QRIS kini semakin dekat dengan kehidupan UMKM di Indonesia. Efisiensi transaksi, stabilitas harga bahan pokok seperti beras, cabai, dan telur, hingga perluasan pasar digital menjadi bukti nyata bagaimana QRIS membantu pelaku usaha bertahan di tengah inflasi pangan. Banyak yang bertanya, apakah QRIS bisa membantu UMKM? Jawabannya ya, bahkan di saat harga-harga kebutuhan pokok sedang naik.
UMKM di Tengah Inflasi Pangan
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. Kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih dari 60% dan menyerap lebih dari 97% tenaga kerja nasional. Namun, kekuatan besar ini juga dibayangi kerentanan, terutama saat inflasi pangan melonjak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan inflasi tahunan Juli 2025 mencapai 2,37% (year-on-year). Inflasi pada kelompok volatile food justru jauh lebih tinggi, yakni 10,33% pada Maret 2024, dipicu kenaikan harga cabai, beras, dan telur. Pedagang nasi rames di Semarang misalnya, harus menghadapi kenaikan harga beras dan telur. Penjual sambal pun ikut terdampak karena harga cabai melambung. Tidak hanya menu berat seperti nasi rames atau sambal, bahkan menu sederhana seperti tempe goreng yang biasa jadi lauk harian ikut naik biaya produksinya. Kenaikan harga bahan pokok membuat harga jual ikut menanjak, sementara konsumen tetap sensitif terhadap perubahan harga.
Situasi ini menekan UMKM, terutama pedagang kuliner tradisional yang sensitif terhadap kenaikan harga. Di tengah tantangan tersebut, QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) menjadi jawaban digital bagi UMKM agar tetap berdiri kokoh di bumi yang terus berhadapan dengan gejolak harga pangan. QRIS bukan hanya soal pembayaran praktis lewat ponsel, melainkan juga menjadi instrumen strategis menjaga stabilitas harga dan efisiensi bisnis UMKM.
QRIS sebagai Solusi Transaksi Digital UMKM
Sejak diluncurkan oleh Bank Indonesia, QRIS tumbuh pesat sebagai sistem pembayaran digital yang menyatukan berbagai aplikasi keuangan dalam satu kode QR standar. Data Bank Indonesia 2025 menunjukkan jumlah pengguna QRIS telah menembus 50,5 juta orang, sementara merchant mencapai 32,7 juta. Target pengguna QRIS diproyeksikan mencapai 58 juta hingga akhir 2025. Menariknya, 93% merchant QRIS berasal dari UMKM. Angka ini menegaskan bahwa mayoritas pengguna QRIS adalah pedagang kecil, penjual pasar, hingga warung kopi pinggir jalan. Semarang sebagai salah satu kota dengan pertumbuhan ekonomi kreatif pesat di Jawa Tengah, menjadi contoh bagaimana adopsi QRIS mengubah wajah UMKM. Banyak pedagang kaki lima kini menempelkan stiker QRIS di gerobak atau meja kasir, memudahkan konsumen melakukan pembayaran non-tunai.
Tidak hanya dari sisi pelaku usaha, perubahan juga terlihat pada perilaku konsumen. Volume transaksi QRIS pada 2024 melonjak 226,54% secara tahunan. Fakta ini membuktikan bahwa masyarakat semakin akrab dengan pembayaran digital. Bagi UMKM, tren ini bukan hanya sekadar gaya hidup modern, melainkan peluang besar memperluas pasar dan menjaga kestabilan usaha.
Ada tiga bukti nyata yang menunjukkan bagaimana QRIS membantu UMKM bertahan di tengah inflasi pangan.
Bukti Pertama: Efisiensi Transaksi untuk UMKM
UMKM selama ini identik dengan transaksi tunai. Namun, sejak hadirnya QRIS, sistem pembayaran jadi lebih praktis. Pelaku usaha tidak perlu repot menyiapkan kembalian, mengurangi risiko uang palsu, dan transaksi tercatat otomatis. Bagi pembeli, cukup scan QR, selesai. Efisiensi ini membuat alur keuangan UMKM lebih sehat. Melalui pencatatan digital, pelaku usaha bisa menghitung biaya produksi dan margin keuntungan lebih akurat. Misalnya, pedagang angkringan di Semarang yang melayani ratusan pembeli per malam dapat menghemat waktu hingga 30 menit per hari hanya karena tidak perlu menghitung uang receh satu per satu.
Bukti Kedua: QRIS dan Stabilitas Harga Pangan Lokal