Mohon tunggu...
Andesna Nanda
Andesna Nanda Mohon Tunggu... Konsultan - You Are What You Read

Kolumnis di Kompas.com. Menyelesaikan S3 di Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Kita Puas dengan Sesuatu Hal yang Hanya "Cukup Baik"?

15 Juni 2021   07:00 Diperbarui: 25 Juni 2021   11:35 1099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terbaik | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels

Pernahkah kamu sedang berbelanja di minimarket kesayangan kamu dan kemudian kamu melihat ada telur dengan label omega 3 dan kamu langsung memasukkan ke dalam keranjang belanja kamu?

Padahal kamu tidak tahu apa itu omega 3 dan apakah benar telur tersebut mengandung omega 3 atau tidak. Tambahan, kamu juga tidak tahu apa manfaat omega 3 itu, pernah?

Atau pernahkah kamu membeli suatu barang karena "desakan" lingkaran sosial kamu? Padahal kamu tidak butuh dan tidak tahu mengenai barang itu. Kamu hanya diberi tahu temanmu barang itu "cukup baik", pernah?

Contoh lain misalnya, kamu sedang belanja daring untuk menu sarapan sehat. Setelah scrolling up and down, kamu menemukan banyak sekali merek sereal.

Masalahnya, kamu tidak mungkin untuk meneliti setiap merek sereal dan membandingkan informasi nutrisi untuk menemukan yang paling sehat, bukan?

Membandingkan bahan-bahan antara dua sereal saja sudah cukup melelahkan, apalagi mencoba membandingkan puluhan. Kamu pasti tidak punya waktu.

Sebaliknya, otak kamu mungkin akan mengasosiasikan "sehat" dengan bahan seperti 100% gandum, kemudian kamu cari sereal yang bertuliskan, "100% Gandum Utuh'" dan memasukkan ke dalam keranjang kamu.

Tanpa kamu sadari otak kamu menemukan sesuatu yang memenuhi kriteria "sehat" dalam pikiran, memilihnya, dan melanjutkannya, tanpa mengetahui apakah itu benar-benar pilihan terbaik, pernah?

Saya pernah. Begini ceritanya, kebetulan saya sedang mencari laptop untuk sekolah online anak saya. Maka pergilah saya ke salah satu toko besar yang menjual laptop.

Di tempat tersebut saya menghabiskan dua jam hanya untuk meneliti model terbaik yang tersedia. Setelah membandingkan harga dan fitur, saya mempunyai tiga opsi yang saya anggap cocok untuk apa yang saya cari saat ini.

Kemudian datanglah mas-mas yang siap membantu saya memilih laptop yang terbaik dari 3 opsi tersebut. Nah, si mas ini memilihkan saya laptop yang lebih rendah harganya dari pilihan asli saya.

Pilihan asli saya memang mempunyai spesifikasi lebih lengkap dan tentunya memang lebih mahal. Di titik ini saya pun mengalami dilema. Di satu sisi saya masih ingin menimbang-nimbang, di sisi lain saya sudah menghabiskan 2 jam.

Di sisi lain, pengetahuan saya yang terbatas tentang laptop menyebabkan saya berada dalam posisi yang tidak menguntungkan untuk membuat keputusan yang rasional.

Akhirnya, karena saya memiliki kerangka waktu yang terbatas dan saya harus kembali bekerja dalam satu jam dan saya sangat membutuhkannya laptop tersebut, saya pun memilih laptop dengan spesifikasi yang menurut saya paling lengkap tersebut. Padahal saya juga tidak tahu apakah itu memang yang terbaik atau tidak.

Jangan-jangan sebenarnya saya cukup mengikuti saran si mas tersebut untuk membeli laptop dengan harga lebih murah, karena sebenarnya itu yang terbaik untuk kebutuhan saya.

Sungguh, saya tidak tahu apakah keputusan saya saat itu tepat atau tidak. 

Jika kamu pernah mengalami hal-hal di atas atau seperti yang saya alami, maka kamu mengalami sesuatu hal yang di dalam behavioral science disebut dengan bounded rationality.

Satu konsep yang menggambarkan keterbatasan otak kita berpikir rasional dalam proses pengambilan keputusan jika pengalaman atau pengetahuan kita terhadap hal tersebut terbatas.

Apa Itu Bounded Rationality?

Bounded rationality adalah proses pengambilan keputusan di mana otak kita berusaha untuk memuaskan, bukan mengoptimalkan. 

Dengan kata lain, kita akan mencari keputusan yang akan cukup baik, bukan keputusan terbaik.

Bounded rationality menyebabkan proses pengambilan keputusan kita untuk cenderung enggan mencari semua informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan rasional.

Hal ini menyebabkan otak kita lebih suka membuat pilihan yang "cukup" saja, yang "aman-aman" saja alih-alih optimal. Tidak heran kita akan terjatuh dalam bias kognitif dengan memilih yang biasa saja padahal kita bisa mendapat yang terbaik.

Atau bisa juga sebaliknya, kemudian akan timbul rasa penyesalan dan gundah gulana, yang akhirnya akan membuat kita overthinking.

Overthinking kemudian membuat kita tertekan dan pada akhirnya berujung pada kesehatan yang memburuk.

Ironisnya, kita suka mengatakan kepada diri sendiri atau menunjukkan kepada orang lain bahwa pilihan kita masih rasional. 

Kita selalu ingin memaksimalkan manfaat sambil mengurangi biaya-biaya. Satu hal yang wajar bagi kita, sebagai makhluk sosial dan sekaligus makhluk ekonomi. 

Tapi bounded rationality ini membuktikan bahwa kita bisa menjadi tidak rasional, ketika kita tidak mempunyai semua pengetahuan dan keterbatasan informasi.

Saya pribadi juga mengakui memang sulit bagi kita memilih dan memutuskan seratus persen sesuai dengan rasionalitas yang sempurna. Ketika ketidakrasionalan ini terjadi, maka kita akan menjadi tidak konsisten dengan pilihan kita.

Jadi, terkadang saya berpikir peribahasa jawa mencla-mencle itu bukan berarti si orang tersebut memang berubah-ubah. Tapi bisa jadi di saat itu si orang tersebut sedang terjebak bounded rationality.

Memikirkan Pilihan | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels
Memikirkan Pilihan | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels
Bagaimana Cara Kerja Bounded Rationality Ini?

Seperti yang sudah saya bahas dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya, setiap hari, kita harus membuat ratusan keputusan berdasarkan alternatif yang tersedia. 

Karena kita harus membuat begitu banyak keputusan dalam jangka waktu yang terbatas, kita tidak dapat meluangkan waktu untuk mengumpulkan semua informasi tentang atau memetakan efek potensial, dari setiap alternatif. 

Pikirkan tentang berapa banyak informasi yang harus disimpan di otak kita pada saat tertentu agar kita dapat membuat keputusan yang sangat rasional.

Banyak sekali bukan? Coba ingat-ingat berapa kali kita terlewat hari ulang tahun pasangan, anak, orang tua atau bahkan hari jadi pernikahan.

Itu karena otak kita sangat terbatas kapasitas penyimpanannya. Karena keterbatasan itulah kita harus membuat keputusan menggunakan jalan pintas. Jalan pintas ini memudahkan kita untuk membuat keputusan, tetapi mengurangi rasionalitas.

Malah terkadang membuat kita membuat pilihan yang kurang optimal.

Berusaha berpikir rasional | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels
Berusaha berpikir rasional | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels
Bagaimana Cara Kita Menghadapi Efek Negatif dari Bounded Rationality Ini?

Walaupun kita sudah menyadari tentang batas kemampuan berpikir kita, informasi yang tersedia bagi kita, dan waktu, tidak membuat kita aman dari jebakan bounded rationality.

Secerdas apapun kita juga tidak efektif untuk mencoba memperoleh semua pengetahuan tentang berbagai alternatif saat membuat keputusan, saya rasa tidak ada satupun orang yang suka berlama-lama duduk merenung memikirkan satu keputusan, akan terlalu lama.

Yang menarik adalah kalaupun kita mempunyai variabel waktu, kita tidak mungkin bisa memproses semua informasi tersebut.

Jadi bagaimana caranya?

Pengalaman saya pernah terjebak dalam bounded rationality ini membuat saya bisa menyarankan beberapa hal untuk mengurangi dampak negatifnya, sebagai berikut:

1. Jangan terbiasa bekerja, memutuskan sesuatu atau mencari barang sendiri
Maksud saya adalah biasakan untuk selalu bekerja sama dalam satu tim atau kelompok. Dengan bekerja dalam satu tim atau kelompok, batasan kita akan dapat di perluas dengan perspektif dari anggota tim lainnya.

Dengan memutuskan sesuatu bersama atau meminta outsider perspective, kita akan mendapatkan tambahan sisi lain yang kita tidak tahu atau informasi yang kita miliki terbatas.

Dalam cerita saya di atas, harusnya waktu itu saya meminta salah satu anggota keluarga saya yang paham laptop untuk menemani memilih!

2. Latih diri memilah-milah informasi
Nah, ini yang agak sulit. Sifat dasar otak manusia itu memang sukanya mengumpulkan informasi, sepertinya kita merasa kalau informasi itu selalu saja kurang.

Padahal kalau kita mau memilah-milah, kita hanya cukup mencari informasi yang relevan saja dengan kebutuhan kita.

Dalam cerita saya diatas, harusnya saya memilah-milah dulu kebutuhan laptop yang saya perlukan baru saya pergi ke toko.

3. Percaya kepada intuisi
Ini harus dilatih, intuisi adalah sesuatu yang bisa dipelajari dan dilatih seiring waktu. Biasanya kalau kita jujur dalam melatih intuisi ini, hasilnya juga tidak akan membohongi kita.

Intuisi itu bukan menghitung kancing baju loh ya! Intuisi yang sejati adalah berdasarkan learn and fail over the time.

Dalam cerita saya di atas, harusnya saya mengikuti intuisi saya bahwa laptop yang terbaik bukan yang paling mahal.

Terperangkap bounded rationality | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels
Terperangkap bounded rationality | Foto oleh Andrea Piacquadio dari Pexels
Kesimpulan

Dengan kemajuan teknologi, semakin banyak informasi yang tersedia dengan biaya yang lebih murah (sebenarnya informasi saat ini banyak yang gratis). Selain itu, teknologi juga memberi kita kesan bahwa kita hidup di dunia yang bisa kita kendalikan.

Yang diperlukan hanyalah informasi yang cukup dan kita akan bisa sukses dalam hal apapun. Oleh karena itu, kita tetap perlu memiliki berita terbaru, informasi, dan mengikuti tren terbaru.

Tapi, kita harus pandai melihat, memilah dan melakukan kontrol atas semua informasi tersebut. Pendekatan semacam ini bisa membuat kemungkinan kita terjebak bounded rationality menjadi lebih kecil. 

Namun, tetap berhati-hatilah saat kita mendapatkan akses ke lebih banyak informasi, ini juga meningkatkan "kebisingan" secara eksponensial.

Terakhir, karena hampir tidak mungkin untuk membuat keputusan yang memuaskan semua faktor tersebut, dan dalam keterbatasan temporal dan kognitif kita, buatlah pilihan dengan pemahaman dan kemampuan terbaik kita, bukan pemahaman terbaik orang lain.

Salam Hangat.

Referensi: Simon, H. A. (1955). A behavioral model of rational choice. The Quarterly Journal of Economics, 69(1), 99-118, Selten, R. (1990). Bounded rationality. Journal of Institutional and Theoretical Economics (JITE)/Zeitschrift für die gesamte Staatswissenschaft, 146(4), 649-658. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun