Kenapa kamu tega menghasut sana-sini membeberkan tentang kesombonganku tanpa alasan. Ketidaknyamanan ini pernah ku ungkapkan pada tetangga depan rumahku. Iya, bu Siti mungkin terlalu cerdas hingga aku menjadi objekan dan bahan obrolan penuh bumbu.
"Alaahhh ... ! bu Miriam itu sombong sekali mentang-mentang anaknya sukses sudah bekerja di kota. Ia gak pernah pun ngumpul bareng kita," cerocosnya di depan para ibu komplek.
 "Iya! nanti kalau ada acara pesta anaknya biar kawan di kantor yang datang membantunya. Kita ogah, ahh!! cari enaknya, nyantai aja! seperti cara bu Miriam ketempat kita, sebentar duduk dan makan lalu pamit. Iihh... SMP (siap makan pulang) kebangetan bu Miriam, yah," timpal bu Renggo yang suka ngomporin.
"Wuuiihhh... azab apalagi ini! Hati manusia banyak ternoda dengan ulah sendiri," pikirku mumet
Mereka tidak tau posisiku ada di situ sedang duduk di pojok mengamati ulah ibu-ibu rempong, bahkan aku ikut mendengar apa yang mereka bicarakan. Sedih hatiku kena label para ibu komplek yang mulai tak bersahabat lagi.
Entah di sengaja atau tidak, mereka memandangku sebelah mata, lautan kasih yang pernah kutebarkan dulu saat aktivitas di kantor masih senggang, sia-sia belaka. Mereka hanya mencari celah negatifku tanpa memahami kenapa aku hadir bak kilat pada acara itu.Â
Walaupun rada kesal, aku menyikapi dengan kepala dingin dan positif thinking, menanggapi hal tersebut. Aku coba mengoreksi diri apa sebenarnya punca permasalahan dengan bu Siti? Kucoba berdamai dengan keadaan ini. Diam-diam aku ikuti mereka setiap bergabung dalam kegiatan arisan dan acara kondangan. Makjleb ... aku pusing tujuh keliling membayangkan para ibu yang heboh menggunjing sana-sini. Semua dapat giliran, dari si A sampai dengan si Z.
Wahai ibu-ibu rempong, kalian semua cantik dan elegan menurutku, mengertilah sedikit atas kerumitan orang lain. Contohnya sepertiku dan beberapa ibu karir lainnya di komplek. Aku berangkat kerja pada subuh buta dan pulangnya ketika orang-orang komplek udah pada istirahat. Bahkan terlintas di benakku perasaan ingin seperti mereka walaupun hanya sebentar saja. Emang sejatinya manusia itu kadang luput dari ucap syukur.Â
Sifat manusia tak pernah puas dalam meraih pencapaian hidup, cenderung membandingkan orang lain, apalagi melihat mereka nyantai, ketawa-ketiwi nongkrong tanpa beban membuatnya resah. Dalam menikmati kebahagiaan, sebenarnya sangat sederhana dan kita sendiri yang menciptakan suasana menjadi happy.
Begitulah gambaran bermasyarakat di suatu tempat, tentunya sungguh berbeda di tempat lain tergantung pola pikir masyarakat itu sendiri. Karakter yang merugikan sesama sudah saatnya dirubah dengan yang berkelas dan berdaya. Kita tidak tau kesulitan orang lain jauh lebih rumit dari yang kita pikirkan. Seyogyanya tidak perlu menambah beban hidup atau mempersulit diri dan sejauh ini paham kan? Sehingga hatiku berkata," ibu ngaca dulu, apa udah benar tingkah lakumu dan keluargamu? Jangan menghakimi yang lainnya, apalagi buruan nge-judge."
 Aku kasian beberapa ibu komplek yang ngakunya alim, tetapi lebih mendominasi tentang keburukan tetangganya malahan kerap di besar-besarkan.