Beberapa hari yang lalu, saya menerima orderan sketsa Frida Kahlo (ya, seniman nyentrik asal Meksiko itu). Saya memang baru-baru ini memutuskan untuk membuka komisi jasa gambar dan menekuninya sebagai pekerjaan freelance melalui akun Instagram @_narasukmaa.
Sebelumnya, tentu saya memperhatikan referensi yang diminta oleh klien. Sekilas, memang tak ada yang salah. Namun, ketika saya selesai membuat grid dan memulai proses menggambar, saya menyadari satu hal: potret Frida tidaklah simetris. Antara telinga kanan dan kirinya tak sejajar, cuping hidungnya pun tak sama besar.
Dari situ, ingatan atas salah satu alasan saya jatuh cinta pada menggambar melintas.
Satu hal paling esensial dari berkesenian adalah selain menjadi perwujudan rasa dan jiwa, juga 'mengizinkan' kita untuk terlihat dengan cela. Kekurangan kita dapat terpampang tanpa merasa takut diolok dan dihakimi, karena itulah intinya.
Menilik dari sana, mungkin sama halnya dengan Frida (yang terkenal dengan self potrait-nya yang mentah dan berani), seni gambar-menggambar ini adalah sarana saya memeluk ketidaksempurnaan.
Tentu terlihat kusam atau lusuh karena tidak merawat diri adalah soal lain. Maksud saya, ini adalah perihal belajar mencintai diri. Berdamai bahwa kita sudah indah sejak awal. Terlepas dari sawo matang atau kuning langsat, keriting atau lurus, pesek maupun mancung, sipit ataupun belo.
Di kala standarisasi yang beredar menetapkan dan menuntut kulit mulus putih bersih tanpa pori, hidung tertata dan bentuk bibir sedemikian rupa adalah definisi dari 'kecantikan' (atau bisa juga 'ketampanan'), menggambar Frida terasa seperti sebuah kelegaan.
Alisnya dibiarkan menyatu sengaja tak dicukur, kumis tipisnya tumbuh, mata pandanya jelas, wajahnya tak lurus, dan kulitnya eksotis hangat.
Singkatnya, dalam potret itu, menurut saya, Frida terlihat.. hidup.Â