Mohon tunggu...
Andesna Nanda
Andesna Nanda Mohon Tunggu... Konsultan - You Are What You Read

Kolumnis di Kompas.com. Menyelesaikan S3 di Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Kita Tidak Percaya Diri Ketika Menghadapi Masalah yang Mudah?

22 Juni 2021   07:25 Diperbarui: 25 Juni 2021   11:34 1070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menghadapi ujian | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels

Pernahkah kamu merasa ketika akan menghadapi satu persoalan yang sebenarnya mudah tapi rasa percaya diri kamu rendah?

Atau sebaliknya rasa percaya diri kamu meluap-luap ketika menghadapi masalah yang rumit. Pernah?

Sebagai contoh misalnya, kamu akan mengambil satu ujian yang terdiri dari ujian praktek dan ujian tulis. Seharusnya ujian praktek pasti lebih sulit. 

Ujian praktek membutuhkan skill dan pengetahuan secara bersamaan, sedangkan ujian tulis hanya membutuhkan pengetahuan. Tapi ternyata rasa percaya diri kamu begitu tinggi ketika ujian praktek dan begitu rendah ketika ujian tulis. Pernah?

Contoh lain misalnya, kamu sudah terbiasa memesan makanan secara daring, ketika kamu terpaksa hanya memasak makanan sederhana pasti kamu akan merasa itu hal yang sulit sekali. Pernah?

Saya pernah. Begini ceritanya, 3 tahun yang lalu saya sedang menghadapi proses sertifikasi penting dalam karir saya. Proses sertifikasi tersebut terdiri dari praktek menggunakan Microsoft Excel dan ujian tulis berupa teori.

Ujian praktek menggunakan Microsoft Excel harusnya merupakan ujian tersulit dibandingkan dengan dengan ujian tulis berupa teori.

Seharusnya rasa percaya diri saya lebih tinggi ketika menghadapi ujian tulis. Namun entah kenapa rasa percaya diri saya malah rendah di ujian tulis.

Rasa percaya diri saya begitu meluap-luap di ujian praktek. Ketika hasil ujian sertifikasi tersebut diumumkan, ternyata benar nilai hasil ujian praktek saya lebih tinggi.

Setelah ikut ujian praktek ulangan.....

Jika kamu pernah mengalami hal-hal di atas atau hal yang saya alami, maka kamu mengalami satu hal yang di dalam behavioral science disebut dengan Hard-Easy Effect.

Suatu efek dan bias kognitif yang membuat otak kita tidak menyadari kesulitan sebenarnya atau sebaliknya dari hal-hal yang kita kerjakan.

Mari kita urai satu persatu benang merahnya hard-easy effect ini dengan logis agar kita bisa menghindari atau mengurangi dampaknya untuk pengambilan keputusan kita.

Apa Itu Hard-Easy Effect?

Hard-easy effect adalah suatu bias kognitif yang menyebabkan otak kita tidak tepat dalam memberikan output mengenai tingkat kesulitan suatu tindakan.

Hard-easy effect akan membuat otak kita mengirimkan sinyal terbalik kepada kita, di mana seharusnya tingkat kepercayaan diri kita itu sejalan dengan tingkat kesulitan sebuah tindakan.

Efek ini membuat kita over confidence dalam mengerjakan tugas atau tindakan yang sulit, yang akhirnya akan membuat kita lengah. Sebaliknya, hard-easy effect juga akan membuat kita low confidence justru ketika menghadapi tugas atau tindakan yang mudah.

Hal ini akan membuat kita malah tertekan, stres, dan pada akhirnya tidak bisa mengerjakan tugas yang seharusnya lebih mudah tersebut.

Hard-easy effect mungkin bagi kita yang awam, terlihat seperti bias yang remeh dan sederhana. Namun sejatinya bias ini memiliki konsekuensi yang tidak bisa dipandang remeh.

Ketika kita melebih-lebihkan kemampuan kita untuk berhasil dalam tugas-tugas sulit ini, kita mungkin memulai upaya yang tidak sepenuhnya kita persiapkan.

Kita jadi tidak mengerjakan pekerjaan rumah kita karena kita sudah merasa mampu dan percaya diri. Secara tidak langsung, ketika kita merasa sudah percaya diri, kita akan gagal memperkirakan tingkat kesulitan yang sebenarnya.

Bias ini pertama kali diperkenalkan oleh Psikolog Sarah Lichtenstein dan Baruch Fischhoff, peneliti dengan minat khusus dalam psikologi perilaku pada tahun 1977.

Mereka berdua melihat bahwa pengambilan keputusan sangat terkait dengan tingkat kepercayaan individu yang bersangkutan. 

Ternyata hasil penelitian mereka memang membuktikan bahwa hard-easy effect ini sangat mempengaruhi rasa percaya diri ketika kita dihadapkan pada satu situasi yang membutuhkan keputusan.

Hard-easy effect ini sangat terkait dengan tulisan saya sebelumnya mengenai bounded rationality. Kaitannya adalah kita akan merasa memiliki rasa percaya diri yang tinggi ketika merasa sudah memiliki seluruh informasi, padahal belum tentu semua informasi tersebut berguna untuk kita.

Hard-easy effect membuat rasa percaya diri yang terlalu tinggi itu menjadi menyesatkan.

Rasa percaya diri tinggi Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels
Rasa percaya diri tinggi Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels
Bagaimana Cara Kerja Hard-Easy Effect Ini?

Kalau kita mencoba melihat contoh-contoh di atas dengan logis, maka hard-easy effect ini terjadi karena otak kita mengirimkan sinyal yang bias mengenai kemampuan kita.

Kita menjadi terkecoh dengan kemampuan asli diri kita sendiri. Jika tidak ada hard-easy effect ini maka kita akan sadar adanya kesenjangan antara kapasitas asli dan kapasitas yang muncul karena bias.

Hard-easy effect ini membuat kesenjangan tersebut menjadi seakan-akan tidak ada. Makanya banyak orang terkecoh dengan begitu percaya diri menghadapi hal yang sulit, padahal kemampuannya belum sampai ke titik tersebut.

Sebenarnya cara kerja otak kita itu sederhana. Ketika kita menghadapi satu permasalahan, maka otak kita akan berusaha menarik semua informasi yang tersimpan terkait dengan permasalahan ini.

Kemudian setelah semua informasi tersebut ditarik, maka proses selanjutnya adalah memproses dan mengambil keputusan. Sangat sederhana.

Hard-easy effect ini membuat keakuratan proses di otak dalam menarik dan mengolah informasi tersebut menjadi bias. Di sisi lain bias ini mempengaruhi rasa percaya diri kita.

Jadi, tanpa kita sadari bahwa kita sudah terjatuh dalam bias kognitif, sedangkan rasa percaya diri masih terus mengalir sampai ke titik puncak.

Dalam contoh cerita saya di atas, saya tidak lulus ujian praktek karena otak saya bias terhadap kemampuan saya menghadapi ujian praktek tersebut.

Saya merasa saya mampu mengerjakan padahal kenyataannya kemampuan asli saya belum mencukupi. Rasa percaya diri saya ternyata tidak sejalan dengan kompetensi saya.

Gagal ujian | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels
Gagal ujian | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels
Bagaimana Cara Kita Menghadapi Efek Negatif Dari Hard-Easy Effect Ini?

Hard-easy effect ini akan mempengaruhi kemampuan kita untuk membuat keputusan yang tepat serta membuat kita sulit untuk mengetahui kapasitas diri.

Berdasarkan pengalaman saya pernah terjebak dalam hard-easy effect, kita memang harus rutin melakukan "kalibrasi" diri untuk benar-benar mengetahui titik yang sebenarnya dari kapasitas kita.

Berita buruknya, hard-easy effect ini berhubungan dengan rasa percaya diri. Satu hal yang sifatnya sedikit abstrak dan berbeda-beda setiap orang.

Ada orang yang dari lahir memang percaya diri walaupun kapasitas dirinya tidak sesuai. Namun ada juga yang kapasitas dirinya kompeten tapi tidak percaya diri.

Lantas bagaimana cara mengatasinya? Berdasarkan pengalaman saya, ada dua hal yang bisa dilakukan sebagai berikut:

1. Selalu coba untuk menemukan logika yang tepat ketika menghadapi permasalahan

Seperti yang sudah saya bahas di tulisan saya sebelumnya, logika adalah ilmu yang berbicara mengenai ketepatan. Salah satu cara mengatasi hard-easy effect adalah selalu mencoba berlogika.

Di mana benang merahnya? Benang merahnya adalah hard-easy effect ini secara langsung meningkatkan rasa percaya diri kita dalam melakukan suatu hal, padahal yang kita lakukan belum tentu tepat.

Nah, dengan mencoba untuk selalu berlogika terlebih dahulu, maka kita akan selalu menemukan alasan yang tepat kenapa kita melakukan hal tersebut.

Dengan alasan yang tepat tersebut, maka rasa percaya diri kita akan terbawa ke tempat yang seharusnya. 

Dalam contoh saya di atas, seharusnya saya berlogika bahwa ujian praktek pasti lebih sulit, saya tidak boleh terlalu percaya diri. Sayangnya saya gagal berlogika pada saat itu.

2. Kritis terhadap diri sendiri

Sulit bukan? Saya tahu rata-rata dari kita itu memang sulit melakukan kritik terhadap diri sendiri. Rasanya memang tidak enak, mengkritik diri sendiri yang selalu merasa benar.

Dalam cerita saya di atas, harusnya saya melakukan kritik diri sendiri dengan cara menanyakan, "Hei, yakin sudah paham mengenai soal ujian praktek?", sayangnya saat itu saya enggan melakukannya karena memang tidak nyaman.

Rasa nyaman akan diri sendiri itu memang perlu agar kita tidak tertekan. Namun keberanian melakukan kritik kepada diri sendiri itu jauh lebih bermanfaat. Berani coba?

Terjebak hard-easy effect | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels
Terjebak hard-easy effect | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels
Kesimpulan

Kita mungkin percaya bahwa semakin cerdas kita, semakin percaya diri kita, membuat kita lebih baik dalam memprediksi kesuksesan kita dalam tugas yang berbeda.

Di sisi lain jika kecerdasan dan pengetahuan kita mungkin tidak bisa membuat kita terlepas dari hard-easy effect, setidaknya kita bisa melakukan kontrol terhadap rasa percaya diri kita.

Kita semua tahu tentang terlalu percaya diri. Jika saya bertanya kepada kamu, "Apakah kamu terlalu percaya diri?" kamu pasti akan menjawab, "Tidak."

Kita dapat dengan mudah melihat rasa terlalu percaya diri pada orang lain, ironisnya kita tidak bisa melihat rasa tersebut dalam diri kita sendiri. 

Saya sering melihat banyak orang yang tampaknya terlalu percaya diri dengan kemampuan mereka sendiri. Jika kita memberi tahu hal ini kepada orang-orang yang menganggap diri mereka di atas rata-rata, mereka akan membalas dengan mengatakan, "Tapi saya benar-benar lebih baik dari orang lain."

Memahami bahwa kita mempunyai keterbatasan dan berani melakukan kritik terhadap diri sendiri adalah kunci untuk mengatasi hard-easy effect dan bergerak maju.

Salam Hangat.

Referensi: Juslin, P., Winman, A., & Olsson, H. (2000). Naive empiricism and dogmatism in confidence research: A critical examination of the hard–easy effect. Psychological review.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun