Di antara berbagai karya yang ia hasilkan, satu yang paling sering disebut sebagai puncak pencapaiannya adalah "Pacek Poleng", komposisi monumental untuk baleganjur yang dibawakan oleh Komunitas Seni Gelung Agung mewakili Kabupaten Gianyar dalam Pesta Kesenian Bali (PKB). Karya ini bukan sekadar musik; ia adalah pernyataan artistik yang kuat---menggabungkan kedalaman filosofi Bali dengan semangat inovasi modern.
Banda menyusun "Pacek Poleng" bukan hanya dengan teknik, tetapi juga dengan perenungan spiritual yang mendalam. Ia menelusuri makna dua kata itu: pacek dan poleng. Dalam konteks budaya Bali, pacek berarti penguat---sesuatu yang memberikan daya atau kekuatan spiritual. Sementara poleng merujuk pada kain hitam-putih kotak-kotak yang melambangkan konsep rwa bhineda, prinsip keseimbangan antara dua hal yang bertentangan tapi saling melengkapi---gelap dan terang, baik dan buruk, laki-laki dan perempuan, chaos dan harmoni.
Dengan memadukan dua konsep itu, "Pacek Poleng" menjadi representasi dari kekuatan yang lahir dari keseimbangan. Banda menjelaskan dalam beberapa wawancara informal bahwa karya ini bukan sekadar tentang "kemenangan" atau "kebesaran", tetapi tentang proses menemukan harmoni di tengah pertentangan.
Filosofi yang Menyala di Balik Tabuhan
Musik dalam "Pacek Poleng" bergerak dinamis. Sejak awal, penonton dibawa ke suasana yang penuh ketegangan---ritme cepat, dentuman gong yang berat, dan pola reong yang saling bersahutan seperti percakapan dua kekuatan besar. Tapi di balik hiruk-pikuk itu, terselip struktur yang sangat rapi. Banda mengatur tempo dan dinamika dengan presisi tinggi, menciptakan sensasi "tarik-ulur" yang membuat pendengar tegang namun terpikat.
Di tengah bagian karya, muncul elemen vokal (niyasa) yang kuat. Suara manusia dimasukkan sebagai elemen spiritual---sebuah pengingat bahwa gamelan bukan hanya benda, tapi perpanjangan dari tubuh dan jiwa manusia. Suara teriakan dan nyanyian para pemain menambah intensitas, seperti mantra yang memanggil kekuatan dari alam semesta.
Penampilan "Pacek Poleng" di PKB bukan hanya sukses secara musikal, tapi juga emosional. Ribuan penonton menyaksikan dengan takjub, dan banyak yang menyebutnya sebagai salah satu karya baleganjur paling berkesan di kalangan remaja. Di panggung itu, Banda tidak sekadar menunjukkan teknik, melainkan menghadirkan pengalaman spiritual. Ia membuktikan bahwa gamelan masih bisa menjadi medium yang relevan, penuh tenaga, dan tetap sakral di tengah dunia modern.
Menjembatani Tradisi dan Inovasi
Banda sering mengatakan bahwa ia tidak ingin "meninggalkan" tradisi, tetapi ingin "berdialog" dengannya. Dalam setiap karyanya, ada usaha untuk menjembatani dua dunia: tradisi yang berakar dan inovasi yang berani. Ia menyadari bahwa budaya Bali kaya akan simbol, filosofi, dan struktur musikal yang bisa terus dikembangkan. Tantangannya bukan pada seberapa jauh kita meninggalkan masa lalu, tapi bagaimana masa lalu itu bisa diajak bicara dengan masa kini.
Misalnya, dalam "Pacek Poleng", elemen tradisional baleganjur tetap dipertahankan---struktur pengulangan, sistem tempo, dan instrumen khas seperti kendang, ceng-ceng, dan gong. Namun, Banda menambahkan kompleksitas baru melalui perubahan aksen, layering ritmis, dan manipulasi ruang suara yang jarang ditemukan dalam komposisi konvensional. Ia menggabungkan disiplin akademik dengan intuisi budaya, menciptakan karya yang bisa diapresiasi baik oleh musisi profesional maupun oleh masyarakat awam.
Pendekatan semacam ini membuat Banda menjadi bagian dari gelombang seniman muda Bali kontemporer yang berusaha memperluas batas-batas karawitan. Mereka bukan pemberontak yang menolak masa lalu, melainkan penerus yang ingin menjaga tradisi tetap hidup---karena bagi mereka, tradisi yang berhenti berevolusi justru sedang menuju kepunahan.