Di balik kemajuan teknologi yang mempermudah hidup, ada sisi gelap yang kini semakin merajalela: judi online. Per Oktober 2023, transaksi judi online di Indonesia mencapai angka mencengangkan Rp 104,42 triliun. Yang lebih mencengangkan lagi, sebagian besar pelakunya justru berasal dari kalangan pelajar dan ibu rumah tangga.
Ya, Anda tidak salah baca.
Menurut laporan yang ditulis oleh Septu Haudli Bakhtiar dan Azizah Nur Adilah dalam jurnal *INNOVATIVE: Journal of Social Science Research*, lonjakan judi online tahun lalu naik hingga 52,69% dibanding tahun 2022. Ini bukan sekadar permainan iseng di tengah waktu senggang. Ini adalah krisis yang nyata.
Mengapa Judi Online Begitu Menggoda?
Dalam tekanan ekonomi yang makin sulit, ditambah harga kebutuhan pokok yang melonjak, masyarakat mencari "jalan pintas". Judi online menawarkan harapan palsu: modal kecil, hasil besar. Tapi seperti yang kita tahu, yang namanya judi, lebih sering bikin buntung daripada untung.
Tak sedikit pelaku yang akhirnya terjebak dalam lilitan hutang, bahkan menghalalkan segala cara demi terus bermain. Dalam kasus yang ditulis peneliti, seorang pemuda di Tasikmalaya menilap uang toko sebesar Rp 87,5 juta demi judi online---dan kini mendekam di penjara.
Yang lebih tragis, di Lampung seorang sopir truk memilih bunuh diri karena kalah bermain judi slot online.
Mereka yang Seakan Tak Tersentuh
Meski pemerintah telah menutup ribuan situs judi, para bandar tetap punya "seribu cara" untuk kembali bangkit. Teknologi finansial seperti e-wallet dan mobile banking justru kerap menjadi celah yang dimanfaatkan untuk transaksi ilegal ini.
Tak hanya itu, beberapa influencer media sosial bahkan secara terang-terangan mempromosikan situs judi kepada jutaan pengikutnya. Iklan berkedok konten hiburan ini masuk ke ponsel siapa saja, termasuk anak-anak.
Pertanyaannya: di mana peran regulator?