Mohon tunggu...
Andesna Nanda
Andesna Nanda Mohon Tunggu... You Are What You Read

Kolumnis di Kompas.com. Menyelesaikan S3 di Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Lihat Cermin Setelah Tengah Malam!

28 September 2025   19:42 Diperbarui: 28 September 2025   19:42 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua tahun Pagersari kering kerontang. Orang kampung kompak menunjuk satu nama: Surya—si “pengabdi iblis” di rumah tua ujung dusun. Malam-malam dari jendelanya tampak lilin merah, di lantainya ada gambar kapur, dan di sudut ruang berdiri cermin besar tertutup kain hitam.

Lestari—jurnalis yang gemar membongkar takhayul—datang untuk menyelidik. Ia mengetuk. Surya membuka, wajah pucat, mata jernih.

“Kalau berani, masuk,” katanya.

Masuklah Lestari. Rumah bau akar terbakar. Lingkaran kapur memutih di lantai. Cermin tertutup kain hitam.

“Orang bilang kau mengabdi pada iblis,” ujar Lestari.

“Aku mengabdi pada retak,” jawab Surya pelan. “Agar yang di balik sana tidak menyelinap ke sini.”

Ia menunjuk cermin. “Kalau ditutup rapat, desa selamat. Kalau bocor, kalian menyebutnya sial, kutuk, atau musim kering.”

“Boleh kulihat?” tanya Lestari.

“Boleh. Tapi jangan berbicara pada bayanganmu. Dan kalau ia tersenyum, jangan balas.”

Surya mengangkat kain. Cermin memantulkan ruangan itu juga—menit pertama biasa saja. Lalu, halus sekali, bayangan Lestari di cermin menggeleng, padahal Lestari berdiri diam. Bibir bayangan itu naik setengah, senyum miring, seperti tahu sesuatu.

“Cukup,” kata Surya cepat, menutup kain.

Lestari menarik napas panjang. “Apa itu?”

“Yang menunggu kau pulang,” jawab Surya. “Kau pikir datang kemari untuk berita. Tapi pintu memanggil mereka yang cocok dengan lubangnya.”

Malamnya, beberapa warga mendobrak masuk, dipimpin Pak RT dan seorang dukun kecil. Mereka menyingkap kain, menunjuk-nunjuk, menantang. Cermin berdetak seperti daging, bayangan seorang pemuda melekat ke kaca—telapaknya dari sisi lain, menekan. Surya melempar garam dan abu, menarik kain kembali. Mereka semua mundur gemetar.

“Pulanglah,” katanya datar. “Sebelum sesuatu yang kalian panggil benar-benar datang.”

Warga bubar. Tinggallah Surya dan Lestari. Lilin-lilin menggigil.

“Kau tetap mau menulis?” tanya Surya.

Lestari menelan ludah. “Kuakui… aku lebih ingin tahu kenapa bayanganku tersenyum.”

Surya menyiapkan teh pahit. “Karena ia tahu namamu yang lama.”

Kata itu menembus Lestari. Sejak bayi ia diasuh panti, tanpa catatan orang tua. Pengasuhnya pernah menyebut panggilan yang tak pernah ia pakai lagi: Rara. “Bagaimana kau tahu?” gumamnya.

Surya tidak menjawab. Ia memandang kain hitam, mendekatkan telapak. “Retaknya melebar. Malam ini kita tutup.”

“Kita?”

“Penjaga selalu berdua pada malam pertama,” katanya. “Kau akan dengar suara memanggilmu. Ia menawar: rumah yang kau rindukan, bau sup, suara ibu. Jangan bicara. Jangan tersenyum. Dan—apapun yang terjadi—jangan menukar.”

Kain bergoyang. Dari balik sana terdengar suara serak yang lembut, menyebut nama kecil yang disembunyikan panti: “Rara… pulang.”

Aroma sup panas merambat ke ruang. Lestari memejam. Di kepalanya rumah kayu yang tak pernah ia miliki utuh-nyaris: meja, piring, tawa. Tangannya hendak mengangkat kain.

Surya menahan. “Lima menit di sana bisa lima tahun.”

“Kalau aku menukar?”

“Desa aman sebentar. Tapi dunia ini kehilanganmu. Dan yang di sana mendapatkan pintu permanen.”

“Kalau aku menolak?”

“Kau belajar menjaga.” Surya menunduk, suaranya nyaris doa. “Dan kau akan benci padaku—sekaligus berterima kasih—di hari yang sama.”

Kain mengembung seperti rahim didorong kepala bayi. Lestari mengangkatnya sehela: celah mata. Di baliknya tampak perempuan mirip dirinya—lebih hangat, lebih penuh—dengan rumah yang selalu ia khayalkan di belakangnya. Perempuan itu tersenyum tanpa gigi kaca. “Pulang.”

Lestari menahan napas. Jantungnya berpihak ke sana. Kakinya—anehnya—tetap di sini. Ia menutup kain.

“Aku tidak menukar,” katanya.

Suara di balik kain tertawa kecil—bukan mengejek, melainkan seolah memahami. “Kau akan menyesal,” bisiknya.

“Mungkin,” jawab Lestari. “Biar di sini saja.”

Mereka berdua menempelkan telapak ke kain. Surya melantun rendah. Lingkaran kapur berpijar, retak merapat pelan-pelan. Aroma sup memudar. Hening membesar.

“Sudah,” kata Surya. Ia melepaskan telapak. Lestari masih menahan beberapa detik—takut ada tawa. Tak ada. Hanya subuh yang merayap.

“Kau berhasil,” ujar Surya. “Karena itu, aku bisa pergi.”

“Pergi ke mana?” Lestari tercekat.

“Penjaga boleh beristirahat kalau ada pengganti.” Surya mengemas buku, memasukkannya ke tas kain. “Pengetahuan bisa diajarkan. Keberanian tidak—tapi kau sudah memilikinya.”

“Bagaimana kalau aku gagal?”

“Penjaga selalu gagal sesekali. Yang penting: kembali menutup.”

Ia berdiri di ambang. “Kalau mereka datang lagi, biarkan mereka melihat sedikit. Rasa takut butuh nama.” Ia mengangkat tangan—pamitan yang terasa seperti mewariskan rumah—lalu pergi.

Hari berikutnya, hujan pertama jatuh. Orang-orang berteriak girang sambil menangkupkan telapak ke langit. Pak RT menatap rumah ujung dusun dari jauh, menunduk sebentar.

Lestari menulis. Ia menolak judul “klik”: Pengabdi Iblis di Ujung Desa. Ia memilih: Yang Menutup Retak. Tidak viral. Tapi dibaca orang-orang yang perlu.

Malamnya, ia duduk sendiri di depan cermin tertutup kain. Tiga lilin menyala. “Kalau memanggilku lagi?” katanya pelan ke udara.

Angin menjawab dengan menggeser tirai. Kain diam—seperti anak kecil yang akhirnya tertidur.

Lestari mengeluarkan kaca saku kecil. Ia angkat di depan wajah: bayangannya stabil, tidak senyum miring, tidak ada titik hitam di kening. Ia mengangkat tangan; bayangan mengangkat bersamaan. Ia tersenyum kecil—senyum manusia yang masih menyisakan takut.

Ia menutup kaca, memadamkan dua lilin, menyisakan satu. Tidur.

Pagi esoknya, Lestari bangun dengan dada ringan. Di luar jendela, anak-anak berlarian menginjak genangan. Ia meregangkan tangan, menatap telapak—ada garis merah tipis melintang, bekas semalam. Ia tersenyum.

Ponselnya berkedip: balasan redaktur—aneh—sudah ada sebelum ia menekan “kirim” malam tadi. “Judulmu sepi klik, tapi tulisannya kuat,” tulis si redaktur, pukul 22.04.

Padahal Lestari baru menekan “kirim” pukul 22.17.

“Aneh,” gumamnya. Ia membuka aplikasi jam. Detik bergerak seperti biasa—kecuali satu hal yang tak langsung ia sadari: detik digital itu, setiap menit, tersendat sekejap, lalu melompat terlalu cepat, dan kembali sinkron. Selisih kecil, tak sampai satu detik—seakan ada bayangan jam lain yang mengatur ritme lebih dahulu.

Ia tertawa pada dirinya sendiri. “Parno,” katanya.

Ia menuju wastafel kecil, berkumur, mengangkat wajah. Di cermin kamar penginapan, wajahnya kembali—normal—mata sedikit bengkak karena kurang tidur. Ia mengusap pipi, menyisir rambut—dan berhenti.

Bekas garis merah di telapak… bukan di kiri seperti semalam ketika ia menahan kain bersama Surya. Bekas itu kini ada di telapak kanan.

Ia menatap lama, menimbang kemungkinan yang masuk akal: ia salah ingat, ia menukar ponsel tangan, ia… Tidak. Ingatan malam itu tajam seperti silet: telapak kiri menempel, telapak kanan memegang bahu Surya. Ia pasti.

Ia menengadah pelan ke cermin. Bayangannya menatap balik, sama persis. Ia mengangkat tangan kiri. Bayangannya mengangkat tangan kanan—tentu saja, cermin selalu begitu. Tapi ada sesuatu yang lain: jeda sangat tipis—kurang dari satu detik—sebelum gerakan disalin. Jeda yang semalam sudah tak ada.

Lestari menahan napas. Jeda itu—tipis seperti kulit bawang—membesar sekejap, lalu normal lagi. Di bibir bayangan, senyum kecil muncul sepersekian terlalu dini, seolah-olah ia sudah mengetahui keputusan yang akan Lestari ambil.

Aroma sup yang tak mungkin tiba-tiba lewat samar dari ventilasi. Hangat, manis, tidak nyata.

Lestari memejamkan mata. Ia menyentuh garis merah di telapak kanan, membiarkan dingin menyelinap.

Di luar, hujan menimpa tanah dengan ritme yang sempurna.

Di dalam, cermin menegakkan punggungnya sendiri.

Dan Lestari—penjaga baru—berbisik tanpa suara pada bayangan yang kini selalu sehela lebih dulu: “Kalau ternyata aku yang menyeberang, belajarilah menutup retak dari seberang.”

Bayangannya—sehela lebih awal—sudah mengangguk.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun