Mohon tunggu...
Nafisah Alya Prazdanissa A
Nafisah Alya Prazdanissa A Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hukum Keluarga Islam UIN Raden Mas Said Surakarta 2022

Disiplin adalah kunci sukses. Tetap fokus pada tujuan dan berpegang teguh padanya. Tidak ada kata gagal dalam hidup ini, kecuali saat menyerah menghadapi cobaan. Ketika kita merasa kehilangan harapan, ingat bahwa Tuhan telah menciptakan rencana terindah untuk hidup kita. Tetap Semangat!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Book Review "Hukum Perdata Islam di Indonesia" Karya Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A.

12 Maret 2024   15:03 Diperbarui: 12 Maret 2024   15:10 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A/dokpri

Nafisah Alya Prazdanissa Azhari
222121013 (HKI 4A)
Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia

Judul: Hukum Perdata Islam Di Indonesia
Penulis: Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A.
Penerbit: Sinar Grafika
Terbit : 2018
Cetakan : Keenam, April 2008

Abstrak :

Hukum Islam tidak bisa dilepaskan dalam konteks kehidupan sosial umat Islam di Indonesia. Tulisan ini membahas tentang Buku karya Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A. Yang berjudul "Hukum Perdata Islam di Indonesia" mendeskripsikan tentang keperdataan di Indonesia, mencakup tentang Hukum Perdata Islam Indonesia, pengertian, prinsip hukum perkawinan serta peminangan, mahar pencatatan, akta nikah dan larangan perkawinan, perjanjian perkawinan wanita hamil dan poligami, hak dan kewajiban suami istri, putus perkawinan serta hukum kewarisan islam dan transaksi jual beli. Hukum perdata islam biasa disebut dengan fiqh muamalah yang mencakup perkawinan (munakahat), waris (wirasah / faraid), fiqh muamalah dalam pengertian sempit yakni fiqh yang mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, transaksi jual beli, sewa-menyewa, pinjam meminjam, bagi hasil (persyarikatan) dan segala yang memiliki keterkaitan dengan transaksi. Maka dapat disimpulkan, hukum perdata islam merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum perkawinan, kewarisan, dan pengaturan masalah kebendaan dan hak atas benda, aturan jual beli, sewa menyewa , pinjam meminjam, persyarikatan, pengalihan hak dan segala sesuatu yang berkaitan dengan transaksi.

Kata Kunci : Hukum Perdata Islam, Perkawinan, Kewarisan, Fiqih Muamalah


PENDAHULUAN

Perkembangan hukum perdata Islam2 di Indonesia yang beberapa di antara aspek-aspeknya adalah perkawinan dan kewarisan, merupakan salah satu ekses dari perubahan sosial dan politik yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Terutama perubahan sosial, merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dari kehidupan yang nyata, termasuk asumsi dan pandangan sebagian muslim bahwa hukum Islam adalah suatu hal yang sakral dan eternal. Sehingga muncul asumsi bahwa perubahan sosial harus menyesuaikan dengan hukum Islam, bukan sebaliknya, perubahan sosial mempengaruhi penetapan hukum. Sebuah fenomena yang menjadikan munculnya penilaian bahwa hukum Islam adalah hukum yang memiliki validitas abadi.  Untuk menyikapi sakralitas dan keabadian hukum Islam, maka dilakukan penangguhan terlebih dahulu sifat hubungan yang seolah-olah transendent, antara Islam (sebagai agama) dengan formalisasi hukum Islam, yang selama ini dikenal sebagai syariah. Menurut Abdullah Ahmed an-Naim, syariah bukanlah Islam itu sendiri, melainkan hanya interpretasi terhadap nash yang pada dasarnya dipahami dalam konteks historis tertentu.

Jika hendak dirinci, maka perkembangan hukum perdata di Indonesia secara garis besar terdiri dari dua bagian penting. Pertama, perkembangan hukum perdata Islam pra kemerdekaan. Kedua, perkembangan hukum perdata Islam pasca kemerdekaan. Perkembangan hukum perdata Islam pra kemerdekaan terdiri dari dua bagian yaitu hukum perdata Islam sebelum masa penjajahan dan Hukum perdata Islam zaman kolonial. Selanjutnya hukum perdata Islam pasca kemerdekaan, meliputi masa awal kemerdekaan, pada Orde Lama, pada Orde Baru, dan hukum perdata Islam era Reformasi. Namun dalam tulisan ini, akan dibatasi uraiannya yaitu mengenai hukum perdata Islam di Indonesia yang dibatasi juga hanya mengenai aspek perkawinan dan kewarisan dan perkembanganya pada era reformasi, baik yang sudah berupa implementasi maupun gagasan. Pada dasarnya hukum suatu negara harus lebih banyak berciri nasional dan lokal dari pada internasional dan universal.Karena itu, setiap negara mempunyai hukumnya sendiri, dan apa yang dipandang melanggar hukum dalam suatu Negara belum tentu demikian di Negara lain.

Hukum perdata Islam adalah semua hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban perseorangan di kalangan warga negara Indonesia yang menganut agama Islam. Dengan kata lain, hukum perdata Islam adalah privat materiil sebagai pokok yang mengatur kepentingan kepentingan perseorangan yang khusus diberlakukan untuk umat Islam di Indonesia. Hukum perdata Islam tidak berlaku bagi warga negara nonmuslim. Hukum tentang waris Islam, perkawinan dalam Islam, hibah, wakaf, zakat, dan infak adalah materi-materi hukum perdata  Islam yang sifatnya khusus diberlakukan dan dilaksanakan oleh warga negara penganut agama
Islam.

PEMBAHASAN

A.  HUKUM PERDATA ISLAM DAN KEKUATAN HUKUMNYA DI INDONESIA

Hukum perdata islam biasa disebut dengan fiqh muamalah yang mencakup perkawinan (munakahat), waris (wirasah / faraid), fiqh muamalah dalam pengertian sempit yakni fiqh yang mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, transaksi jual beli, sewa-menyewa, pinjam meminjam, bagi hasil (persyarikatan) dan segala yang memiliki keterkaitan dengan transaksi.

Maka dapat disimpulkan, hukum perdata islam merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum perkawinan, kewarisan, dan pengaturan masalah kebendaan dan hak atas benda, aturan jual beli, sewa menyewa , pinjam meminjam, persyarikatan,
pengalihan hak dan segala sesuatu yang berkaitan dengan transaksi. Analisis Hukum Perdata Islam perlu dianalisis dalam hukum Islam dalam sejarah perilaku umat islam dalam pelaksanaan hukum Islam seperti: syariah, fiqh, fatwa ulama/hakim, keputusan pengadilan dan perundang-undangan. 

1. Syariah

Syariah merupakan ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, baik berupa larangan maupun perintah. Yang meliputi aspek hidup dan kehidupan manusia, baik hablum minallah ( hubungan manusia dengan Allah) atau hablum minnannas (hubungan manusia dengan manusia) pada lingkungan kehidupannya.

2. Fikih

Pengamalan hukum Islam didasari oleh keimanan setiap orang Islam sehingga pengamalan hukum itu bervariasi pada setiap suku dan tempat. Komplikasi Hukum Islam (KHI) merupakan pemikiran fikih di Indonesia, karena didasari oleh keterlibatan ulama, cendekiawan dan tokoh masyarakat dalam menentukan hukum Islam dalam hal muamalah. Seperti perkawinan,  kewarisan, wasiat, hibah serta wakaf.

3. Fatwa

Merupakan hukum islam yang dijadikan sebagai landasan seseorang dan/atau lembaga atas adanya pertanyaan yang diajukan kepadanya. Misalnya seperti, Fatwa MUI terhadap mengenai larangan Natal bersama antara orang Kristen dan orang Islam. Dengan adanya konteks sosial saat ini, meski sudah ada KHI tidak menutup kemungkinan lembaga fatwa tetap dibutuhkan oleh masyarakat, seperti dalam contoh pasal 52 ayat 1 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama secara implisit membuka peluang kepada hakim untuk memberi fatwa, bahwa pengadilan dapat memberi keterangan, pertimbagan dan nasihat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah sesuai daerahnya.

4. Keputusan Pengadilan

Keputusan pengadilan agama (PA) merupakan keputusan yang dikeluarkan oleh PA atas adanya permohonan penetapan atau gugatan yang diajukan oleh seseorang atau lebih dan/atau lembaga kepadanya. Dengan maksud, mengikat pihak yang berpekara.

5. Perundangan-undanganIndonesia

Hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan di Indonesia adalah hukum Islam yang bersifat mengikat secara hukum ketatanegaraan. Contoh: UU No. 1 Tahun 1974 yang mengatur tentang perkawinan.

B. PENGERTIAN, PRINSIP PEMINANGAN DAN AKIBAT HUKUMNYA 

Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan YME. Perkawinan juga salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya, karena dengan perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan dan zina dalam penglihatan.

Prinsip Hukum Perkawinan

Terdapat 7 asas yang terdapat KHI Tahun 1991:

1. Asas Membentuk keluarga yang bahagia dan kecil
2. Asas keabsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak melaksanakan dan harus dicatat oleh petugas yang berwenang.
3. Asas monogami terbuka
4. Asas calon suami dan calon istri telah matang jiwa raganya dapat langsung menikah, untuk mewujudkan perkawinan yang baik dan mendapat keturunan yang sehat.
5. Asas mempersulit terjadinya perceraian
6. Asas kesimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri
7. Asas pencatatan perkawinan 

PEMINANGAN

Peminangan merupakan langkah awal menuju perjodohan antara seorang pria dan wanita. Calon suami melakukan pinangan berdasarkan kriteria calon istri berdasar hadis Nabi SAW,yakni: hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya.

Peminangan juga telah dijelaskan oleh Allah dalam firmannya Surah al-Baqarah ayat 235, artinya: Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran dan/atau dalam keadaan kamu menyembunyikan keinginan dalam hatimu.
Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam hal itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapan perkataan yang baik. Pada ayat tersebut, ulama berpendapat bahwa. Peminangan tidak wajib dalam pengertian yang telah diungkapkan. Tetapi, kebiasaan masyarakat dalam praktik menunjukan bahwa peminangan adaah pendahuluan sebelum perkawinan dilaksanakan.

Syarat dan halangan Peminangan

Pada Pasal 12 ayat 1, KHI mengatur peminangan, bahwa peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddah-nya. Pada pasal 12 ayat 2, 3 dan 4 menyebutkan larangan peminangan terhadap wanita yang mempunyai karateristik seperti:

a.  Ayat 2: Wanita yang ditalak oleh suami yang masig berada dalam masa iddah raj'iah haran dan dilarang untuk dipinang.
b. Ayat 3: Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
c. Ayat 4: Putus pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan atau secara diam-diam pria meminang telah menjauhi dan/atau meninggalkan wanita yang dipinang.

Dari pasal tersebut, dapat ditentukan wanita yang termasuk dipinang dalam al quran adalah seperti: wanita yang dipinang bukan istri orang, tidak dipinang dalam keadaan dipinang oleh laki-laki, tidak menjalani massa iddah raj'i, iddah wafat, iddah bain sugra dan kubro.

MAHAR/MASKAWIN

Menurut Pasal 1 huruf d dijelaskan bahwa, mahar merupakan pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, berupa barang, uang dan jasa yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Dalam Pasal 34 KHI, bahwa mahar bukan rukun dalam pelaksanaan perkawinan, melainkan salah satu syarat sahnya hubungan perkawinan antara suami dengan istrinya.

PENCATATAN PERKAWINAN DAN AKTA NIKAH

Meskipun Alquran dan hadis tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan. Namun hal ini sangat penting dilakukan, karena untuk mewujudkan perkawinan masyarkat yang tertib. Pencatatan perkawinan merupakan upaya untuk  menjaga kesucian aspek hukum yang timbul dari ikatan perkawinan. Pasal 5 dan 6 Komplikasi Hukum Islam (KHI) mengenai pencatatan perkawinan yang berbunyi:

Pasal 5:
* Agar terjamin ketertiban masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat
* Pencatatanpre
Pasal 6:
* Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah
* Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

AKTA NIKAH

Setelah adanya kesepakatan antara pria dan wanita untuk melaksanakan perkawinan, lalu diumumkan oleh pegawai pencatat nikah dan tidak ada keberadaan dari pihak yang terkait dengan rencana, perkawinan dapat dilaksanakan. Dengan memenuhi ketentuan dan tata caranya diatur dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai berikut:

* Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat.
* Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya
* Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaanya itu, perkawinan dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.

Jika perkawinan akan dilangsungkan oleh kedua belah pihak, maga Pegawai Pencatat menyiapkan Akta Nikah dan salinannya dan telah diisi mengenai hal-hal yang diperlukan.

LARANGAN PERKAWINAN

Larangan perkawinan dalam hukum perkawinan Islam ada dua macam yakni: larangan selama-lamanya terinci Pasal 39 KHI dan sementara Pasal 40 -- 44 KHI.

Larangan Perkawinan Selama-lamanya.

1) Karena pertalian nasab

Wanita yang melahirkan atau menurunkannya atau keturunanya
Wanita keturunan ayah atau ibu
Wanita saudara yang melahirkannya

2) Pertalian kerabat semenda:

Wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya Wanita bekas istri orang yang menurunkannya
wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qabla al dukhul.
Seorang wanita bekas istri keturunanny
Wanita bekas istri orang yang menurunkannya

3) Pertalian sesusuan

Wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus keatas
Wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus keatas
Wanita Saudara sesusuan dan kemenakan sususan ke bawah
Wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan keatas
Anak yang disusuhi oleh istinya dan keturunannya

Larangan Perkawinan dalam Waktu tertentu

Pasal 40 KHI, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dan
wanita dalam keadaan:

1. Karena wanita yang bersangkutan masih terkait satu perkawinan dengan pria lain
2. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain
3. Seorang wanita yang tidak beragama Islam

Pasal 41 KHI, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dan wanita dalam keadaan:

1. Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan istrinya
2. Saudara kandung seayah atau seibu serta keturunanya
3. Wanita dengan bibinya atau kemenakannya

Pasal 42 KHI, Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai empat orang istri yang keempatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj'i atapun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang lainnya dalam masa iddah talak raj'i.

Pasal 43 KHI

1. Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria:

a. Dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali;
b. Dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili'an

2. Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur, kalau bekas istri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba'da dukhul dan telah habis masa iddahnya.

Pasal 44 KHI, Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Selain larangan perkawinan dalam waktu tertentu yang disebutkan dalam KHI dimaksud.

PERJANJIAN PERKAWINAN

Perjanjian perkawinan yang dijelaskan oleh pasal 29 Undang-Undang No.1 Tahun 1974, telah diubah atau diterapkan bahwa taklik talak merupakan salah satu perjanjian perkawinan dalam Komplikasi Hukum Islam seperti dijelaskan pada.

Pasal 46 KHI :

1. Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
2. Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jauh. Supaya talak sungguhsungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama.
3. Perjanjian taklik talak bukan perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.

Ayat (3) KHI yang berbunyi "perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan". Bertentangan dengan Pasal 29 ayat (4) UU Nomor Tahun 1974 yang mengungkapkan bahwa selama perkawinan berlangsung, perjanjian tidak dapat diubah kecuali ada persetujuan kedua belah pihak, dan tidak merugikan pihak ketiga. Sebelum pelaksanaan akad nikah Pegawai Pencatat perlu melakukan penelitian mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat oleh kedua calon mempelai, baik secara material maupun isi perjanjian itu.

PERKAWINAN WANITA HAMIL

Perkawinan wanita hamil adalah seorang wanita yang hamil sebelum melangsungkan akad nikah, kemudian dinikahi oleh pria yang menghamilinya. Pasal 53 Komplikasi Hukum Islam mengatur perkawinan:

1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat hamil tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak kandung lahir.

Landasan KHI dalam perkawinan di luar nikah yakni An-Nur ayat 3, yang menerangkan kebolehan perempuan hamil menikah dengan laki-laki yang menghamilinya, sedangkan laki-laki yang tidak menghamili perempuan yang hami diharamkan oleh Allah.

POLIGAMI

Alasan poligami, pada dasarnya seorang pria hanya boeh mempunyai seorang istri. jika suami ingin memiliki lebih satu istri maka pihak yang bersangkutan dan PA telah memberi izin. Dasar pemberian izin poligami oleh PA diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan. Pengadilan agama (PA) memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Jika ketiga alasan tersebut, tidak menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga maka suami diperbolehkan untuk melakukan poligami dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal atau sering disebut sakinah, mawaddah dan rahmah.

KEWAJIBAN SUAMI ISTRI

Perkawinan adalah perbuatan hukum yang mengikat antara seorang pria dan wanita yang mengandung nilai ibadah kepada Allah. Adapun Pasal 33 UU Perkawinan menyatakan bahwa suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin.

Pada pasal 80 KHI, telah dijelaskan tentang kewajiban suami yakini:

1. Suami adalah pembimbing terhadap seorang istri dan rumah tangganya
2. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai kemampuannya
3. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna
4. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:

Nafkah, kiswa dan tempat kediaman bagi istri
biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak
biaya pendidikan bagi anak

Kewajiban Istri

Pasal 83 KHI:

1. Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.
2. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan baiknya.

PUTUSNYA PERKAWINAN

 Putus perkawinan merupakan ikatan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita sudah putus. Perceraian dalam hukum Islam adalah sesuatu perbuatan halal yang mempunyai prinsip dilarang oleh Allah SWT. Oleh karena itu, tata perceraian diatur dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan teknisnya diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975.

Pasal 38 UU Perkawinan, Perkawinan dapat diputus karena: kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan.

Pasal 39 UU Perkawinan,

1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depab Sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri
3. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangundangan tersendiri.

Akibat Putusnya Perkawinan

a) Akibat Talak

Perkawinan yang putus karena suami mentalak istrinya mempunyai akibat hukum berdasarkan Pasal 149 KHI, yakni.

Memberikan mut'ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al-dukhul
Memberi nafkah, makan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada bekas isti selama masa iddah, kecualli bekas istri telah dijatuhi talak ba'in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil
Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila qabla al-dhukul
Memberikan biaya hadlanah untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun.

b) Akibat perceraian (cerai gugat)

Cerai gugat yakni seorang istri menggugat suaminya untuk bercerai melalui pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan mengabukan gugatan dimaksud sehingga putus hubungan penggugat (istri) dengan tergugat (suami) perkawinan.

c) Akibat Khulu'

Yakni suatu perkawinan yang putus karena pihak istri telah memberikan hartanya untuk membebaskan dirinya dari ikatan perkawinan. Khulu' merupakan perceraian yang terjadi dalam bentuk mengurangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk.

d) Akibat Li'an 

Ikatan perkawinan yang putus selama-lamanya. Dengan putus perkawinan dimaksud, anak yang dikandung oleh istri dinasabkan kepadanya akibat li'an. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 162 KHI sebagai berikut: Bilamana li'an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandungnya dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajian memberi nafkah.

e) Akibat Ditinggal Mati Suami

Bila ikatan perkawinan putus sebagai akibat meninggalnya suami, maka istri menjalani massa iddah dan bertanggung jawab terhadap pemeliharaan anak-anaknya serta mendapat bagian harta warisan dari suaminya.


C. HUKUM KEWARISAN ISLAM

Dasar hukum kewarisan Islam di Indonesia adalah Alquran, hadis, perundangundangan, Komplikasi Hukum Islam, pendapat para sahabt Rasulullah, dan pendapat ahli hukum Islam melalui ijtihadnya.

Sebab-sebab adanya hak kewarisan dalam Islam :

1. Hubungan Kekerabatan

Biasanya disebut hubungan nasab ditentukan oleh adanya hhubungan darah yang dapat diketahui adanya kelahiran. Jika seorang anak lahir dari seorang ibu, maka ibu mempunyai hubungan kerabat dengan anak yang dilahirkan.

2. Hubungan Perkawinan

Apabila seorang suami meninggal dan meninggalkan harta warisan dan janda, maka janda itu termasuk ahli warisnya. Demikian pula sebaliknya.

Sebab hilangnya hak kewarisan dalam Islam

1. Perbedaan Agama

Hal ini diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-tarmizi dan Ibn Majah yang telah disebutkan bahwa seorang muslim tidak menerima warisan dari yang bukan muslim dan yang bukan muslim tidak menerima warisan dari seorang muslim.

2. Pembunuhan 

Menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan dari pewaris dibunuhnya, sebagaimana dalam hadis Rasulllah dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dan At-Tirmizi bahwa pembunuhan menggugurkan hak kewarisan bagi ahli waris.

Dilihat dari pelaksanaan hukum kewarisan Islam, ada 3 yakni: kepastian meninggalnya orang yang mempunyai harta, kepastian hidupnya ahli waris ketika pewaris meninggal dunia dan diketahui sebab-sebab status masing-masing ahli waris. 

 Unsur-unsur hukum kewarisan Islam

1. Pewaris adalah orang uang meninggal beragama Islam, meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. Pewaris di dalam Alquran Surah AnNisaa ayat 7,11,12,33 dan 176.
2. Harta Warisan yakni harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta bersama sesudah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah dan pembayaran utang serta wasiat pewaris. Hal ini telah tercantum dalam an-nisaa ayar 7 dengan istilah tarakah atau harta yang ingin ditinggalkan.
3. Ahli waris merupakan orang yang berhak mewaris karena hubungan kekerabatan atau perkawinan dengan pewaris, islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Seperti: anak, ibu bapak, saudara dan ahli waris pengganti.

Asas Hukum Kewarisan Islam

* ijbari: pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetaan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya.
* bilateral: seseorang menerima hak atau bagian warisan dari kedua belah pihak dari kerabat keturunan laki atau perempuan.
* individual: dapat dibagi kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan.
* berimbang: berarti kesimbangan antara hak yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan dalam melaksanakan kewajiban
* kematian: kewarisan ada sebagai akibat dari meninggalnya seseorang. 


D. TRANSAKSI JUAL BELI.

beli (ba'i) adalah transaksi yang dilakukan oleh pihak penjual dengan pihak penjual dengan pihak pembeli terhadap sesuatu barang dengan harga yang disepakatinya. Dasar hukum: Albaqarah ayat 275, An-Nissa' ayat 29 dan Al Furqan ayat 25.

Unsur-unsur jual beli

penjual adalah pemilik harta yang menjual hartanya.
Pembeli, orang yang cakap yang dapat membelanjakan hartanya
Barang jualan merupakan sesuatu yang dapat membelanjakan hartanya (uangnya)
Transaksi jual beli yang terbentuk serah terima. Contoh penjual mengatakan baju ini harganya Rp. 50.000. Kemudian pembeli menyerahkan uang sebagai harga baju.
Persetujuan kedua belah pihak

Bentuk Pilihan dalam jual beli

1. Khiyar majelis merupakan pihak pembeli dan penjual masih berada di tempatnya keduanya berhak menentukan pilihan mengenai jadi dan tidaknya jual beli.
2. Khiyar Syarat adalah pihak pembeli mensyaratkan jangka waktu tertentu mengenai jadi dan tidaknya transaksi jual beli yang kemudian keduanya bersepakat untuk menentukan pilihan sampai batas waktu yang telah ditentukan bersama.
3. Khiyar aibi adalah barang yang dijual terdapat cacat yang mengurangi nilainya. Namun tidak diketahui oleh pembeli tetapi ia setuju dengan barang itu waktu penawaran. 


KESIMPULAN

Hukum perdata Islam semakin berkembang secara dinamis terutama semenjak lahirnya Undang-undang nomor 7 Tahun 1989, disusul Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan beberapa Undang-undang lagi yang searah dengan perkembangan hukum perdata Islam di Indonesia, terutama dalam bidang hukum perkawinan dan bidang hukum kewarisan. Perkembangan-perkembangan tersebut dapat dilihat dari berbagai bahasan wacana dan implementasi yang dilakukan di Indonesia seperti bahasan mengenai anak yang lahir di luar nikah, hukum pencatatan pernikahan, pengaturan poligami, wasiat wajibah, ahli waris pengganti dan sebagainya.

Berdasarkan simpulan tersebut, sudah selayaknya negara selalu mendukung perkembangan hukum Islam atau hukum perdata Islam pada khususnya yang beberapa aspek terpentingnya adalah bidang perkawinan dan kewarisan. Karena penegakkan hukum Islam tidak hanya sebagai kebutuhan bagi umat Islam, tapi lebih dari itu, hukum Islam adalah salah satu kerangka ibadah dan menjalankannya merupakan sebagai wujud kepatuhan dan ketaatan seorang muslim terhadap Tuhannya. Oleh karenanya Undang undang Dasar 1945 telah menjamin setiap rakyat Indonesia untuk menjalankan agamanya, tidak perlu lagi ada phobia terhadap Islam, dan bagi setiap muslim agar selalu mengamalkan Islam secara Kaaffah. 

INSPIRASI

1. Dengan Membaca  buku ini, Kita dapat Memperoleh pengetahuan tentang segala hal dan semua seluk-beluk keberadaan hukum dan segala yang melingkupinya yang begitu luas terutama atau lebih tepatnya untuk memperoleh pengetahuan tentang bagaimana tata cara pembagian harta waris dari pada orang tua kita, karna kadang-kadang orang banyak berpecah belah oleh sebab warisan ini, selanjutnya tentang hukum perkawinan, hukumkeluarga, hukum benda dan lain sebagainya.

2. Buku ini hadir untuk menambah kepustakaan Islam, terutama membantu masyarakat dan mahassiwa dalam mempelajari secara lebih mendalam mengenai hukum perdata Islam di Indonesia yang telah menjadi Undang-undang sebagaimana kaitannya dengan perkawinan, perwakafan, hibah dan bahkan tentang zakat. 

3. Buku ini dapat menjadi bahan rujukan terhadap penyelesaian persoalan-persoalan keperdataan Islam di Indonesia.

4. Analisis yang disajikan dalam buku ini memberikan inspirasi untuk terus memperjuangkan pemberdayaan perempuan dalam sistem hukum, termasuk dalam konteks pernikahan, perceraian, dan hak-hak keluarga lainnya. Dengan memahami hak dan kewajiban suami istri dalam hukum perdata Islam, kita dapat bergerak menuju kesetaraan gender yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

 Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.

Anshary MK. 2013. Hukum Kewarisan dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dahlan, Aisjah. 1969. Membina Rumah Tangga Bahagia, Jakarta: Jamunu

J.N.D. Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, Ab. Machnun Husein, Surabaya: Amar press, 1991, hlm. 16

Abdullah Ahmed an-Naim, Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi

Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, Yogyakarta: LKIS, 1994, hlm. XxI



HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun