Mohon tunggu...
Nadya Nadine
Nadya Nadine Mohon Tunggu... Lainnya - Cepernis yang suka psikologi

Lahir di Banyuwangi, besar di ibu kota Jakarta, merambah dunia untuk mencari sesuap nasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Langit pada Setangkup Malam

9 Desember 2019   08:21 Diperbarui: 9 Desember 2019   08:34 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber: liputan6.com ; 26 September 2019)

Keberlanjutan ini mendemamkan. Bukan dia yang tak ingin mengakhiri. Lalu apakah aku yang tak sanggup membuat semua ini berhenti? Tak juga bisa kupercaya. Sungguhkah itu yang terjadi? Tapi kenapa? Karena apa? Bukankah di saat dia bertanya, apakah aku mencintainya? akupun tak bisa menjawabnya. Hanya menatap atap kehidupan. Di saat penuh menyadari malam yang terbentang. Pada bintang-bintangnya yang bertabur namun jelas menampakkan bentangan jarak, itulah kejauhan.

Seperti syair lagu yang melekatkan, mempertemukanku dengannya. Di sebuah keremangan yang memuja kepalsuan. Sungguh aku lebih suka berjujur meski itu akan menyakitimu. Daripada menyesatkanmu dengan kebohongan.

Sekalipun nampak gemerlap dan menghibur, bukankah dusta sesungguhnya memuramkan. Sungguh benar, bahwa siapakah aku yang boleh menghakimimu. Bahkan betul, bahwa waktu telah membuatku mulai menyadari sebenarnya dirimu, keindahanmu yang mengalir tanpa sanggup kuhentikan.

Malam itu, sungguhpun aku sekedar memilihmu di balik bingkai kaca yang bagiku kurang manusiawi. Tempat para ladies karaoke dipajang. Kaca aquarium di mana benderang isi kaca namun kau, si ikan hias yang di dalam tak bisa melihatku di luar, yang memilihmu. Penamaan yang kadang kurasa cukup kejam karena lagi-lagi kurang manusiawi ; CO~cewek orderan, ladies pemandu lagu, hostest, atau purel. Perempuan, bagai ikan hias dalam aquarium raksasa yang khas dunia malam.

Tetapi jika aku boleh jujur bahwa tak sekedar mata mengangguk, tetapi sungguh hatiku seketika teraduk. Dan, tahukah kau bahwa sepanjang penghabisan malam itu hatiku tak berhenti menyadarimu. Sentuhan-sentuhan kita diantara lelagu yang mengalun dan gelas-gelas malam yang beradu dengan rasa kagum. Aku tidak mabuk. Tidak olehmu pun minuman-minuman itu. Tetapi oleh ketiadaan mengerti perasaanku sendiri.

"Kenapa menelpon lagi?" Logismu di seberang sana. "Toh kamu sudah jauh pulang ke Jakarta dan tak jelas kapan mau bertamu ke sini lagi. Kamu juga tidak mau bawa pergi aku saat kamu masih di sini" lanjutmu berasionalisasi.

"Aku kangen" lagi-lagi bingungku menjawabmu. Blingsatan sendiri dengan pesawat handphone begitu menggelayuti.

"Ah kamu ini ngegombalnya nanggung-nanggung. Kamu tampan, berkantong tebal, dan sudah bukan hal baru mendatangi dunia malam. Pengalamanmu banyak dengan perempuan beragam-macam, aku bukanlah yang pertama atau satu-satunya. Dan sudah enam bulan kita berkelanjutan tanpa kejelasan. Kamu mau menyimpanku juga tidak jelas. Ingin sekedar Booking Out juga tak jelas. Lalu sebenarnya apa maumu? Sekedar berteman say hello sih boleh-boleh saja tapi kamu terlalu membingungkan seringnya" beruntun obrolanmu. Ada gemas kutangkap di sana, bahwa aku bertele-tele seperti puisi.

"Hmmm aku mengganggu ya?" Kadang ciut nyaliku.

"Tidak juga sih, karena aku juga suka kau ganggu. Tapi perempuan malam akan sangat bahaya apabila sungguh jatuh cinta. Kamu harus membantuku untuk tidak melakukan hal bodoh itu, haha" tawamu begitu absurd. Sesulitku meraba esok dan esok seterusnya.

"Eh, hmmm, aku,... aku ingin kita ketemu... " Terbata bagai orang bodoh baru bisa merangkai kata. Berbinar barangkali mataku dalam sendiri membayangkan pertemuan denganmu. Jauh-jauh aku dari Jakarta balik ke Banjarmasin tetapi tidak lagi karena urusan pekerjaan.

"Oh kamu sedang ada di sini ya? Kalau begitu nanti malam datang saja booking aku di tempat kerja. Kebetulan tiga hari lagi aku mau pulang kampung ke Jawa, jadi hitung-hitung untuk nambah jam kerjaku agar gajiku nanti lumayan. Aku mau istirahat dulu barang sebulan dari pekerjaan. Tempat hiburan malam di mana-mana sekarang lagi sepi karena banyak orang sudah tak leluasa lagi korupsi. Aparat-aparat, pejabat-pejabat, juga pengusaha-pengusaha sekarang kantongnya pada cekak. Jam-jaman kerja para perempuan malam menurun drastis semua nih.

Tip-tipan juga sudah makin berkurang jumlahnya. Malah beberapa kali aku dapat tamu yang tidak ngetip tapi sudah kadung nyium-nyium genit sampai bibir, mendekap kena dada, bahkan kadang sampai nyaris ngobok-ngobok rok ngelus-ngelus paha ke atasnya. Apa tidak kurang ajar itu namanya?! Shit!" melugasmu menggemaskanku, di samping juga kerap mencemaskan buatku.

"Eh, apa esoknya kamu tak ingin membawaku keluar dari mess untuk BO-an? Besok kan hari minggu waktunya bisa keluar jalan. Aku ingin berduan denganmu karena selama tiga bulan di sini aku belum pernah tertarik untuk sampai nginap dengan tamu karena belum ada yang klik. Ya sudahlah aku tak akan hitung-hitungan denganmu. Terserah kamu saja karena aku memang menyukaimu, meski ini sangat berbahaya." lanjutmu sangat mengalir sekaligus telak menyentil!

***

Kau tahu, begitu rumit rasaku saat kita saling bersentuhan. Serumit langit dengan taburan bintang. Sungguh aku hanya ingin membelimu semalam ataupun sehari. Lalu kita akan saling melupakan seperti seharusnya terjadi. Tetapi kejujuran telah terlalu banyak menyeruak, diantara kita. Sungguhpun engkau dan aku saling ingin mengakhiri atau menjauhi perasaan ini.

Rasanya ingin menutup mata dan menyembunyikan kata-kata di pandanganku ini. Agar kau tak mengetahui dan agar aku tak mengakui. Bahwa aku ingin memelukmu sampai mati. Entah oleh keharuan kasih, atau apapun yang tak ingin kumengerti. Pastilah kita berdua terjatuh menangisi ketidak-mengertian ini. Ya, sungguh benar lagu pilihanmu yang mempertautkan kita dulu di awal-awal kenal. Bahwa aku ingin memelukmu sampai ketakutan dalam diriku reda.

Ada saat-saat sungguh aku ingin melupakanmu. Sebagaimana giatmu menguatkan logikamu. Tetapi semakin kuat kita tepis, semakin teguh ketidak-mengertian diantara kita. Betapa aku memahamimu begitu keras berjuang mendatarkan arti kehadiranku bagimu. Ketidak-berhasilan untuk saling mengakhiri. Betapa gentarnya kita menyadari cinta memerintah diri kita, dan kita coba berlalu.

"Kamu jangan terlalu baik padaku. Sekalipun kau tahu bekerja sebagai perempuan karaoke hanya menemani minum sambil bernyanyi, namun jika mood menjurus, aku juga berkesempatan besar kencan nginap dengan laki-laki manapun. Bisa untuk sekedarnya atau memang seyogyanya aku bercara mencari penghasilan yang lebih besar" kali lain engkau lebih pada memohon pun mengeluhkanku.

"Iya, aku ingin tidak mencintaimu. Tetapi kamu tak akan mengerti seperti apa menjadi lelaki dengan segala konsekuensinya" kembali tak bisa sederhana aku menjabarkannya. Bahwa perasaan sering tak pandang bulu mengacaukan akal sehat pun akal sekarat.

"Kamu juga tidak berniat menyimpanku, merumahkanku tersembunyi seperti gundik-gundik para lelaki mapan beristri. Tidak bisa juga menikahiku. Tidak jelas seperti apa maka jangan kamu mengacaukan keteguhan logikaku sebagai perempuan malam yang harus menjauhi rasa murni akan cinta, sebab itulah yang akan melemahkan perjuangan dan gairah kerja" dia kembali mewanti-wanti. Ada sedih mengalir melingkupiku mendengar kalimat-kalimatnya itu.

"Tolong, aku ingin kau menemuiku di Jakarta. Kapan kamu bisa datang? Akan kusiapkan tiket. Aku ingin bertemu tidak hanya hari ini.." justru kata-kata itu yang meluncur dari mulutku.

***

Sungguh aku ingin menyangkal rasaku. Segala apa yang kurasakan terhadapmu. Bahwa dunia kita berbeda. Kau hanya gadis malam di mana setiap saat karena urusan menservis rekan bisnis aku akan terlibat denganmu atau engkau-engkau yang lain. Diantara musik di ruangan karaoke dan pub. Diantara gelas-gelas minuman yang memabukkan. Kita berpelukan, berdekapan, bahkan berciuman panjang. Tetapi cukuplah di setangkup malam.

Gairah ataupun keromantisan biarlah hanya kepalsuan diantara kita, sebab itulah yang seharusnya. Lalu kita bisa melanjutkan untuk menandaskan malam. Menjemput pagi pada keesokan. Membebaskanku menggumulimu dengan nafsu, jangan sampai ada cinta yang sungguh. Meninggalkan pagutan-pagutan merah di sekujur tubuhmu sebagai tanda kebuasan. Dan kau menerima kompensasi dan tip di esok hari setelah kita berendam dan sarapan. Setelah itu kita tak lagi saling mengenal dalam bentuk perasaan. Biarlah mendatar kembali di keremangan ingatan.

Jadi, jangan ada kata tanya, apakah aku mencintaimu? Tidak baik untuk keteguhanmu, juga akan mengganggu ketegakanku. Kejujuran sangat jauh letaknya dari tempat kita berpijak saat kita sedang hanya berdua. Bahwa engkau gadis malam yang terbiasa dalam hingar-bingar dan keremangan. Juga gelas-gelas atau sloki-sloki yang akan membawamu terbang dan menerbangkan sesiapapun orang. Aku, atau aku-aku lainnya. Aku, dan sesiapapun mereka bagimu, untukmu hanya mendulang rupiah.

'Tetapi, bukankah hidup tak langsung hadir sebagai hanya pilihan. Bukankah belum tentu menjadi perempuan malam adalah murni pilihanmu?! Orangtuamu lelaki telah lama mati, sedangkan ibumu sakit-sakitan, stroke yang melumpuhkan. Masih ada tiga orang adikmu yang masih kecil-kecil.

Kanak-kanak yang butuh penghidupan demi tetap melangkah meski pada ketidak-pastian masa depan. Bahwa memikirkan salah, dosa, dan tuhan, telah terserak tak lagi bisa tegak didefinisikan. Adil tidaknya hidup ini akan selalu menjadi pertanyaan jika memikirkan ketiga hal itu menautkan renik cerita kehidupan. Kau hanya butuh menanggulangi hidupmu dan melipat segala hal penuh basa-basi itu. Survive, bahwa hidup harus realistis.

Cintakah? Keharuankah? Bahwa kasih sering datang mengetuk bersama kesedihan yang tak sadar turut terteguk. Tetapi menjadi lelaki tak sesederhana melangkahkan kaki, apalagi malam dalam sangat gulita. Dan perasaan tak tertebak tak juga beranjak dari hadirnya yang perlahan ataukah tiba-tiba.

Kadang-kadang, ingin kuteriakkan, bahwa aku ingin memelukmu sampai mati. Ingin memelukmu sampai ketakutan dalam diriku berhenti. Ketakutan untuk memiliki. Sebab, memiliki sering pada akhirnya akan mengunduhkan rasa kehilangan suatu saat. Dan aku tak ingin membuatmu sedih. Sebab kutahu kuatmu hanyalah bungkus gemerlap tebalnya kerapuhan.

Jika karenaku engkau yang di awal kukenal ceria menjadi berurai airmata, maka lebih baik aku tak pernah mengenalmu, rasanya lebih baik begitu. Sekalipun kau berkali-kali bilang bahwa menangis sedih telah menjadi hal biasa dan bisa kau selesaikan dengan mabuk segala-macam minuman, tetapi kesedihan itu tentulah membenamkanku di lautan penyesalan. Kasih ataukah cinta, telah begitu sangat merumitkanku.

Ketidak-mengertian rasa ini. Bagai menatap langit pada setangkup malam berbintang. Bahwa aku tak bisa mendefinisikan pemandangan. Hanya hitam hanya gelap dilekati bintang-bintang, malam yang membentang dalam setangkup waktu. Apakah rindu bagiku terhadapmu? Sebegitu penuh namun tak bisa kuukurkan kuat, sok tangguh ataukah rapuh?

Dan langit semakin absurd. Langit pada setangkup malam, dalam inginnya aku memelukmu tak lagi ingin kulepaskan.

You ask me if I love you
And I choke on my reply
I'd radher hurt you honesty
Than mislead you with a lie
And who am I to judge you
On what you say or do
I'm only just begining to see the real you
..........
And sometimes when we touch
The honesty too much
And I have to close my eyes and hide
I wanna hold you til I die
Till we both break down and cry
I wanna hold you till the fear in me subsides...

                                     ***

Banjarmasin, 30 Juli 2013, Nadya Nadine.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun