Mohon tunggu...
Nanang A.H
Nanang A.H Mohon Tunggu... Penulis, Pewarta, Pemerhati Sosial

Penyuka Kopi Penikmat Literasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Joki UTBK dan Budaya Menyontek: Saatnya Mereformasi Sistem Pendidikan

5 Mei 2025   21:05 Diperbarui: 5 Mei 2025   21:10 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rektor UNG  Edward Wook saat sedang memantau pelaksanaan UTBK di Kampus UNG (Foto: Tribun Gorontalo)

"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai kejujuran sejak dari bangku sekolah."

Kalimat itu tampaknya klise, tapi saat membaca kembali berita soal maraknya praktik joki UTBK dan budaya menyontek di kalangan pelajar, kita mulai sadar bahwa krisis kejujuran di dunia pendidikan bukan sekadar kasus individual. Ia sudah menjelma menjadi gejala sistemik---dan kalau tak segera ditangani, dampaknya akan merusak fondasi masa depan bangsa.

Beberapa waktu lalu, media ramai memberitakan praktik joki UTBK di berbagai daerah. Modusnya semakin canggih---mulai dari penggunaan earphone mini tersembunyi, pemalsuan identitas, hingga kerja sama dengan oknum tertentu. Ironisnya, sebagian pelaku diketahui berasal dari kalangan mahasiswa universitas ternama. Ini bukan sekadar kasus curang dalam ujian, melainkan peringatan serius tentang arah pendidikan kita.

Joki, Menyontek, dan Ketimpangan Akses

Mengapa praktik semacam ini terus terjadi? Salah satu akar masalahnya adalah tekanan sistemik: masuk ke perguruan tinggi negeri favorit menjadi cita-cita banyak siswa, namun proses seleksi yang kompetitif dan biaya pendidikan yang tinggi membuat banyak dari mereka mencari jalan pintas.

Menurut pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM), seperti dikutip dari DetikEdu, praktik joki adalah cermin dari sistem pendidikan yang belum menempatkan nilai integritas sebagai fondasi utama. "Ketika hasil lebih dihargai ketimbang proses, maka menyontek menjadi pilihan rasional," kata pakar UGM dalam wawancara tersebut.

Belum lagi, tingginya biaya kuliah---seperti uang pangkal dan Uang Kuliah Tunggal (UKT)---seringkali menimbulkan kecemasan sosial tersendiri. Di sinilah letak ironi: pendidikan yang seharusnya membebaskan, malah jadi sumber tekanan mental dan ketimpangan sosial.

Kecurangan Akademik: Cikal Bakal Korupsi?

Tak bisa dipungkiri, budaya menyontek yang dibiarkan sejak dini bisa menjadi bibit dari budaya korupsi. Bagaimana tidak? Seseorang yang terbiasa mencurangi sistem demi keuntungan pribadi cenderung menganggap praktik tersebut sebagai hal wajar ketika sudah bekerja nanti.

Laporan Balairung Press bahkan menyoroti bahwa neoliberalisasi pendidikan lewat pembebanan uang pangkal telah mendorong institusi pendidikan menjadi entitas yang bersifat "ekonomis", bukan edukatif. Maka tak heran bila proses seleksi masuk yang ketat memunculkan industri jasa joki dan jual beli soal.

Saatnya Revitalisasi: Pendidikan Berbasis Etika dan Empati

Permasalahan ini menuntut kita tidak hanya memperbaiki sistem seleksi masuk kampus, tetapi juga mereformasi pendekatan pendidikan secara menyeluruh.

Beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain:

1. Evaluasi Sistem Seleksi Nasional 

seleksi berbasis tes semata sebaiknya digabung dengan portofolio, prestasi, dan keterlibatan sosial siswa. Ini akan memberi ruang bagi beragam potensi, bukan hanya yang unggul secara akademik.

2. Pendidikan Karakter yang Konsisten dan Kontekstual 

Nilai kejujuran dan tanggung jawab harus ditanamkan sejak SD dan terus dikontekstualisasikan hingga jenjang SMA atau sederajat. Ini bukan hanya urusan guru PPKn, tapi semua pendidik.

3. Biaya Kuliah yang Transparan dan Adil 

Pemerintah harus memastikan bahwa biaya kuliah, khususnya di PTN, tidak menjadi beban yang membuat siswa dari keluarga tidak mampu menjadi frustrasi dan memilih jalan curang.

Teknologi untuk Mengawasi, tapi Jangan Lupa Empati 

Sistem pengawasan UTBK perlu terus ditingkatkan, termasuk teknologi deteksi kecurangan. Namun, yang jauh lebih penting adalah membangun kesadaran siswa bahwa kejujuran adalah bagian dari martabat diri.

Pendidikan Bukan Sekadar Tiket, Tapi Proses Menjadi Manusia

Di era di mana persaingan begitu ketat, memang mudah untuk memahami mengapa siswa merasa tertekan. Namun kita perlu bertanya: apakah kita ingin menciptakan generasi pemenang instan atau generasi yang tangguh dan jujur?

Saatnya pendidikan Indonesia melakukan introspeksi. Dunia pendidikan bukan sekadar tempat mencetak sarjana, tapi ruang menempa manusia. Dan manusia yang utuh bukan hanya cerdas secara intelektual, tapi juga berkarakter.

Penutup

Praktik joki UTBK dan budaya menyontek bukan hanya soal "nakal"-nya siswa. Ia adalah cerminan dari sistem yang perlu dibenahi, nilai yang perlu dikembalikan, dan harapan yang perlu ditanamkan kembali.

Karena jika pendidikan kita gagal menanamkan kejujuran, maka kita sedang membangun bangsa di atas fondasi yang rapuh.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun