Mohon tunggu...
Nadila rahmi
Nadila rahmi Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Administrasi Rumah Sakit Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

hi! saya seorang dokter gigi dari nusantara sehat program kemenkes sekarang bertugas di Sumatera Utara. Sedang menempuh pendidikan Magister di salah satu Universitas yang ada di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Urgensi dan Manfaat Membangun Layanan Gizi Halal dalam Sistem Kesehatan Nasional

14 Mei 2025   12:10 Diperbarui: 14 Mei 2025   13:12 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Layanan gizi yang halal merupakan bagian tak terpisahkan dari pelayanan kesehatan yang berorientasi pada kebutuhan pasien Muslim, terutama di negara dengan mayoritas penduduk Muslim seperti Indonesia. Layanan ini bukan hanya persoalan keagamaan, tetapi juga terkait dengan keamanan pangan, kepercayaan publik, dan pemenuhan hak konsumen (Hanafiah, 2022).

Menurut State of the Global Islamic Economy Report 2022, pengeluaran konsumen Muslim global untuk makanan halal mencapai lebih dari USD 1,3 triliun dan diproyeksikan meningkat signifikan hingga tahun 2025 (Thomson Reuters, 2022). Angka tersebut mencerminkan peluang besar bagi penyedia layanan kesehatan untuk menyesuaikan sistem layanannya dengan kebutuhan spiritual dan normatif umat Muslim.

Di Indonesia, wacana integrasi sistem halal dalam layanan kesehatan mulai mengemuka seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Regulasi ini menekankan kewajiban sertifikasi halal bagi setiap produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia, termasuk produk makanan dan minuman yang disediakan di rumah sakit, panti rehabilitasi, dan lembaga layanan publik. Dengan demikian, layanan gizi halal tidak lagi sekadar preferensi, tetapi menjadi bagian dari kepatuhan institusional terhadap hukum positif yang berlaku.

Selain aspek yuridis dan teologis, terdapat pula dimensi sosiologis yang mendorong urgensi pembangunan layanan gizi halal. Pasien Muslim yang sedang menjalani rawat inap atau pemulihan sering kali bergantung sepenuhnya pada penyediaan makanan dari pihak rumah sakit. Ketidakjelasan informasi mengenai status kehalalan makanan yang disediakan dapat menimbulkan kegelisahan dan bahkan penolakan konsumsi, yang berdampak negatif terhadap status nutrisi pasien. Menurut penelitian oleh Zainuddin dan Marzuki (2021), terdapat korelasi positif antara keyakinan spiritual terhadap kehalalan makanan dengan kepatuhan diet dan percepatan pemulihan pasien.

Di sisi lain, kualitas layanan gizi halal juga berimplikasi pada upaya perlindungan konsumen. Makanan halal bukan hanya bebas dari unsur haram seperti daging babi atau alkohol, tetapi juga menuntut prinsip thayyib, yaitu baik dari sisi kebersihan, keamanan, dan proses produksi. Oleh karena itu, implementasi layanan gizi halal secara otomatis mendorong terciptanya standar mutu pangan yang lebih tinggi dan sesuai dengan prinsip food safety global (Latif et al., 2020). Hal ini juga mendukung pencegahan penyakit akibat makanan (foodborne diseases) yang menjadi salah satu tantangan kesehatan masyarakat di Indonesia.

Kebutuhan akan layanan gizi halal juga diperkuat oleh dinamika global, di mana konsep halal telah berkembang dari semata-mata isu religius menjadi bagian dari gaya hidup sehat (halal lifestyle). Dalam perspektif ekonomi, perkembangan industri halal – termasuk subsektor makanan dan layanan gizi – mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional serta penciptaan lapangan kerja baru di sektor industri makanan, distribusi logistik, audit halal, dan layanan kesehatan (Adinugraha et al., 2022). Lembaga kesehatan yang mampu menyediakan layanan gizi halal secara profesional tidak hanya memenuhi aspek religius dan legal, tetapi juga berperan aktif dalam pembangunan ekonomi berbasis nilai.

Namun demikian, penerapan layanan gizi halal belum sepenuhnya merata di seluruh Indonesia. Beberapa rumah sakit swasta maupun pemerintah masih menghadapi kendala dalam hal pengadaan bahan baku halal, pelatihan tenaga ahli gizi halal, serta proses sertifikasi yang membutuhkan biaya dan waktu. Menurut Hasibuan (2023), kurang dari 30% rumah sakit di Indonesia telah memiliki sistem manajemen gizi yang menjamin kehalalan dan ke-thayyiban secara komprehensif. Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan antara regulasi dan realisasi di lapangan, yang harus segera diatasi melalui intervensi kebijakan publik, kemitraan strategis, serta peningkatan kapasitas SDM.

Oleh karena itu, urgensi pembangunan layanan gizi halal tidak dapat dipandang sebagai agenda sektoral semata, melainkan sebagai bagian integral dari upaya menciptakan sistem layanan kesehatan yang inklusif, adil, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Dengan pendekatan lintas sektor dan berbasis bukti, sistem gizi halal dapat berkontribusi secara signifikan terhadap perbaikan mutu pelayanan kesehatan nasional dan pemenuhan hak asasi pasien atas makanan yang sesuai dengan keyakinan agama dan standar kesehatan yang tinggi

Urgensi Membangun Layanan Gizi Halal

1. Kepatuhan terhadap Prinsip Syariah

Pasal 4 dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menegaskan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Indonesia wajib bersertifikat halal. Hal ini mencakup makanan yang disajikan di rumah sakit dan lembaga layanan publik lainnya (UU No. 33 Tahun 2014).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun