Bekas garis merah di telapak… bukan di kiri seperti semalam ketika ia menahan kain bersama Surya. Bekas itu kini ada di telapak kanan.
Ia menatap lama, menimbang kemungkinan yang masuk akal: ia salah ingat, ia menukar ponsel tangan, ia… Tidak. Ingatan malam itu tajam seperti silet: telapak kiri menempel, telapak kanan memegang bahu Surya. Ia pasti.
Ia menengadah pelan ke cermin. Bayangannya menatap balik, sama persis. Ia mengangkat tangan kiri. Bayangannya mengangkat tangan kanan—tentu saja, cermin selalu begitu. Tapi ada sesuatu yang lain: jeda sangat tipis—kurang dari satu detik—sebelum gerakan disalin. Jeda yang semalam sudah tak ada.
Lestari menahan napas. Jeda itu—tipis seperti kulit bawang—membesar sekejap, lalu normal lagi. Di bibir bayangan, senyum kecil muncul sepersekian terlalu dini, seolah-olah ia sudah mengetahui keputusan yang akan Lestari ambil.
Aroma sup yang tak mungkin tiba-tiba lewat samar dari ventilasi. Hangat, manis, tidak nyata.
Lestari memejamkan mata. Ia menyentuh garis merah di telapak kanan, membiarkan dingin menyelinap.
Di luar, hujan menimpa tanah dengan ritme yang sempurna.
Di dalam, cermin menegakkan punggungnya sendiri.
Dan Lestari—penjaga baru—berbisik tanpa suara pada bayangan yang kini selalu sehela lebih dulu: “Kalau ternyata aku yang menyeberang, belajarilah menutup retak dari seberang.”
Bayangannya—sehela lebih awal—sudah mengangguk.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI