Lestari menarik napas panjang. “Apa itu?”
“Yang menunggu kau pulang,” jawab Surya. “Kau pikir datang kemari untuk berita. Tapi pintu memanggil mereka yang cocok dengan lubangnya.”
Malamnya, beberapa warga mendobrak masuk, dipimpin Pak RT dan seorang dukun kecil. Mereka menyingkap kain, menunjuk-nunjuk, menantang. Cermin berdetak seperti daging, bayangan seorang pemuda melekat ke kaca—telapaknya dari sisi lain, menekan. Surya melempar garam dan abu, menarik kain kembali. Mereka semua mundur gemetar.
“Pulanglah,” katanya datar. “Sebelum sesuatu yang kalian panggil benar-benar datang.”
Warga bubar. Tinggallah Surya dan Lestari. Lilin-lilin menggigil.
“Kau tetap mau menulis?” tanya Surya.
Lestari menelan ludah. “Kuakui… aku lebih ingin tahu kenapa bayanganku tersenyum.”
Surya menyiapkan teh pahit. “Karena ia tahu namamu yang lama.”
Kata itu menembus Lestari. Sejak bayi ia diasuh panti, tanpa catatan orang tua. Pengasuhnya pernah menyebut panggilan yang tak pernah ia pakai lagi: Rara. “Bagaimana kau tahu?” gumamnya.
Surya tidak menjawab. Ia memandang kain hitam, mendekatkan telapak. “Retaknya melebar. Malam ini kita tutup.”
“Kita?”