Mohon tunggu...
Nadia Claudia Mecca
Nadia Claudia Mecca Mohon Tunggu... Lainnya - life is about surviving—

infp-t

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Cyber Dipmomacy dalam Perspektif Realisme

2 Desember 2021   13:12 Diperbarui: 2 Desember 2021   13:34 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Pada kesempatan kali ini saya akan membahas kembali mengenai salah satu perspektif yang ada di dalam kajian Ilmu Hubungan Internasional dan sudah sangat di kenal serta menjadi suatu sudut pandang maupun menjadi kaca mata bagi sejumlah orang yang percaya pada perspektif ini, yaitu pandangan realisme. 

Kali ini saya akan membahas mengenai bagaimana perspektif realisme ini dalam melihat dari adanya salah satu sistem yang ada sebagai salah satu bentuk dari sistem diplomasi, yaitu Cyber Diplomacy. 

Akan tetapi sebelum itu terlebih dahulu saya akan menjelaskan secara urut mengenai pengertian dari perspektif realisme itu sendiri, lalu penjelasan mengenai apa Cyber Diplomacy itu? Dan terakhir adalah penjelasan mengenai bagaimana perspektif realisme dalam memandang cyber diplomacy itu sendiri?

Jadi pada perspektif realisme sebagai salah satu bgaian di dalam Ilmu Hubungan Internasional merupakan suatu studi yang dinamis. Hal ini disebabkan fakta bahwa setiap fenomena dalam Hubungan Internasional dapat dilihat dari berbagai sudut. Fakta ini dipertegas dengan tingginya tingkat kepedulian terhadap pandangan hubungan luar negeri. 

Realisme adalah salah satu pandangan yang terlibat dengan usaha besar. Banyak ilmu lain, seperti filsafat, menggunakan istilah realisme, yang tidak terbatas pada hubungan internasional. Realis, di sisi lain, cenderung murung dalam hubungan internasional karena mereka melihat hal-hal/fenomena secara transparan, logis, dan realistis. 

Dan sudut pandang ini selalu menjadi sumber pertentangan dan persaingan dalam sistem politik internasional. Awalnya, realisme muncul sebagai reaksi atas kegagalan LBB untuk mencapai perdamaian dunia dan dimulainya Perang Dunia I, yang bertepatan dengan jatuhnya liberalisme atau idealisme.

Morgenthau sebagai seorang realis, memiliki enam prinsip realisme politik. Yang pertama sifat manusia itu egois, itu sifat mementingkan diri sendiri, yang kedua adalah bahwa pemimpin suatu negara itu harus bertindak sesuai dengan kebijakan, yang ketiga adalah fakta kondisi manusia dan politik sebagai arena untuk mengekspresikan kepentingan, yang keempat adalah hubungan internasional adalah etika situasional, dan yang kelima adalah bahwa kekuatan mentransmisikan ideologi ke seluruh dunia. 

Negara lain membatasinya karena dapat menghasilkan ketidakstabilan; akhirnya, administrasi negara adalah kegiatan yang memakan waktu yang memerlukan pemahaman tentang keterbatasan manusia. 

Unit dasar analisis politik bagi kaum realis adalah identifikasi kelompok. Di masa lalu, seperti pada zaman Machiavelli dan Thucydides, unit dasarnya adalah kebijakan atau negara-kota, tetapi karena perjanjian Westphalia, kaum realis menganggap negara berdaulat sebagai aktor utama dalam politik internasional, sebagai bentuk pembelaannya.

Namun, situasi ini menciptakan tantangan keamanan, karena menunjukkan bahwa semua negara saling curiga karena mereka semua memiliki sistem pertahanan. Akibatnya, suatu negara pasti akan bekerja sama dalam beberapa bentuk atau lainnya, tetapi tidak akan bertahan lama karena hanya sementara. 

Realis percaya bahwa negara memprioritaskan kemandirian melalui memprioritaskan keberadaannya. Keadaan apa yang menyebabkan negara berkolaborasi dengan negara lain, tetapi pertama-tama dan terutama untuk keuntungannya sendiri? Teori Balance of Power (BoP), teori Balanced of Terror (BoT), dan teori Stabilitas Hegemonik semuanya terjadi dalam perspektif realisme. 

Salah satu contoh teori yang merupakan konsep perdamaian dari kaum realis adalah teori Balance of Power (BoP). Tujuan dari munculnya teori ini adalah untuk membangun keamanan internasional. 

Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa jumlah negara telah meningkat. Semua gagasan ini mengandaikan bahwa sistem politik internasional harus memiliki setidaknya dua negara besar agar dunia menjadi multipolar. 

Berdasarkan uraian sebelumnya, perspektif realisme dapat diartikan sebagai cara pandang atau sudut pandang yang selalu terfokus pada konflik dan persaingan. 

Realis menggunakan anarki sebagai sistem global di mana negara adalah pemain utama. Akibatnya, penulis mendukung realisme dalam hubungan internasional, yang seringkali konfliktual dan kompetitif. Banyaknya konflik yang terjadi antar negara akibat agresi militer dan perang adalah buktinya. (Raymond, 2021)

Selanjutnya adalah penjelasan mengenai apa itu cyber diplomacy. Jadi diplomasi di ranah siber atau dengan kata lain penggunaan sumber daya dan fungsi penggunaan untuk tujuan nasional di dunia siber, dikenal dengan istilah cyber diplomacy. Inisiatif keamanan siber nasional, yang sering kali menyertakan referensi ke agenda, sering kali mengidentifikasi kepentingan-kepentingan, dalam hal keamanan siber, kejahatan siber, pembangunan kepercayaan, kebebasan internet, dan tata kelola internet, dan hal itu adalah semua topik penting yang ada di dalam agenda cyber diplomacy. 

Para diplomat bahwa telah melakukan diskusi dalam kerangka bilateral (seperti dialog AS-China), atau tempat multilateral melakukan diplomasi siber secara keseluruhan atau sebagian (seperti di PBB). 

Diplomat berkomunikasi dengan berbagai pemain non-negara, termasuk CEO perusahaan online (seperti Facebook atau Google), pengusaha teknologi, dan organisasi masyarakat sipil, selain otoritas diplomatik tradisional. Diplomasi juga dapat melibatkan penggunaan teknologi untuk memberdayakan orang-orang yang tertindas di negara lain. 

Bahkan ketika berinteraksi dengan pemain dari komunitas global, ini membentuk spektrum tindakan yang sangat luas dan memungkinkanuntuk secara tegas mengidentifikasi diplomasi dunia maya sebagai institusi komunitas internasional. Karena tingkat konektivitas lintas batas yang signifikan di dunia maya, langkah-langkah keamanan dunia maya baru harus mempertimbangkan komponen internasional. 

Akibatnya, daripada hanya berfokus pada pertahanan siber atau perang siber, sangat penting untuk mulai membangun diplomasi siber. Beberapa negara telah mempertimbangkan aspek diplomatik keamanan siber, tetapi mereka belum membangun strategi diplomatik yang sepadan dengan ancaman tersebut. (Valeriano, 2018)

Sangat penting untuk memahami logika kolaborasi dalam domain kebijakan ini sebelum menangani munculnya diplomasi siber. Sejumlah gambar dikumpulkan di dunia maya yang menggambarkan interaksi antar pihak. 

Pertama-tama, ini adalah domain global yang menghubungkan negara dan penduduk di seluruh dunia dalam berbagai cara, menghasilkan pertukaran dan interaksi. Selain itu, dunia maya sering disebut sebagai "global common", yang didefinisikan sebagai "alam sumber daya yang dapat diakses secara legal oleh semua negara." Laut lepas, saluran udara, dan luar angkasa semuanya dapat digunakan untuk menghubungkan dunia maya dengan kepentingan global lainnya. 

Akibatnya, dianggap bahwa standar dan peraturan minimum diperlukan untuk menjamin akses ke semua dan untuk menghindari konflik, yang hanya dapat dihindari melalui diskusi. Sifat persaingan dunia maya, di mana para aktor utama memiliki visi, kepentingan, dan nilai yang bersaing untuk ruang maya, berbenturan dengan norma masyarakat internasional.

Karakteristik penting lainnya dari domain ini termasuk atribusi kesulitan serangan cyber dan intrusi, yang merusak kepercayaan di antara para pemangku kepentingan; keuntungan menyerang daripada bertahan, yang mendorong perilaku agresif; dan garis bawah digital antara kekuatan dunia maya utama dan negara-negara berkembang, yang menciptakan kerentanan global. 

Selain itu, tidak seperti di area lain di arena internasional, sulit bagi negara untuk mengandalkan pencegahan melalui pembalasan di dunia maya, sebagian besar karena masalah atribusi, sementara bentuk pencegahan lainnya dapat dilakukan. 

Semua sifat ini membuat interaksi siber internasional dan tata kelola siber menjadi sangat rumit dan rapuh, sekaligus menekankan pentingnya diplomasi, terutama dalam hal metode membangun kepercayaan dan penciptaan norma dan nilai internasional. (Renard, 2017)

Bagaimana cyber diplomacy dalam sudut pandang realis?

Seperti yang kita ketahui bahwasannya di dalam suatu dunia siber, terdapat dilema-dilema maupun ketakutan-ketakutan yang diakibatkan oleh adanya suatu bentuk kejahatan siber atau cyber crime. 

Yang mana kejahatan siber atau cyber crime ini terbilang merupakan suatu bentuk kejahatan yang mengakibatkan terjadinya security dilemma atau ketidakpercayaan satu sama lain antara ruang siber. Yang mana sebenarnya juga pada saat ini masih sangat sering dan tidak bisa dipungkiri bahwa kejahatan di dalam ruang siber ini masih seringkali terjadi. 

Akan tetapi ada yang mengatakan bahwasannya dengan adanya diplomasi siber menjadi salah satu solusi dari mengatasi adanya kejahatan yang timbul dan bisa berakibat kekacauan bahkan dilema maupun ketidakpercayaan satu sama lain di dalam dunia siber. Akan tetapi ada saat ini ruang siber seringkali dijadikan sebagai tempat maupun wadah dari para pemangku kepentingan maupun para diplomat untuk mengadakan pertemuan dan sekaligus menjadi suatu bentuk untuk menjalin kerjasama maupun membangun hubungan baik dengan negara lainnya. 

Hal tersebut dapat terbilang menjadi suatu bentuk dari cyber diplomacy yang dilakuakan. Akan tetapi, apa memang benar suatu negara melakukan pendekatan siber itu memang dengan adanya tujuan membangun hubungan baik di dalam dunia siber? Atau ada hal lainnya maupun kepentingan-kepentingan lain yang menjadikan suatu negara itu seakan ingin membanguan atau menjalin hubungan cyber diplomacy yang baik dengan negara lainnya?

Dari perspektif realisme sendiri, seperti yang kita ketahui bahwasannya pandangan realis ini menganggap meskipun telah adanya suatu bentuk kedekatan maupun kerjasama satu sama lain antar negara maupun pemangku kepentingan, akan tetapi sebenarnya hal tersebut tidaklah efektif menurut pandangan realis. Karena apabila melihat dari perspektif realisme sendiri yang berangapan dan seringkali meragukan adanya kerjasama antar negara itu yang benar-benar sejalan dikarenakan anggapan bahwa kembali lagi dalam sifat dasar alami dari manusia itu sendiri yang cenderung bersifat egoisme dan hanya ingin kepentingannya sendiri yang tercapai. Jadi realisme menganggap bahwasannya perdamaian itu merupakan hal yang sulit untuk dapat dicapai.

Karena negara berada dalam lingkungan swadaya, kekuasaan sangat penting bagi realisme, yang dapat menjamin kemerdekaan dan kehidupan. "Apa pun tujuan akhir politik internasional, kekuasaan selalu menjadi tujuan langsung," kata Morgenthau. Realis sering mengasosiasikan kekuasaan dengan aset seperti sumber daya alam, kemampuan industri, kekuatan militer, dan populasi suatu negara yang dimiliki. Belakangan ini juga masih sering terdengar mengenai isu seputaran ancaman siber. Diamana dikatakan ada beberapa dari negara yang telah melakukan suatu semacam pengembangan dari senjata digital yang mereka miliki, yang mana hal ini dapat saja berdampak pada adanya perlombaan senjata di dalam dunia siber.

Realis juga melihat dari adanya perpedaan pendapat maupun pandangan daari negara-negara terhadap ruang cyber. Dimana dari negara-negara non-barat yang menggap di dalam ruang siber haruslah dilakan suatu bentuk kontrol informasi yang teratur yang mana hal ini dengan tujuan untuk melindungi dari keamanan nasional mereka. Juga apabila melihat dari pandangan negara-negara barat, bahwa mereka yang menggunakan instrumen dari ruang siber ini sebagai suatu instrumen untuk adanya perang dan untuk menghadapi negara lainnya. Hal inilah juga yang kemudian menjadi salah satu dari faktor tejadinya cyber security dilemma itu sendiri.

Menurut realis, hal-hal semacam ini yang mana dikatakan bahwa cyber diplomacy sebagai salah satu bentuk solusi dari pencegahan terjadinya dilema di ruang cyber ataupun cyber security dilemma, nyatanya realis sendiri masih meliahat serta memandang hal ini sebagai suatu hal yang pada ujungnya masih dapat saja mengakibatkan suatu bentuk konflik yang muncul di dalam dunia siber, melainkan realisme memandang cyber diplomacy ini bukanlah solusi yang efektif dan kembali lagi juga dengan perspektif realis ini juga yang beranggapan bahwa pada akhirnya suatu perdamaian itu sendiri merupakan hal yang sulit untuk di capai. Akan tetapi menurut saya, dalam hal ini dapat dilihat dengan kembali dari sudut pandang maupun perspektif masing-masing.

Reference

Raymond, C. W. (2021, April). ethics and international affairs. Retrieved November 29, 2021, from Realism in the Age of Cyber Warfare: ethicsandinternationalaffairs.org

Renard, A. B. (2017, Desember 17). tandfonline. Retrieved November 2021, 2021, from Cyber-diplomacy: the making of an international society in the digital age: www.tandfonline.com

Valeriano, A. C. (2018, Februari 3). E-International Relations. Retrieved November 29, 2021, from Realism and Cyber Conflict: Security in the Digital Age: www.e-ir.info.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun