Mohon tunggu...
Najwa Putri Fadhilah
Najwa Putri Fadhilah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya merupakan seorang mahasiswa Sosiologi Universitas Negeri Jakarta. Saya memiliki ketertarikkan dalam bidang sosial.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Meme sebagai Alat Perlawanan Gerakan Sosial Pemuda

5 Juli 2025   12:09 Diperbarui: 5 Juli 2025   12:25 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kemunculan media sosial sebagai platform digital berbasis internet telah membawa perubahan signifikan dalam cara penyampaian pesan dan kritik sosial. We Are Social mencatat bahwa pengguna media sosial di Indonesia telah mencapai 143 juta identitas. Media sosial kini menjadi ruang terbuka bagi siapa saja untuk mengekspresikan diri, terlibat dalam aktivitas politik, serta menyebarkan informasi kepada publik secara luas. Kehadirannya menciptakan kebebasan baru yang sebelumnya sulit diwujudkan melalui media konvensional.

Di kalangan pemuda, media sosial menjadi sarana strategis dalam membentuk dan menjalankan gerakan sosial. Menurut Giddens, gerakan sosial merupakan tindakan kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Dalam ruang digital, gerakan sosial mampu memobilisasi massa, menggiring opini publik, serta mengangkat isu-isu sosial yang relevan. Media sosial berperan penting dalam membentuk amarah kolektif netizen, memanaskan isu tertentu, dan membangun kesadaran bersama terhadap ketidakadilan atau ketimpangan sosial.

Salah satu cara yang banyak digunakan pemuda dalam menyuarakan gerakan sosial di media sosial adalah melalui meme. Meme tidak hanya berperan sebagai hiburan semata, tetapi juga menjadi media yang efektif untuk menyampaikan kritik dan mengekspresikan opini publik terhadap isu-isu politik. Isinya dapat berupa dukungan, kritik, sindiran, hingga cemoohan terhadap suatu isu.

Di era digital saat ini, meme dinilai memiliki efek yang besar dalam mempengaruhi cara pandang dan respons publik. Meme punya kemampuan untuk mendorong orang berdiskusi dan bertukar pendapat tentang hal-hal penting yang terjadi di masyarakat.

Hal ini membuat meme kerap dipilih sebagai medium perlawanan. Unsur humornya membuat pesan yang ingin disampaikan menjadi terasa lebih dekat dan tidak terkesan menggurui. Meme telah menjadi alat perlawanan yang efektif bagi pemuda. Meme menyuarakan kegelisahan, menyindir ketidakadilan, sekaligus membangun kesadaran kolektif melalui cara yang sederhana.

Meskipun media sosial memberikan ruang baru bagi pemuda untuk menyampaikan pendapat dan melakukan perlawanan dengan cara kreatif seperti meme, nyatanya ruang ini belum sepenuhnya aman. Kebebasan berekspresi yang seharusnya menjadi hak dasar setiap warga negara ternyata masih kerap dibungkam oleh pihak yang berkuasa.

Pihak berkuasa sering menyalahgunakan UU ITE untuk membungkam kritik dan kebebasan berekspresi masyarakat. Amnesty International Indonesia mencatat, selama 2019 hingga 2024, setidaknya terdapat 530 kasus kriminalisasi kebebasan berekspresi dengan jerat UU ITE terhadap 563 korban.

Salah satu kasus kriminalisasi kebebasan berekspresi yang sempat menyita perhatian publik pada Mei lalu ialah penangkapan Mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS karena mengunggah meme Presiden Prabowo Subianto dan mantan presiden Joko Widodo sedang berciuman. Meme ini dibuat menggunakan kecerdasan buatan (AI) sebagai bentuk satire untuk menunjukan dampak buruk dalam penggunaan kecerdasan buatan (AI) tanpa adanya regulasi yang memadai.

Satire adalah gaya bahasa yang dipakai dalam kesusastraan untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang. Penggunaan meme sebagai media satire politik seharusnya dipandang sebagai ekspresi sah dalam demokrasi, bukan sebagai sebuah pelanggaran hukum. Meme semacam ini menandakan adanya keresahan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap situasi yang terjadi.

Namun, alih-alih melindungi kebebasan berekspresi, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri justru menahan mahasiswi tersebut dengan tuduhan melanggar Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1), serta Pasal 51 ayat (1) UU ITE.

Kasus ini memunculkan kekhawatiran besar dan menunjukukkan bahwa ruang berekspresi di Indonesia semakin sempit. Kebijakan hukum yang seharusnya memberikan perlindungan justru digunakan untuk membungkam suara-suara kritis, terutama dari kalangan pemuda. Jika kondisi ini terus berlangsung, maka bukan hanya kebebasan sipil yang terancam, melainkan juga masa depan demokrasi itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun