Mohon tunggu...
Nadiah Nurfasyah
Nadiah Nurfasyah Mohon Tunggu... Mahasiswa Hukum

Seorang mahasiswa yang saat ini belajar di fakultas hukum dan saat ini tertarik dengan dunia menulis.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dilema Pemisahan Pemilu Nasional Dan Lokal: Pertentangan Konstitusi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi

12 Oktober 2025   17:45 Diperbarui: 12 Oktober 2025   18:02 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu merupakan sebuah keunggulan demokrasi di Indonesia yang memberikan Hak pada masyarakat untuk terlibat langsung dalam menentukan pemerintah agar bisa diberi kepercayaan dalam menjalankan pemerintahan yang dapat memajukan kesejahteraan masyarakat. Sebelumnya pada 2024, pemilu dilaksanakan secara serentak mulai dari Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD, Gubernur serta wakilnya. Namun, pemilu serentak yang terlaksana sebelumnya memberi sejumlah dampak dan menjadi ajuan pertimbangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengevaluasi mekanisme tersebut.  Dampak tersebut antara lain yaitu banyaknya pelanggaran yang terjadi seperti money politics, beban kerja yang berpengaruh pada kualitas penyelenggaraan, fokus bagi masyarakat maupun pembangunan daerah menjadi teralih pada isu Nasional.

Menanggapi permohonan yang ada pada dikabulkanlah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang menjadi solusi bagi MK dalam mengatasi berbagai masalah pada pemilu sebelumnya. Putusan ini mengubah mekanisme pemilu yang memisahkan pemilu nasional (Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPD) dan pemilu lokal (DPRD, Gubernur, dan Wakil Gubernur, dsb) dengan memberi rentang waktu 2 sampai 2,5 tahun setelah dilakukannya pelantikan terhadap para calon terpilih dari pemilu nasional.

Keputusan ini kemudian dinilai tidak cocok dengan konstitusi itu sendiri yang berada pada pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Kedua pasal tersebut menyatakan bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan untuk lembaga DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakilnya setiap lima tahun sekali. Hal ini lalu menimbulkan dilema tersendiri karena pelaksanaan Putusan MK yang bersifat final and binding atau menjadi kewajiban konstitusional, padahal jika ditarik kembali diterapkannya putusan tersebut akan memberi dampak yang inkonstitusional atau menjadi tidak sejalan dengan konstitusi itu sendiri.

Agil Almunawar dalam Jurnal Hukum Berkeadaban (2025) menyatakan bahwa putusan ini berimplikasi adanya masalah transisi hukum dan legitimasi kekuasaan daerah. DPRD serta kepala daerah yang saat ini menjabat jadi harus melewati masa transisi yang memperpanjang pemerintahan mereka dalam kurun waktu 2 sampai 2,5 tahun setelah pemilu nasional yang pada akhirnya melanggar prinsip periodisasi kekuasaan rakyat. Legitimasi jabatan yang diperpanjang tersebut pun menjadi persoalan yang muncul karena setelah 5 tahun masa jabatan pada masa transisi mereka tidak dipilih langsung oleh masyarakat. Putusan ini sangat berisiko mengaburkan batas antara tafsir konstitusi dan pembentukan norma baru yang merupakan kewenangan DPR dan Presiden. Jimly Asshiddiqie (dalam bukunya Pengantar Hukum Tata Negara, 2022) berpendapat MK seharusnya berhati-hati dalam menafsirkan konstitusi agar tidak menciptakan norma baru yang berpotensi menimbulkan dualisme hukum.

Maka dari itu kemudian perlu dilakukan revisi yang komperhensif terhadap Undang-undang Pemilu dan UU Pilkada, juga dimuat ketentuan yang adil mengenai masa transisi serta penataan yang lebih baik terhadap keserentakkan pemilu yang paling sesuai dan tidak menimbulkan dilema terhadap konstitusi dan penjaga konstitusi itu sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun