Mohon tunggu...
Nadia Shabihah
Nadia Shabihah Mohon Tunggu... Marketer

Masih dalam proses belajar menulis yang baik, sambil melatih perspektif dan berbagi pandangan sederhana tentang banyak hal di sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Belajar dari Kegagalan: Apakah Food Estate Merauke akan Mengulang Sejarah Kelamnya?

16 Agustus 2025   20:30 Diperbarui: 16 Agustus 2025   20:13 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemerintah Indonesia memiliki misi ambisius untuk mewujudkan kemandirian pangan nasional melalui proyek Food Estate, membangun lumbung pangan skala luas yang dikelola secara modern. Saat ini, pemerintah merencanakan proyek PSN Merauke seluas lebih dari 2 juta hektare pada Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP) yang akan dimanfaatkan untuk proyek cetak sawah baru seluas satu juta hektar dan perkebunan tanaman tebu dan bioetanol.

Namun, di balik misi ambisius tersebut,  terdapat catatan sejarah mengenai kegagalan proyek Food Estate serupa, seperti Merauke Integrated Food dan Energy Estate (MIFEE) dan Food Estate di Kalimantan Tengah yang berujung gagal dan tidak kunjung menunjukkan hasil yang berkelanjutan. Melihat hal ini, pertanyaan pun muncul: apakah proyek food estate di Merauke akan memberikan hasil sesuai yang diinginkan atau hanya akan menjadi pengulangan kegagalan sebelumnya?

Pada tahun 2021, Menelan Hutan Indonesia membuat sebuah catatan sejarah kegagalan program food estate di Indonesia. Proyek serupa sudah ada sejak era Presiden Soeharto tahun 1996 yang mengembangkan proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektare di Kalimantan. Alih-alih, proyek ini malah menyebabkan kebakaran hutan yang terus berulang hingga saat ini setiap musim kemarau.

Hal yang sama terjadi pada era Presiden SBY dalam menjalankan proyek Merauke Integrated Food dan Energy Estate (MIFEE) di Papua pada tahun 2008 yang luasnya mencapai 1,2 juta hektar. Namun, proyek ini justru menyebabkan peningkatan kemiskinan masyarakat karena hilangnya hutan sagu yang menjadi sumber pangan, dan kerusakan hutan yang membuat mereka tak bisa lagi berburu rusa dan babi.

Program Food Estate pada era Jokowi juga menyebabkan deforestasi yang cukup luas; Sumatera Utara seluas 32.000 hektar, Kalimantan Tengah 770.000 hektar, dan Papua dua juta hektar. Dari proyek food estate ini, tidak ada peningkatan produktivitas pangan, sebaliknya berdampak pada peningkatan konflik agraria, kerusakan lingkungan masif hingga pelanggaran HAM.

Berdasarkan program Food Estate terdahulu, laporan Mongabay menyebutkan bahwa alih fungsi lahan justru lebih banyak berakhir sebagai perkebunan sawit, jauh dari tujuan awal sebagai lumbung beras. Para ahli pertanian juga menilai kegagalan ini disebabkan minimnya analisis kesesuaian lahan, lemahnya infrastruktur, hingga kurangnya keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan.

Kini, pemerintah kembali mencoba peruntungan dengan mengarahkan program food estate ke Merauke, Papua. Secara geografis, Merauke memang memiliki keunggulan, seperti lahan yang luas, relatif datar, dan dianggap lebih subur dibandingkan lahan gambut Kalimantan. Namun, fakta di lapangan tidak sesederhana itu. Penelitian yang dilakukan dosen Universitas Musamus Merauke, Maria Widiastuti, mengungkap bahwa skema pertanian sawah di Merauke lebih sesuai jika dikelola oleh petani kecil, bukan oleh perusahaan besar.

Selain persoalan teknis, food estate di Merauke juga menuai penolakan keras dari komunitas adat. Laporan Tempo menyebutkan bahwa masyarakat adat Papua menganggap proyek ini mengancam kedaulatan pangan lokal dan dapat menggeser mata pencaharian tradisional mereka. Mereka menilai bahwa kebijakan yang dipaksakan dari pusat tanpa konsultasi memadai hanya akan menimbulkan konflik baru. Situasi ini menunjukkan adanya risiko sosial yang tak kalah penting dibandingkan persoalan teknis pertanian.

Pakar ekonomi pertanian, Achmad Nur Hidayat, bahkan menegaskan bahwa memindahkan proyek ke Papua bukanlah solusi efektif. Menurutnya, pemerintah seakan hanya mencari lahan baru tanpa memperbaiki akar permasalahan. Padahal, faktor lingkungan, budaya, teknologi, dan infrastruktur harus benar-benar diperhatikan agar proyek ini tidak mengulang kesalahan. Kritik serupa datang dari kalangan akademisi IPB yang menilai keberhasilan food estate sangat bergantung pada empat pilar utama: kesesuaian lahan, dukungan teknologi, infrastruktur memadai, serta keberlanjutan sosial-ekonomi. Tanpa memenuhi keempatnya, proyek besar ini hanya akan menghabiskan anggaran negara tanpa hasil nyata.

Melihat pengalaman di Kalimantan Tengah, Indonesia sebenarnya memiliki banyak pelajaran berharga. Sayangnya, pelajaran itu tampak belum sepenuhnya dijadikan pijakan dalam merancang food estate di Merauke. Jika pemerintah kembali mengedepankan pendekatan top-down, mengabaikan potensi lokal, serta tidak mengintegrasikan kearifan masyarakat adat, maka risiko kegagalan akan berulang. Food estate bisa saja kembali menjadi jargon politik yang indah di atas kertas, tetapi rapuh di lapangan.

Pada akhirnya, pertanyaan besar masih menggantung: apakah food estate Merauke akan menjadi momentum perbaikan, atau hanya mengulang tragedi kegagalan sebelumnya? Jawaban atas pertanyaan ini sangat bergantung pada keseriusan pemerintah untuk belajar dari masa lalu, serta keberaniannya mengubah pendekatan dari sekadar proyek mercusuar menjadi kebijakan pangan yang benar-benar berpihak pada rakyat dan lingkungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun