Mohon tunggu...
Nadya Putri
Nadya Putri Mohon Tunggu... Freelancer

Nadz si random people yang selalu ingin belajar hal baru dan memperbaiki diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Guzela

2 Oktober 2024   08:46 Diperbarui: 2 Oktober 2024   08:48 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Guzela, sumber: Pixabay)

Saya ingat pertama kali saya melihat Guzela. Saat itu suatu sore di bulan Mei, ketika matahari menyinari jalanan dengan panas menyesakkan yang hanya dirasakan di pusat kota Culiacan. Saya sedang berjalan dengan pikiran teralihkan, memikirkan tentang rutinitas yang biasa, ketika saya melihatnya menyeberang jalan. Waktu seolah berhenti. Tidak ada suara, tidak ada mobil, tidak ada orang. Hanya dia. Seorang wanita jangkung, dengan kulit putih, bermata gelap dan rambut hitam bersinar di bawah sinar matahari. Matanya, yang gelap seperti malam, menangkapku sejak saat pertama.

Saya tidak berani berbicara dengannya hari itu. Beberapa minggu berlalu sebelum takdir memberiku kesempatan lagi.

Suatu sore, di pasar, saya mendengar suaranya. Saya sedang berdebat dengan seorang wanita tentang harga beberapa tomat. Aku mendekat, tanpa berpikir terlalu banyak, dan ketika dia melihatku, dia tersenyum padaku.

-Bagaimana menurutmu? ---dia bertanya padaku dengan geli.

---Aku bilang turunkan sedikit? ---Aku menjawab, dan mereka berdua tertawa.

Itu adalah kali pertama kami mengobrol. Kami bertemu beberapa kali lagi, dan setiap pertemuan merupakan percikan yang menyulut sesuatu di dada saya. Cinta tumbuh sedemikian alami sehingga saya hampir tidak menyadarinya. Dia hanya tahu bahwa saat dia bersamanya, dunia tampak lebih cerah. Kasih sayang di antara kami terasa begitu nyata, seakan-akan hati kami berbicara satu sama lain tanpa memerlukan kata-kata.

Seiring berjalannya waktu, percakapan kami menjadi lebih intim. Dia bercerita tentang masa kecilnya, impian dan ketakutannya. Tapi selalu ada sesuatu yang tidak dia katakan. Bagian dari dirinya yang tetap tersembunyi, seperti bayangan yang mengikutinya kemanapun.

Baca juga: Bagian yang Hilang

---Pernahkah kamu merasa hidupmu sudah tertulis? ---dia bertanya padaku suatu malam ketika kami sedang berbaring di pantai, memandangi bintang-bintang.

Baca juga: Skenario Cinta

-Apa maksudmu? ---Aku bertanya padanya, penasaran.

---Bahwa, apapun yang kamu lakukan, ada sesuatu yang lebih besar yang telah menentukan takdirmu.

"Aku tidak percaya itu," jawabku sambil meraih tangannya. Kita menentukan nasib kita sendiri.

Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi aku merasakan kesedihan di matanya yang tidak bisa diuraikan saat itu.

Bulan-bulan berikutnya adalah bulan-bulan paling membahagiakan dalam hidupku. Canda tawa, jalan-jalan di sepanjang trotoar... Seolah-olah alam semesta menyediakan satu sudut hanya untuk kami berdua. Keinginan itu tumbuh, dan seiring dengan itu, gairah. Guzela  punya cara untuk membuat segala sesuatu di sekitarnya terasa lebih intens, lebih hidup. Saya sangat mencintainya, dan saya pikir cinta itu akan bertahan selamanya.

Namun suatu sore, semuanya berubah.

Kami berada di rumahnya, menyiapkan makan malam. Saya memotong sayuran saat dia memainkan musik. Tiba-tiba, dia berhenti, seolah dia teringat sesuatu.

"Aku perlu bicara denganmu," katanya, suaranya sangat pelan hingga aku nyaris tidak mendengarnya.

Aku menoleh ke arahnya, merasakan perutku terasa mual.

-Apa yang terjadi?

-Aku harus pergi.

Saya memandangnya dengan bingung, mengira yang dia maksud adalah sesuatu yang sepele.

-Pergi kemana? ---Aku bertanya.

Dia menunduk, seolah berjuang dengan dirinya sendiri untuk menemukan kata-kata.

---Aku tidak bisa tinggal di sini. Aku tidak bisa melanjutkan bersamamu.

Aku merasakan udara keluar dari dadaku. Apa yang dia katakan?

-Tapi kenapa? Apa yang terjadi?

Pada saat itulah dia mengatakan yang sebenarnya kepadaku.

Guzela bukanlah orang biasa. Dia dilahirkan dalam keluarga dengan warisan kuno, garis keturunan yang membawa kutukan. Dia menjelaskan kepada saya bahwa, selama beberapa generasi, keluarganya telah dikaitkan dengan kekuatan supernatural, semacam perjanjian yang tidak pernah bisa mereka langgar. Ia sudah mencoba, ia sempat melarikan diri, mencari kehidupan normal, jauh dari semua itu. Namun kutukan itu kembali menyerangnya.

"Setiap kali aku jatuh cinta," katanya padaku sambil berlinang air mata, "sesuatu yang buruk terjadi pada orang yang kucintai." Itu seperti kutukan yang menghancurkan semua yang kusentuh. Nenek saya menjalaninya, ibu saya juga. Kita semua berakhir sendirian, karena jika tidak... orang yang kita cintai akan mati.

Saya tidak tahu harus berkata apa. Dunia seakan-akan terbalik. Saya tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Sebuah kutukan? Sepertinya sesuatu yang keluar dari cerita horor. Tapi wajahnya, rasa sakitnya, memberitahuku bahwa dia serius.

---Tapi... kita bisa mematahkannya. "Bersama," kataku, berpegang teguh pada harapan yang putus asa.

Dia menggelengkan kepalanya, dengan kesedihan yang menghancurkan hatiku.

---Aku sudah mencobanya. Nenek saya mencobanya. Itu tidak bisa dilakukan. Aku tidak ingin hal buruk terjadi padamu. Jika aku tetap bersamamu, aku akan kehilanganmu. Dan saya tidak tahan.

Saya bertarung. Saya memintanya untuk tetap tinggal, agar kami menemukan solusi. Namun, pada akhirnya, Guzela ini tidak bisa dipatahkan. Dia menciumku untuk terakhir kalinya, dengan air mata berlinang, dan pergi.

Kekosongan yang ditinggalkannya sangatlah besar. Bukan saja aku kehilangan wanita yang kucintai, tapi aku juga merasakan ada sesuatu di luar sana, sesuatu yang tak bisa kukendalikan. Butuh waktu berbulan-bulan sebelum saya bisa mulai memproses semuanya.

Dan suatu hari, saya menerima surat darinya. Itu hanya memiliki satu kalimat:

"Cinta sejati mampu mengorbankan segalanya demi melindungi orang yang paling dicintainya."

Pada saat itu, saya mengerti. Guzela tidak pergi karena dia tidak mencintaiku. Dia pergi karena dia terlalu mencintaiku. Dia telah mengorbankan kebahagiaannya sendiri untuk melindungiku, untuk mencegah kutukan menimpaku. Dan meski kepergiannya membuatku patah hati, pada akhirnya pengorbanannya menjadi bukti terbesar cintanya.

Sejak itu, setiap kali saya melewati tempat kami bersama, saya tidak merasakan kesedihan. Saya merasa bersyukur. Syukur karena telah mengenal cinta yang begitu dalam, begitu murni, sehingga mampu melampaui bahkan hal yang tak bisa dijelaskan.

Bisakah kamu mengorbankan orang yang kamu cintai untuk melindunginya dari sesuatu yang buruk?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun