bergegas menghidupkan mesinnya.

Inu tertegun. Ia tidak menyangka kalau Amanda membuka mulut, berbicara tentang Berbie. Yaa...gadis itu bernama Berbie yang tanpa sengaja bertemu Amanda, saat tengah ngobrol dengannya di ruang unit.

Berbie adalah teman Dony yang bertugas di Satlantas. Dony kala itu tidak ada, terus bertanya kepada Inu. Tak ada salahnya kalau Inu lalu mempersilakan masuk di ruang unit, yang kebetulan hanya ada dia sendiri. Tak lama kemudian Amanda datang. Sejak saat itu, atau tepatnya sejak empat hari yang lalu, Amanda tak pernah menghubunginya lagi.

Setiap ia hubungi, jawabannya selalu sibuk, sibuk, dan sibuk. Inu tahu, pekerjaan wartawan memang sibuk. Tapi kemarin-kemarin dulu, sesibuk apapun, Amanda tidak pernah sesulit ini dihubungi. Mereka biasanya janjian ketemu usai pekerjaan keduanya selesai, clear. Sekedar menikmati nasi goreng di warung depan mess atau ngobrol di ruang tamu mess-nya. Bercerita apa saja, penuh canda dan tawa.

Diakui Inu, sosok Amanda telah menghipnotisnya. Di hadapan banyak orang, ia memang sulit tertawa atau sekedar tersenyum. Tapi di depan Amanda, gadis tomboy yang tidak mengenal make up itu, ia bisa tertawa lepas, tidak jaim, dan bisa menghiba. Dan ia merasa, harga dirinya tidak jatuh. Inikah yang dinamakan jatuh cinta? Jatuh cinta dengan segala kerumitannya. Seperti senja ini.

Selama ini, Inu memang belum pernah menyatakan cinta pada Amanda. Ia takut, Amanda akan menolaknya dengan dalih, apaan sih pakai cinta-cinta segala. Kita toh hanya bersahabat saja kan?

Enggak enak banget kan menerima jawaban seperti itu? Meski diucapkan dengan gaya Amanda yang ceria, tetap saja jawaban itu menyakitkan.

Dan senja ini? Ya Tuhan, gadis tomboy itu cemburu! Ngambek! Inu bersorak dalam hati. Diam-diam ia bersyukur pada Berbie, yang telah membuat gadis pujaan hatinya ngambek selama empat hari berturut-turut. Ahaaayyy.

''Kamu cemburu ya?'',Inu menatap lekat-lekat wajah Amanda yang tertunduk.

''Iyaaa...'', Amanda mengangguk pelan, tidak berani menatap Inu.

Inu tertawa keras.

''Kalau kamu ngambek seperti ini selama sebulan, bisa kacau pekerjaanku. Selama empat hari saja, semua sudah berantakan seperti ini''.

''Artinya?''.

''Artinya, aku tak bisa jauh-jauh darimu. Aku cinta kamu ternyataaahhh. Cinta pakai banget!''.

''Soer?'', Amanda tersenyum dan mengangkat dua jarinya.

''Sumpah! Kamu cinta enggak sama aku?'', wajah Inu ceria sekali.

''Enggak!'' geleng Amanda.

Wajah Inu berubah jadi masam. Bergaya seperti itu, tetap saja cakep di mata Amanda.

''Cintaku bertepuk sebelah tangan dong''.

''Iya, hahahaha...'', Amanda tertawa.

Hape di saku jins Amanda berdering. Ia bergegas mengambil dan mengangkatnya. Inu tetap menungguinya.

''Jangan lupa nanti malam kita nongkrong sambil diskusi membahas acara kita'', Boy, teman wartawannya mengingatkan.

''Boleh bawa pacar tidak?'', Amanda menatap Inu yang mengernyitkan keningnya.

''Sudah punya pacar? Cepet banget dapetnya. Kapan jadian?''.

''Baru saja jadiannya. Masih fresh from oven. Haahahaha''.

Senja semakin sempurna, perlahan merambat menuju petang. Adzan maghrib terdengar membahana.

''Sore-sore seperti ini, tidak elok anak gadis masih berada di luar rumah. Bisa diculik perwira ganteng. Saya pulang dulu''.

''Lalu nasib cintaku gimana?''.

''Saya terima''.

Inu melonjak kegirangan. Ia meninju angin sekuat tenaga. Yesss! Motor trail itu berputar, mengitari Inu dua kali, lalu melesat menjauh, tanpa menyentuh. Senyum keduanya mengembang, malu-malu. Senyum itu tak habis-habis. (Nanik Kartika Ranadewi)

** 14 Maret 2020, ketika Solo KLB Korona

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun