Mohon tunggu...
Nadira Fajarini
Nadira Fajarini Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Hubungan internasional

Paradigma liberalisme

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kerjasama Indonesia–Malaysia dalam Keamanan Maritim di Selat Malaka Dilihat dari Paradigma Liberalisme

14 Maret 2020   08:34 Diperbarui: 10 April 2020   21:28 888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perubahan situasi dewasa ini menjadikan masalah keamanan non-tradisional tidak lagi dapat diatasi oleh negara-negara di dunia secara unilateral. Oleh karena itu, negara perlu bekerja sama dan saling ketergantungan satu sama lain.  Isu keamanan nontradisional yang bersifat transnasional seperti isu mengenai perdagangan manusia, terorisme serta penjualan narkoba seringkali mengeksploitasi wilayah maritim. Sedangkan eran domain maritim ini sangatlah vital karena sekitar 80% perdagangan dunia melewati laut, termasuk wilayah laut di Asia Tenggara.

Salah satu perairan di Asia Tenggara yang cukup penting dan srategis bagi perdagangan dunia adalah Selat Malaka. Selat inilah yang menghubungkan wilayah Asia dengan Eropa dan Timur Tengah. Selat Malaka adalah salah satu checkpoint maritim dunia yang berbahaya dan menjadi tujuan kejahatan transnasional. Selat Malaka berada di antara negara-negara pesisir dari Indonesia, Malaysia dan Singapura di utara pulau Sumatera Indonesia dan selatan Malaysia yang terletak 600 mil panjang dan merupakan koridor utama dari bagian antara Samudera Hindia dan Laut China Selatan. Dengan panjang sekitar 800 km, lebar 50 hingga 320 km, dan kedalaman minimal 32 meter, Selat Malaka merupakan selat terpanjang di dunia yang digunakan sebagai jalur pelayaran internasional. Perkiraan saat ini menunjukkan bahwa 150-500 kapal berupa kapal barang besar dan kapal tanker, tidak termasuk lalu lintas lokal yang  melewati Selat Malaka per hari, atau kurang lebih 50.000 kapal per tahun. (Adam, 2007)

Selat Malaka menjadi salah satu kawasan perairan di Asia Tenggara yang paling rawan terjadinya pembajakan dan perompakan laut. Loyd’s Market Association Joint War Committee memasukkan Selat Malaka ke dalam 21 daftar kawasan yang dianggap berisiko tinggi untuk kapal dagang dan rentan terhadap perang, penyerangan, terorisme dan bahaya lainnya.

Sebagai contoh, pada tahun 2000 terjadi 75 insiden atau 16 persen dari total serangan bajak laut di dunia. Pada tahun yang sama, 25 persen dari serangan bajak laut dan perompak terjadi di perairan Indonesia. (International Chamber of Commerce, 2000).

Atas urgensi dari selat malaka ini, kerjasama dilakukan oleh Indonesia dengan beberapa negara yang ada di sekitar wilayah Selat Malaka, salah satunya Malaysia. Kerjasama keamanan antara Indonesia dan Malaysia dimulai pada tahun 1972 melalui pembentukan General Border Committee (GBC) dan High Level Committee (HLC).

Kedua forum ini merupakan wadah bagi kedua negara untuk melakukan koordinasi dan kebijakan lintas-sektoral bilateral yang dilaksanakan fungsi teknis dengan melibatkan berbagai unsur antara lain Angkatan Bersenjata, Kepolisian, Kemendagri, Kemenlu dan kementerian terkait dari kedua negara. Sehingga masalah perbatasan yang dapat ditangani tak hanya mencakup masalah keamanan tradisional seperti yang ditangani oleh HLC tapi juga masalah-masalah kesejahteraan sosial yang akan dikoordinasi oleh GBC. GBC Malindo meliputi bidang operasi dan non operasi yang dilakukan oleh instansi-instansi di bawahnya yaitu Coordinated Operations Control Committee (COCC), Jawatan Kuasa Latihan Bersama (JKLB), Joint Police Cooperation Committee (JPCC) dan Kumpulan Kerja Sosio-Ekonomi (Sosek Malindo). Perihal keamanan Selat Malaka, negara pesisir membangun mekanisme kerja sama keamanan multilateral untuk menangani masalah bajak laut dengan menyepakati patroli terkoordinasi Malacca Sea Patrol (MSP) atau Patroli Terkoodinasi Malaysia, Singapura Indonesia (MALSINDO) pada 2004.

Dampak terkait patroli maritim ini tergolong cukup berhasil. International Chamber of Commerce (ICC) melaporkan bahwa jumlah serangan telah menurun karena peningkatan patroli negara pesisir sejak Juli 2005. Pada tahun 2005 aksi pembajakan dan perompakan laut tercatat 12 kasus, kemudian pada tahun 2006 menurun menjadi 11 kasus, tahun 2007 sebanyak tujuh kasus, tahun 2008, 2009 dan 2010 juga menurun menjadi dua kasus. Namun, faktor yang menjadi penyebab dibalik keberhasilan Patroli Koordinasi tiga negara pantai tersebut belum banyak dikaji dalam kajian-kajian terdahulu mengenai keamanan maritim di Selat Malaka.

Bagian tentang rezim patroli terkoordinasi di Selat Malaka ini dijabarkan menjadi dua bagian. Bagian pertama membahas prinsip dan norma ketiga negara dengan adanya ASEAN Way dan norma subsidiaritas. Sedangkan bagian kedua membahas aturan main yang disepakati ketiga negara dengan adanya Standart Operational Procedure, Term Of Referrence Joint Cordinating Commite, Malacca Security Initiatives Concept, Batam Statement, Jakarta Statement, Kuala Lumpur Statement, Singapore Statement, mekanisme kooperatif (Cooperative Mechanism).

Dalam norma subsidiaritas, aktor yang lemah membuat aturan untuk mengatur hubungan di antara mereka sendiri dengan tujuan mempertahankan otonomi dari dominasi, pelanggaran atau penyalahgunaan oleh kelompok yang lebih kuat. Sebagai contoh, kerja sama Malaysia, Singapura, Indonesia (MALSINDO), Malacca Strait Patrol dan Cooperative Mechanism sebagai pengaturan anti-pembajakan di Asia Tenggara tersebut merupakan contoh norma subsidiaritas dalam tindakan negara-negara regional yang bergerak sebagai respon terhadap upaya negara-negara ekstra-regional untuk mengatur pembajakan di Selat Malaka. Upaya ekstra-regional yang paling mengganggu adalah proposal Regional Maritime Security Initiative (RMSI) dari Amerika Serikat.

Indonesia dan Malaysia juga membuat TOR JCC.  TOR JCC mengatur kerja sama ketiga negara pesisir dalam melakukan tindakan operasi pengamanan di Selat Malaka termasuk tukarmenukar informasi initelijen. TOR JCC ini juga menjadi payung hukum bagi pelaksanaan patroli terkoordinasi di Selat Malaka. Joint Coordinating Committee (JCC) menjadi komite yang akan mengawasi patroli udara dan laut dari Selat Malaka. Selain itu JCC akan menjadi saluran komunikasi, pertukaran intelijen, dan koordinasi untuk semua tindakan pengamanan operasional yang berkaitan dengan Selat Malaka. (Tammy, 2005) Kerjasama yang dilakukan oleh negara negara yang berbatasan langsung dengan selat malaka dapat kita analisis melalui paradigma liberalisme dalam hubungan internasional. Liberalisme merupakan perspektif yang memandang optimis atas sifat dasar manusia.

Kaum liberal selalu menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian dunia yang dapat diwujudkan melalui collective security dan kerjasama saling menguntungkan antar negara. Perspektif liberalisme menganggap politik domestik maupun politik internasional sama penting mengingat keduanya dapat mempengaruhi sistem internasional. Dan perspektif liberalisme berpendapat bahwa aktor negara bukanlah satu-satunya aktor yang berperan dalam hubungan internasional, melainkan juga terdapat aktor non-state yang turut berperan penting di dalamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun