Mohon tunggu...
Andesna Nanda
Andesna Nanda Mohon Tunggu... Konsultan - You Are What You Read

Kolumnis di Kompas.com. Menyelesaikan S3 di Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Kita Membuat Keputusan yang Buruk?

19 Mei 2021   09:03 Diperbarui: 25 Juni 2021   11:49 1239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Membuat Keputusan | Sumber: Foto oleh Victoriano Izquierdo di Unsplash

Pernahkah kamu saat sedang antri di mini market atau supermarket besar kemudian melihat pajangan permen dan coklat yang lucu dan menarik di dekat kasir. Lantas muncul rasa tertarik untuk membeli dan secara sadar atau tidak sadar memasukkan permen dan coklat itu ke keranjang belanja?

Padahal sebelumnya sewaktu proses belanjanya, kamu sama sekali tidak tertarik dan cenderung menghindari. 

Saya pernah. Padahal saya memang tidak ada niat membeli coklat ataupun permen sewaktu proses berbelanja. Tapi, begitu saya sampai di depan kasir, saya melihat banyak pilihan coklat dan entah kenapa saya memasukkan coklat itu ke keranjang belanja.

Mengapa kita akhirnya membeli? Mengapa kita cenderung mampu menghindari godaan permen, donat, es krim, dan godaan lain yang kita temui sebelumnya saat berbelanja selama satu jam, tapi kemudian akhirnya gagal menahan godaan tersebut?

Atau bayangkan kita login ke Netflix kemudian kita disuguhi berbagai macam pilihan. Bingung mau menonton antara drama korea Vicenzo atau serial Attack on Titans. Ujungnya malah kita tidak jadi menonton apapun.

Saya berikan contoh lain, dari figur yang terkenal di publik misalnya, Pakaian founder Facebook, Mark Zuckerberg. 

Mark mengklaim alasan ia mengenakan pakaian berwarna yang sama setiap hari adalah untuk membatasi jumlah keputusan yang harus ia buat. 

Mark memahami bahwa lebih baik ia menyimpan energinya untuk keputusan-keputusan penting lainnya daripada ia menghabiskan waktu hanya untuk memutuskan pakaian apa yang akan dipakai. 

Kejadian di depan kasir mini market itu terjadi karena semakin lama kita berbelanja, semakin lama will power kita akan menghilang. Kita akan menjadi lelah untuk memilih. 

Hal yang sama terjadi dengan keputusan Mark untuk memakai pakaian yang sama saja setiap hari. Ini yang dinamakan dengan decision fatigue.

Permen Coklat | Sumber: Foto dari Pixabay
Permen Coklat | Sumber: Foto dari Pixabay
Apa Itu Decision Fatigue?

Saya dan mungkin juga rata-rata orang membuat ratusan bahkan mungkin ribuan keputusan dalam satu hari. Dan setiap keputusan tersebut pasti menghabiskan banyak energi. 

Decision fatigue menggambarkan bagaimana serangkaian keputusan dapat menghabiskan energi kita dan membuat kita menjadi lebih rentan terhadap pengambilan keputusan yang buruk.

Decision fatigue itu menggambarkan bagaimana kualitas keputusan kita makin lama semakin turun seiring dengan semakin banyaknya pilihan. 

Hal ini disebabkan karena kemampuan kognitif kita terbatas. Yang akhirnya kita merasa lelah dan menyerah karena terlalu banyaknya pilihan yang harus kita tentukan.

Saya coba membuat ilustrasi dari decision fatigue ini. Silahkan perhatikan gambar di bawah ini:

Decision Fatigue | Sumber: Dokumentasi Pribadi
Decision Fatigue | Sumber: Dokumentasi Pribadi
Kalau kita melihatnya dari sudut pandang pemasaran, efek ini dapat menyebabkan konsumen akan membuat pilihan yang semakin tidak rasional atau buruk, berbanding lurus dengan semakin lama mereka berbelanja. 

Efek ini dapat membuat kita sebagai konsumen lebih rentan terhadap teknik penjualan dan pemasaran serta tanpa sadar melakukan pembelian impulsif.

Decision Fatigue Tidak Memandang Tingkat Intelegensia

Siapapun bisa mengalami decision fatigue ini. Fenomena decision fatigue dapat mempengaruhi bahkan individu yang paling rasional dan cerdas, karena setiap orang dapat menjadi lelah secara mental.

Semakin banyak keputusan yang dibuat sepanjang hari, semakin sulit setiap keputusan bagi kita. Akhirnya, otak mencari jalan pintas untuk menghindari decision fatigue dalam proses pengambilan keputusan, yang akhirnya mengarah pada pengambilan keputusan yang buruk.

Decision fatigue juga memiliki keterkaitan erat dengan tulisan saya sebelumnya yang terkait dengan "Paradox of Choice", yang dipopulerkan penelitian Universitas Columbia tentang sampel selai yang menunjukkan bahwa lebih banyak pilihan tidak mengarah ke rasio konversi penjualan yang lebih tinggi. Faktanya, justru orang yang kewalahan dengan terlalu banyak pilihan pada akhirnya tidak membuat pilihan sama sekali.

Kenapa Kita Bisa Mengalami Decision Fatigue Ini?

Orang yang lebih sering harus membuat keputusan berdasarkan untung-rugi biasanya sering mengalami decision fatigue yang lebih intens.

Secara simpel begini, saat kita memulai proses pengambilan keputusan, kita pasti mulai dengan menimbang pilihan-pilihan yang ada dengan hati-hati. 

Nah, jika proses menimbang-nimbang ini terlalu lama selama periode waktu tertentu, energi kita akan tersedot dan kita menjadi bias terhadap suatu hal. Contohnya tadi sewaktu saya menimbang-nimbang apakah perlu saya memasukkan coklat ke dalam keranjang belanja.

Jadi apakah kita tidak perlu mempertimbangkan dengan masak-masak setiap keputusan kita? Tentunya tetap perlu. Tapi jangan terlalu lama. Biasakan kita sudah merencanakan momen puncak dan momen terakhir dari setiap keputusan kita. Seperti yang sudah saya bahas dalam tulisan saya sebelumnya yaitu mengenai Peak-End Rule.

Ilustrasi Lelah Membuat Keputusan | Sumber: Foto oleh Luis Villasmil di Unsplash
Ilustrasi Lelah Membuat Keputusan | Sumber: Foto oleh Luis Villasmil di Unsplash
Bagaimana Menghindari Decision Fatigue Ini?

Decision fatigue ini bagi saya dan mungkin sebagian orang, dapat menjadi sebuah masalah serius. Terutama bagi saya yang sedikit perfectionist. Atau bagi orang-orang yang pekerjaannya harus selalu memperhatikan penampilan. 

Waktu bisa habis hanya untuk memikirkan outfit apa yang akan dipakai hari ini, atau saya harus makan siang di mana hari ini. 

Ribet memang ya. Makanya saya sudah satu tahun terakhir ini mencoba melakukan simplifikasi gaya hidup dan kebutuhan. 

Hal tersebut perlu dilakukan agar saya punya waktu yang lebih berkualitas untuk memikirkan keputusan-keputusan lain yang lebih penting. 

Misalnya, anak saya akan masuk sekolah dasar di mana dan berapa biayanya. Pokoknya saya benar-benar berusaha mengurangi keribetan yang tidak perlu.

Jadi bagaimana kita bisa menghindari decision fatigue? Berdasarkan pengalaman saya, ada beberapa pendekatan yang bisa berhasil:

  1. Persempit pilihan kita untuk hal-hal yang tidak esensial, sudahlah....tidak perlu terlalu sophisticated. Simpan energi kita untuk hal-hal yang esensial.
  2. Prioritaskan pengambilan keputusan kita dengan susun skala prioritas. Klise, tapi bagi saya it works! Susun skala priotas menjadi sangat penting - penting - tidak penting - sangat tidak penting.
  3. Buat rutinitas sedapat mungkin, contohnya Mark Zuckerberg. Buat rutinitas yang sudah nyaman. Lakukan dan bangun rutinitas tersebut yang akhirnya hidup kita jadi autopilot untuk hal-hal yang tidak memerlukan keputusan penting.

Kesimpulan

Kita dapat menghindari decision fatigue dengan mengurangi pilihan dalam kehidupan sehari-hari kita, membuat rutinitas, mengelola mood, istirahat, dan membuat keputusan lebih awal di hari itu. 

Untuk menghindari pengambilan keputusan yang buruk - terutama jika menyangkut hal-hal penting, ukur energi kita saat memulai proses pengambilan keputusan. 

Jika kita terlalu lelah, rencanakan untuk memutuskan keesokan harinya. Jika lapar, makan. Jika mengantuk, tidur. Jika bosan, ambil cemilan. Pokoknya jangan dibuat sulit untuk hal-hal yang seharusnya tidak sulit.

Bentuk rutinitas kita sehari-hari. Usahakan kita selalu mengikuti schedule rutinitas tersebut. Sehingga kapasitas kognitif kita bisa dipergunakan untuk hal-hal yang esensial. Tidak perlu takut bosan, karena bosan itu sendiri adalah terbentuk dari ketakutan kita terkungkung dalam rutinitas yang itu-itu saja.

Terakhir, tidak ada keputusan yang sempurna, yang ada hanyalah pembelajaran. Tidak perlu khawatir apakah keputusan kita sudah tepat atau belum. Yang dibutuhkan adalah keberanian kita menerima semua konsekuensi dari apa yang sudah kita putuskan.

Salam Hangat.

Referensi: Pignatiello, G. A., Martin, R. J., & Hickman Jr, R. L. (2020). Decision fatigue: A conceptual analysis. Journal of health psychology, 25(1), 123-135. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun