Mohon tunggu...
Fahmi Namakule
Fahmi Namakule Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjadi Pengungsi di Negeri Sendiri

9 Agustus 2017   15:12 Diperbarui: 9 Agustus 2017   15:23 876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gelisah, sebab Negeri ini dimonopoli oleh bangsa-bangsa Asing. Lalu dimankah posisi kita? dimana tempat kita? dimana tempat dan  posisi mereka yang tiap harinya berbaris menadah harapan dalam sengatan matahari yang membakar?

Manusia seperti mereka (pemimpin-pemimpin) yang pandai besekokongkol hingga lalai mengurus Negeri ini, kata Tuangku Tan Malaka "cuman manusia-manusia Goblok yang tiada mengerti akan kesempatan dan nikmat yang emas itu dan cuman manusia pengecut dan curang sajalah yang tiada ingin melakukan pekerjaan yang berguna ditanah yang subur ini".                                         

Dari sekelumit permasalahan tersebut, maka sungguh sangat berpengaruh terhadap tujuan berdirinya Negeriku, yakni "mensejahterakan seluruh rakyat". Pada akhirnya Anak logal harus kembali mengais dan menjadi pengungsi di Negerinya sendiri, akibat kebutuhanya tidak terjawab sebagaimana termuat dalam teks-teks tua pada tahun 70an silam. Ialah Asas Pancasila dan Undang-Undang Dasar, ataupun tujuan berdirinya Negeriku. Apalagi berbagai permasalahan tersebut telah menyatu menjadi satu kesatuan yang membumi. Sehinga akal para pemangku kebijakan di Negeri ini tak mampu melihat, mengurai dan membedakanya lagi, apalagi berpikir untuk menyelesaikanya. He...he...he... semuanya laksana kalimat pembuka yang mengawali tulisan ini, yakni  Ibarat hembusan badai gurun yang menyibak tumpukan jerami yang selama ini menutupi butir-butir permata di tengah-tengah sahara.

Akhirnya aku dan sekian engkau kawan... harus menerima kenyataan untuk tetap tersasar dan setia menjadi si-asing di rimba Tua ku ini. Lebih-lebih lagi, harus bersapu dada menerima gelar "Pengungsi Intelektual" dan inilah yang telah menyita perhatian pablik sejak Sang Fajar dengan sebutan Orde Lama menahkodai Negeriku sampai Bapak Blusukan yang dituduh PKI. Ha...ha...ha... Ternyata, Angin juga mempunyai kekuatan untuk menghembuskanya ke fikir dan inderaku tentang Pengungsi Intelektual.         

Yaa... "Pengungsi Intelektual". Ini adalah bongkahan trand baru dari hasil pecahan batok imaziku sendiri untuk memberikan gelar terhadap mereka yang telah bergelar sarjana namun bingung dengan kesarjanahanya. akhirnya, mereka yang seyogianya duduk di tempat yang layak sesuai spesifik keilmuanya, hmm... setidaknya memakai jas dan berdasi, menyarungkan pena pada saku mereka, sepatu yang sesuai keilmuan dan macam-macam pendekatan.

Terpaksa, yang "Berintelektual" harus terjun dan terbawah gelombang kebutuhan yang mendesak. Akhirnya suka tidak suka, mau tidak mau, tetapi harus tetap dan cepat Mengungsi sebagai Kuli Bangunan, menjadi Buruh diberbagai Pelabuhan, merubah profesi sebagai Tukang Becak, Tukang Gerobak, Pedagang Asongan ada juga sebagai Pumulung.  Kesemuanya dari mereka,  beramai-ramai menjadi Pengungsi di bawah "Bantalan Jembatan Pengangguran" adalah pilihan tanpa ragu dan malu sebagai solusi aternatif pilihan kaum Murba yang terjepit. Inilah yang ku maksutkan dengan "Pengungsi Intelektual". Dan yang sungguh memalukan adalah bersejadi dia menjadi Pengungsi Intelektual di Negerinya sendiri, di dalam rumahnya sendiri. Menjamu dan memberi makan si-Asing yang menjadi tuan rumah sendiri.


Mereka yang tersasar hanya bisa berd'oa "yaaa Allah jika Engkau sebagai pelindung kami, maka sarang laba-laba pun dibuatnya lebih kokoh dari beribu kendaraan lapi baja... dan jika Engakau yaaa Allah tak melindungi kami, maka kendaraan lapi baja tak akan mampu melindungi kami, lemah, selemah sarang laba-laba".

Itulah sepenggel Do'a yang harus diungkapkan tanpa mencari alasan. Sebab semua alasan telah ku urai. Maka apa yang harus diperbuat...? jawabanya, mulailah dan memberanikan diri kita untuk bangkit melawan dominasi Kapitalisme Neoliberal. Jika seperti itu, maka bagaimana cara melawanya...?

Cara untuk melawan Kapitalisme Neoliberal adalah "segera memaknai Negeri ini". Bahwa Negeriku ini Bernama INDONESIA, lebih dalam dan jauh lagi dari sekedar nama, juga harus memaknai dan menguatkan Budaya. Ya... Budaya asli Bangsa Indonesia. Yakni, Penguatan tentang pendekatan "Pancasila". Sebab, Pancasila merupakan Multikulturalis itu wajib ditempatkan sebagai konsepsi perjuangan total, dimana persatuan kekuatan Nasional bukan dengan menyatukan budaya Lokal dalam kesatuan keseragaman budaya yang terkoptasi oleh Negara, tetapi kekuatan budaya lokal (Local Wisdom)harus dijadikan sebagai pilar penguatan Budaya kepribadian dan persatuan Nasional.

Budaya perlawanan dalam Pancasila secara aktual sering pula menghadirkan nilai-nilai, sikap-sikap yang selalu hidup-menghidupi dalam api semangat Negeri ini. Yakni : Gotong royong, solidaritas, semangat persatuan, menjunjung tinggi keadilan, dan kesederajatan. Hingga Soekarno menyatakan bahwa "perjuangan bangsa Indonesia adalah sebuah revolusi besar kemanusiaan yang berangkat dari Tuntutan Budi Nurani Manusia (The Social Conscience Of Man).

Memang. Sebab, tanpa Budi Nurani, "binatang pemeliharaan lebih tinggi derajatnya ketimbang manusia". Walaupun itu... tapi disisi lain kita perlu menyadari bahwa, logika elit dan rakyat kebanyakan berbeda. Elit tidak peduli dengan masa depan Negeri ini, untuk berbuat adil kepada semua, tetapi rakyat kebanyakan masih tetap peduli. Maka dari itu, wahai para Nasionalis, Patriot, Kaum Buruh, Tani, Nelayan, Pedagang Asongan, Pemuda, Mahasiswa, seluruh Marhaen dan juga wahai para Pengungsi Intelektual yang ada Negeri ini. "Marilah bersatu untuk memerdekakan Indonesia kembali" yakni kemerdekaan secara universal. Sembari menyitir perkataan Bung Karno "...Masyarakat sosialis Indonesia harus kuat dan bertenaga menentang setiap penindasan atau penghisapan individu oleh individu atau golongan, setiap penindasan atau penghisapan golongan oleh golongan atau individu, baik yang berbentuk imperialisme maupun feodalisme karena aliran-aliran tersebut di atas sepanjang masa telah membuktikan menjadi penghalang yang terbesar bagi terlaksananya suasana adil dan makmur dikalangan masyarakat dijajah atau yang diperintah...".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun