Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh Pada pertemuan kedua mata kuliah Pendidikan Pancasila, mahasiswa diberikan tugas untuk membuat resume sekaligus memberikan tanggapan atas artikel yang ditulis oleh Bapak Study Rizal di Kompasiana. Artikel tersebut membahas reshuffle perdana Kabinet Merah Putih di era Presiden Prabowo Subianto, yang kemudian menjadi bahan refleksi penting dalam melihat arah politik nasional serta dampaknya terhadap prinsip demokrasi dan tata kelola pemerintahan.
*Kabinet Baru, Harapan Lama: Apakah Reshuffle Bisa Menjawab Kekecewaan Publik?* https://www.kompasiana.com/studyrizallk6810/68bef9b1c925c424852a1f02/kabinet-baru-harapan-lama-apakah-reshuffle-bisa-menjawab-kekecewaan-publik?utm_source=Whatsapp&utm_medium=Refferal&utm_campaign=Sharing_Desktop
Artikel ini membahas reshuffle pertama Kabinet Merah Putih di bawah Presiden Prabowo Subianto yang memunculkan tafsir ganda. Di satu sisi, reshuffle dipandang sebagai upaya penyegaran dan bentuk respons terhadap suara publik, tetapi di sisi lain menimbulkan keraguan apakah benar membawa perubahan atau sekadar rotasi politik. Dari perspektif komunikasi kritis, reshuffle dipahami sebagai pesan politik penuh simbol, bukan peristiwa administratif semata. Pergantian Sri Mulyani dengan Purbaya Yudhi Sadewa, misalnya, menimbulkan kontroversi antara strategi pembangunan atau kompromi politik yang merusak kredibilitas fiskal, terbukti dengan reaksi negatif pasar. Masuknya sejumlah tokoh politik dianggap publik sebagai bagi-bagi kursi, sementara kekosongan di beberapa pos strategis memperlihatkan masih adanya ruang negosiasi kekuasaan. Meski begitu, reshuffle tetap menghadirkan secercah harapan, meskipun tipis jaraknya dengan kekecewaan. Artikel menutup dengan refleksi bahwa reshuffle hanya akan bermakna bila dijalankan sebagai dialog dengan rakyat, bukan sekadar monolog kekuasaan.
Tanggapan saya dari pembahasan Reshuffle yang dilakukan Presiden Prabowo justru menegaskan bahwa politik sering kali lebih sibuk mengurus simbol daripada substansi. Alih-alih memberi arah baru, pergantian menteri tertentu terlihat sebagai kalkulasi politik yang mengorbankan kredibilitas kebijakan. Dampak nyata sudah terlihat dari respon pasar yang negatif, sebuah tanda bahwa legitimasi tidak bisa dibangun hanya lewat retorika. Publik tentu masih menyimpan harapan, tetapi terlalu sering mereka dijadikan penonton dari drama kekuasaan yang penuh negosiasi kursi. Jika reshuffle hanya dimaknai sebagai ritual politik tanpa transparansi dan akuntabilitas, maka hasilnya tidak akan lebih dari sekadar rotasi elit. Yang dibutuhkan rakyat bukan janji ataupun seremonial pelantikan, melainkan bukti nyata bahwa pemerintah mampu menjawab kebutuhan dasar masyarakat dengan kinerja yang konsisten. Tanpa itu, reshuffle hanyalah wajah baru dari harapan lama yang berakhir dengan kekecewaan.
Demikianlah tanggapan yang dapat saya sampaikan. Semoga tulisan ini bermanfaat serta membuka ruang diskusi kritis yang konstruktif bagi kita semua.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI