Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sederhana, tapi Berefek

20 Maret 2023   22:10 Diperbarui: 21 Maret 2023   16:26 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua Sastrawan Indonesia yang karyanya sampai saat ini masih dinikmati generasi penerus dari dalam dan luar negeri | Foto: Canva.com/Dokumentasi pribadi

Sedikit bercerita, sastra pada masa Pramoedya Ananta Toer masih hidup, dianggap pedang bermata dua untuk kebijakan negara, apalagi bagi negara yang budaya dan pendidikan masyarakatnya sangat beragam dan belum menyatu sepenuhnya.

Tidak heran tulisan Pramoedya Ananta Toer yang pemikirannya cukup terbuka, membuatnya menjadi tahanan politik tanpa alasan yang jelas pada era Presiden Soeharto.

Karakteristik tulisan beliau begitu membius, hingga bisa dibilang cukup provokatif. Emosi saya sebagai pembaca mampu dibuat teraduk-aduk sesuai dengan alur tulisannya. 

Disaat membacanya, saya tidak lagi menganggap diri sebagai pembaca yang eranya sudah berbeda, melainkan sebagai saksi yang hadir dalam setiap peristiwa yang ditulisnya.

Padahal ya, kalau saya perhatikan kembali, tipe tulisan beliau cukup mendayu, bukan tipe tulisan yang akan saya baca sampai habis. Tapi tulisan Pramoedya Ananta Toer mampu mengobrak-abrik perasaan saya, sekaligus memberikan wawasan dari berbagai sudut pandang.

Tidak jauh berbeda dengan buku-buku yang ditulis Eyang Sapardi. 

Tulisan beliau berdua memang beda pembahasan, tapi cara penulisannya memiliki rasa yang sama bagi saya. 

Sederhana, namun sangat mengunggah rasa dan baru saya memahami kalimat "buku adalah jendela dunia". 

Karena di era saya saat ini, sudah ada film dan sosial media yang benar-benar seperti jendela dunia, bisa terlihat dengan sangat jelas.

Tulisan Eyang Pramoedya dan Eyang Sapardi seakan mendeskripsikan isi dunia yang tidak terekam dalam film dan video smartphone. Terasa melihat dunia dari sisi yang berbeda menciptakan rasa empati, dan menumbuhkan suatu sudut pandang, dimana kita sebagai manusia tidak bisa begitu saja menghakimi apa yang kita lihat. Wawasan, begitu istilahnya.

Usai membaca buku yang beliau berdua tulis, selalu saja poin pertanyaan ini terlontar dalam benak saya:

  • Bagaimana beliau berdua bisa belajar menulis seperti itu?
  • Apakah dulu teknik menulis sudah diajarkan? 
  • Dan bagaimana beliau berdua mendapatkan teknik dan informasinya diera yang bisa dibilang serba terbatas?
  • Berapa lama beliau berdua mempelajari tekniknya? 
  • Berapa banyak buku yang beliau berdua baca? 
  • Dari mana beliau berdua mendapatkan bukunya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun