Pendahuluan
Sejak 1 Januari 2014 lalu, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diusungkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) telah resmi berjalan. Kehadiran BPJS tentu memberikan harapan baru bagi masyarakat Indonesia untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Ditambah lagi dengan syarat yang cukup mudah untuk bisa mengikuti program BPJS, masyarakat tentunya akan semakin merasa diuntungkan. Program BPJS ini bersifat dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Artinya, pemerintah seharusnya tidak akan merasa dirugikan dari program BPJS yang tengah berlangsung ini. Namun sekarang yang menjadi pertanyaan ialah setelah berjalan selama kurang lebih tiga tahun ini, apakah program BPJS benar-benar menjamin pelayanan kesehatan bagi masyarakat?apakah program BPJS Â terbukti menguntungkan bagi semua pihak?
Dari Sisi Rumah Sakit
Sesuai dengan UU Nomor 36 Tahun 2009, Rumah Sakit tidak diperbolehkan untuk menolak pasien yang membutuhkan pelayanan gawat darurat dan jika RS tersebut menolak maka akan dikenai sanksi pidana. Oleh karena itulah, Presiden Jokowi menegaskan bahwa seluruh Rumah Sakit, termasuk RS Swasta, yang tidak ingin memberikan pelayanan kepada pasien BPJS akan terkena sanksi seperti pencabutan izin operasional. Bagi Rumah Sakit Pemerintah, hal ini tidak menjadi masalah karena seluruh biaya mulai dari gedung, investasi alat, gaji tenaga medis dan paramedis, hingga biaya-biaya lainnya, ditanggung oleh pemerintah. Sementara bagi Rumah Sakit Swasta, seluruh biaya operasional dan juga investasi seperti misalnya biaya gaji dokter, karyawan, investasi peralatan dan gedung harus ditanggung sendiri.Â
Hal ini tentu menjadi sebuah masalah bagaimana bisa Rumah Sakit Swasta yang menerapkan program BPJS bisa menghasilkan keuntungan. Masalah ini dibuat semakin ricuh dengan adanya kasus dari salah satu RS Swasta di Pekanbaru, yaitu RS Zainab. Pada tahun 2015 kemarin, RS Zainab ini mengalami kerugian sebesar Rp178,2 juta dikarenakan BPJS Kesehatan yang membayarkan klaim dari obat pasien kemoterapi pada periode September 2014-Maret 2015 hanya sebesar Rp766 juta sesuai dengan e-katalog, padahal seharusnya total biaya obat pasien kemoterapi sesuai dengan daftar plafon harga obat (DPHO) sebesar Rp944 juta. Akibat dari kerugian tersebut, pihak dari Rumah Sakit Zainab tidak lagi memberikan pelayanan pengobatan kemoterapi bagi pasien peserta BPJS Kesehatan yang terkena kanker.
Dari beberapa kasus kerugian yang dialami oleh RS Swasta akibat program BPJS, lantas adakah RS Swasta yang berhasil menerapkan sistem BPJS dan tetap mendapat keuntungan?ternyata ada, salah satunya yaitu RS Islam Jakarta Cempaka Putih. Rumah sakit yang menjadi percontohan di Jakarta ini telah menerapkan sistem BPJS sejak awal diberlakukannya BPJS pada 1 Januari 2014. Pihak dari RS Islam Jakarta Cempaka Putih mengatakan memang pada awalnya penerapan BPJS ini sangat rumit karena seluruh sumber daya yang ada menjadi bingung lantaran sosialisasi dari Tim BPJS yang masih kurang. Namun seiring dengan berjalannya waktu, Â RS Islam Jakarta Cempaka Putih telah mulai memperbaiki diri dan menemukan cara agar tetap bisa mendapat keuntungan dari sistem BPJS, yaitu melalui penyelenggaraan kesehatan di kelas I dan IV.
Selain RS di Cempaka Putih tersebut, pihak dari BPJS memberi contoh tambahan Rumah Sakit Swasta yang telah berhasil menerapkan BPJS, yaitu RS Annisa Tangerang dan RS Al Islam Bandung. Kedua rumah sakit ini dinilai sudah berhasil menerapkan BPJS karena telah berhasil mendapatkan keuntungan sebesar Rp 7 miliar sejak awal memberlakukan program ini. Hal yang menjadi alasan utama kedua rumah sakit ini bisa mendapat keuntungan ialah karena kedua rumah sakit tersebut telah berhasil melaksanakan komitmen dalam hal penggunaan peralatan medis dan rujukan untuk penggunaan obat-obatan.
Direktur Utama dari Rumah Sakit Islam Jemursari yang turut menjadi bukti kesuksesan RS Swasta dalam menerapkan sistem BPJS menuturkan bahwa terdapat hal utama untuk bisa mendapat keuntungan melalui program BPJS, yaitu dengan melakukan manajemen pelayanan kesehatan seefisien mungkin. Hal yang perlu di efisienkan muali dari alokasi tenaga kerja, waktu, dan juga kerja alat kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan, seperti misalnya diberikan bahwa dana BPJS sebesar Rp160.000 maka harus dimaksimalkan penggunaannya untuk bisa mencukupi pembayaran dokter, lab, obat, dan juga setor ke rumah sakit. Dengan menerapkan prinsip ini, maka dokter dituntut lebih untuk bisa pintar dan kreatif agar pengobatan dapat berjalan secepat dan seefisien mungkin. Keberhasilan prinsip ini dibuktikan dengan RS Jemursari yang mendapat keuntungan hingga 10 persen. Walaupun sebenarnya keuntungan tersebut tidak sebesar rumah sakit lain yang murni berorientasi bisnis sehingga dapat meraup keuntungan hingga 20 persen, RS Jemursari ini tidak bermasalah karena mereka tetap menjunjung misi kemanusiaan di dalamnya.
Selain masalah mengenai keuntungan bagi RS Swasta yang menerapkan program BPJS Kesehatan, terdapat masalah lain dalam program ini, yaitu ketersediaan obat dan alat kesehatan yang terganggu. Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), Marius Widjajarta, mengungkapkan bahwa kelangkaan obat untuk peserta BPJS Kesehatan menjadi masalah yang sering terjadi, terutama pada Fasilitas Kesehatan tingkat II. Hal ini disebabkan karena semakin melonjaknya pasien BPJS yang berobat ke RS sehingga memicu terjadinya kelangkaan obat. Masalah ini paling sering terjadi pada RS Swasta karena belum memiliki akses dari pembelian obat secara elektronik sehingga pihak RS yang tidak bisa meminta tambahan biaya kepada pasien harus tetap memberikan obat tersebut tetapi dengan harga yang lebih tinggi. Selain itu, menurut Kepala Departemen Manajemen Manfaat dan Kemitraan Fasilitas Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan, Donni Hendrawan, maraknya kasus kelangkaan obat terjadi karena masih banyak obat yang belum disetujui oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
Dari Sisi Pemerintah
Program JKN yang dicanangkan oleh BPJS ini ternyata tak berjalan mulus. Nyatanya, BPJS ini pernah mengalami kerugian sebesar Rp5,85 triliun saat akhir tahun 2015. Hal ini disebabkan terjadi ketidakcocokan antara iuran yang dibayar oleh masyarakat dengan uang klaim yang diberikan oleh BPJS. Menurut Toni Rustian, alasan utama terjadinya ketidakcocokan ini ialah karena banyak masyarakat yang tidak membayar iuran per bulannya, entah karena lupa atau memang tidak ingin. Padahal pihak BPJS sendiri telah mengingatkan bahwa akan ada denda apabila terjadi keterlambatan pembayaran, tetapi masih banyak masyarakat yang tidak patuh. Akibat dari kerugian ini, pemerintah lah yang harus turun tangan. Hal ini sesuai dengan pasal 56 dari UU Nomor 24 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa APBN harus membantu keuangan dari BPJS. Bahkan, pihak dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun dimintai tolong agar dapat turun tangan untuk mengaudit keuangan dari BPJS Kesehatan agar kerugian yang terjadi dapat diminimalisir.
Dari Sisi Masyarakat
Jumlah masyarakat yang tergabung sebagai peserta dari BPJS Kesehatan adalah 174.653.763
(per 1 Maret 2017). Namun hingga saat ini, masih banyak masyarakat yang mengeluhkan mengenai program BPJS Kesehatan, salah satunya yaitu ratusan buruh yang tergabung dalam Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas). Mereka menilai bahwa program BPJS kesehatan sama halnya dengan asuransi komersial. Pasalnya, peraturan yang dikeluarkan oleh Direksi BPJS Kesehatan dinilai menyengsarakan rakyat yang berpenghasilan rendah, seperti misalnya peserta mandiri BPJS yang diwajibkan untuk memasukkan janin dalam kandungan sebagai peserta BPJS dan adanya denda bagi masyarakat yang terlambat membayar iuran. Selain itu, BPJS Kesehatan juga dinilai lengah karena membiarkan banyak pasien BPJS yang meninggal sebelum mendapatkan perawatan dan tindakan medis akibat Rumah Sakit BPJS yang menolak melayani mereka.

Masyarakat, Pemerintah, dan Rumah Sakit
Melihat dari kenyataan yang ada setelah tiga tahun program BPJS ini berlangsung, masih banyak sekali hal yang perlu ditingkatkan agar pelayanan kesehatan melalui program BPJS ini dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya. Namun, perlu diingat bahwa kewajiban untuk memperbaiki sistem BPJS ini bukan hanya berasal dari pemerintah, pihak rumah sakit dan kita sebagai masyarakat Indonesia juga turut memanggul kewajiban untuk bisa berpartisipasi dalam menyukseskan sistem BPJS ini. Kita, Pemerintah, Rumah Sakit, dan pihak BPJS harus saling bekerja sama untuk meningkatkan taraf pelayanan kesehatan di Indonesia demi kesejahteraan bersama.
Sumber :
- Rumah Sakit Swasta Menerima BPJS Rugi? Untung? Apa Buntung?
Ikut BPJS, RS Swasta Justru Rugi - BPJS Rugi Triliunan, BPK Diminta Turun Tangan
- Rochmad Romdoni dan Kisah Sukses BPJS di RS swasta
- Keluhan Peserta BPJS Kesehatan: Obat Sering Langka
- Buruh Merasa Dirugikan BPJS Kesehatan
- Supaya Tak Ditolak, Peserta BPJS Diminta Pahami Soal Rujukan
- BPJS Kesehatan Untungkan Rumah Sakit
- Strategi RS Hadapi BPJSÂ
- Kata Siapa Rumah Sakit Swasta Menerima BPJS Rugi? Untung? Apa Buntung?
- BPJS Kesehatan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI