Sering kali kita mendengar ungkapan, “Kalau mau merokok, lakukan saja di depan. Jangan sembunyi-sembunyi.” Ucapan ini sekilas terdengar bijak: menekankan kejujuran daripada kepura-puraan. Namun, apakah benar sesuatu yang salah bisa diterima hanya karena dilakukan terang-terangan?
Kebiasaan merokok, entah dengan rokok biasa atau vape, adalah kebiasaan yang jelas membawa risiko kesehatan. Tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi orang-orang di sekitar yang terpapar asapnya. Agama, etika, hingga ilmu kesehatan sama-sama menegaskan bahwa merokok bukan pilihan yang baik. Lantas, apa jadinya bila seorang anak mendengar ucapan bahwa merokok boleh saja, asal tidak sembunyi-sembunyi?
Inilah titik di mana pesan moral menjadi kabur. Anak bisa salah menangkap bahwa keterbukaan mampu menghapus kesalahan. Padahal, jujur itu penting, tetapi jujur dalam kesalahan tidak otomatis membuat kesalahan itu menjadi benar. Kejujuran seharusnya berdiri sejajar dengan keberanian memilih yang baik, bukan dijadikan alasan untuk menoleransi hal yang merugikan.
Kita juga tidak bisa melupakan peran teladan. Anak-anak cenderung meniru apa yang mereka lihat lebih daripada apa yang mereka dengar. Jika ada orang dewasa yang merokok, apalagi dengan izin tersirat dari figur yang disegani, anak akan menganggap itu bagian dari budaya keluarga. Tanpa sadar, sebuah kebiasaan buruk diturunkan lintas generasi. Jangan sampai demi menghindari sembunyi-sembunyi, kita justru menormalisasi yang keliru.
Karena itu, konsistensi menjadi kunci. Merokok tetap harus ditolak, sekaligus tetap mengajarkan anak untuk berani jujur. Lebih dari sekadar kebiasaan kecil, logika keliru seperti ini bisa berdampak pada keputusan besar di masa depan. Anak yang belajar bahwa “asal jujur tidak apa-apa” bisa saja meniru pola itu dalam hubungan pribadi, termasuk perselingkuhan atau perilaku yang melanggar etika.
Jadi penting bagi pendidikan moral untuk menegaskan batas antara kejujuran dan kebenaran moral: berani jujur tidak berarti membenarkan yang salah. Caranya bisa dengan mengatakan, “Aku senang kamu berani jujur, tapi merokok tetap salah dan berbahaya.” Pesan semacam ini membantu anak belajar membedakan antara kejujuran dan kebenaran moral.
Pada akhirnya, pendidikan bukan hanya soal aturan, melainkan juga soal keteladanan. Jangan sampai demi menekankan kejujuran, kita justru mengaburkan batas antara benar dan salah. Karena yang terpenting bukan sekadar “berani di depan”, melainkan berani memilih yang benar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI